Dua hari kemudian waktu liburan kuliah tiba. Momen yang menyimpan fatamorgana. Meskipun dijatah satu bulan, tetap saja terasa singkat, selalu seperti satu pekan. Di sela mengisi waktu liburan bersama keluarga, Mbah Lim masih menjadi misteri bagiku. Aku mengangan-angan,
"Siapakah Mbah Lim sebenarnya?" pikiranku tak karuan ketika mengingat saat di kedai itu. Aku tak tenang. Ingin sekali kuceritakan kepada Ayah, tetapi kuurungkan niat itu. Ia tak akan percaya. Aku pasti diangggap mengada-ngada. Apalagi kepada Ibu. Ia selalu menertawakan ceritaku. Lebih baik aku diam saja. Kubiarkan ingatan itu beterbangan, hilang ditelan malam.
Lamat-lamat suasana yang kurasakan begitu sunyi. Kemudian terdengar suara hujan dan celoteh orang-orang pasar. Kulihat ke kanan dan ke kiri, rupanya aku sedang duduk di kedai Mbah Lim seperti aku pertama kali duduk di sana sore itu. Tak ada penjual dan pembeli. Di sini hanya aku seorang diri. Inginku berdiri meninggalkan tempat ini, tapi tak bisa. Badanku seperti sudah diset terdiam di sini. Kupanggil nama Mbah Lim berkali-kali, tapi tak seorang pun muncul.
Kemudian aku melihat seorang kakek berjalan menuju arahku, berjubah putih-bersorban hijau sambil membawa tongkat di tangan kanan. Di samping kiri, tampak pemuda berwajah murung, berperawakan kacau digandengnya. Meski tanpa payung, badan mereka tak basah. Aku tak kenal mereka berdua. Tetapi, wajah orang yang digandeng itu sangat mirip denganku. Semakin ia mendekat aku agaknya kenal dengan wajah Si kakek pula.
"Lihatlah jiwamu ini, kotor sekali!" sentak kakek tersebut yang ternyata adalah Mbah Lim.
Aku terperanjat dari kasurku, segera kuminum air putih lalu kuludahkan ke kiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H