"Hei sudah gilakah kalian! ayo hormat, tundukkan kepala, itu ada Kanjeng Nabi lewat!"
Aku tak begitu faham dengan orang ini. Aneh.
Sementara, punggung jaketku kuyup diguyur hujan. Kulepas dan kutaruh di kursi kiri yang kosong. Kebetulan, hanya aku satu-satunya pelanggan sore itu. Kesal menjadi muncul, ketika mengingat buku catatanku yang terbang dilibas angin dan dilindas hujan waktu di jalan. Aku jengkel dengan kondisi jalan berlubang yang kian hari semakin hancur.
 "Hidup sebaiknya sabar, walau pahit. Seperti kopi ini" ujarnya sembari menaruh pesananku di atas meja berbahan sungkai.
 "Mas, hujan itu jangan dipandang sebagai tetesan yang mengganggu, disitu banyak nyawa yang terselip"
"Maksudnya nyawa apa Mbah?" tanyaku.
 "Lihat jaketmu itu, ia meresap"
"Lihat mereka yang haus, ia menyegarkan"
"Lihat mereka yang wudlu, ia menyucikan"
"Lihatlah hujan, ia menghidupi semua"
"Air itu nyawanya banyak sekali, Mas"