Mohon tunggu...
Verinda Christalia
Verinda Christalia Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berkunjung ke Duniaku

20 November 2020   07:58 Diperbarui: 20 November 2020   08:00 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waku itu aku sedang berjalan pulang dari membeli sembako di warung Bu Angela, ketika sampai di pertigaan rumahku yang terkenal sepi aku melihat ada cahaya keluar dari salah satu gang yang paling ujung.

Aku mendekat dan ternyata itu adalah portal berwarna biru keputihan yang terbuka. Awalnya hanya seperi cermin karena ia memantulkan bayanganku, tetapi kenyataannya portal tersebut mendadak bersinar lebih terang dan mulai mengisap segala yang berada disekitarku.

Aku berusaha untuk kabur tetapi sayangnya isapan portal tersebut terlalu kuat dan membuatku tertarik masuk kedalamnya.

Sesaat aku merasakan pandanganku kabur dan berputar-putar sebelum akhirnya menggelap.

"Hey... bangun..." panggil seseorang.

Aku mencoba untuk tidak memedulikannya.

"Dek... bangun dek... jangan tidur disini, disini hutan..." ujar orang itu lagi.

"Apa mungkin dia sudah mati" suara seorang perempuan.

"Mana mungkin dia mati, kau tidak lihat kalau punggungnya masih bergerak naik turun itu artinya dia masih bernafas." jelas orang pertama tadi.

Karena mereka terus-menerus memperdebatkan mengenai masih bernafas atau tidaknya sesuatu hal aku mulai membuka mataku.

Betapa terkejutnya aku ketika melihat dua sosok menyerupai manusia tetapi telinga mereka tidak seperti manusia pada umumnya.

Yang laki-laki bertelinga seperti serigala sedangkan yang perempuan bertelinga lancip. Mereka masih terlihat sangat muda dan dari pakaian mereka sepertinya mereka akan pergi ke ladang di lihat dari cahaya matahari dan angin dingin yang semilir bisa kutebak jika ini masih pagi.

Perdebatan mereka terhenti ketika melihatku mulai menggerakkan badanku.

"hey... kau, apa kau tidak apa-apa?" tanyanya dengan hati-hati.

Posisiku saat ini masih membelakangi mereka mengingat posisiku yang tengkurap diatas rimbunan daun.

Kubalikkan badanku dan mencoba untuk menyapa mereka.

"Ha..ha..halo..."

Lho, kok bicaraku gagap begini?

Berapa lama aku tertidur.

"Halo juga, siapa namamu dan apa jenismu?" tanya yang laki-laki.

Namaku...

Omong-omong siapa namaku..

Aku ini siapa ya?

"Dena, Hilda tunggu aku......" teriak seorang pemuda pula yang berlari kearah kami.

Ketika dia sampai ditempat kami, orang kuduga bernama Dena bertanya,

"Apa yang membuatmu mengejar kami, Iham?" sambil berkacak pinggang.

Pemuda yang bernama Iham itu masih berusaha untuk menetralkan nafasnya.

"Kalian..kalian...kalian kejam meninggalkanku sendirian di desa, padahal kita sudah berencana untuk pergi ke ladang bersamaan bukan?" keluhnya.

"Iya, kami akan segera sampai kalau bukan..." perkataan Dena dipotong dan pandangannya diarahkan kepadaku yang saat ini sedang memandang ketiganya dengan pandangan bingung.

"tunggu siapa dia?"

"Aku sendiripun tidak tahu?"

"Begitupun denganku."

Aku mencoba untuk berbicara.

"Nama...namaku..."

Ah.. iya aku harus memikirkan namaku karena aku tidak ingat namaku.

Hmm... siapa ya?

Ah... aku ada ide...

"Namaku adalah Miya, aku adalah seorang manusia?"

Eh, kira-kira mereka paham tidak, ya maksudku?

"Oh.... namamu Miya, kau berasal darimana?" tanya Dena dengan nada ceria, seolah kecurigaannya padakuu hilang seketika.

Aduh... aku mana kenal tempat disini.

"Aku sendiri juga tidak tahu, karena aku lagi mengembara tanpa tujuan, tetapi sayangnya aku dirampok, lalu aku berjalan tanpa arah hingga kalian menemukanku disini."

"Ya, ampun kau baru saja dirampok, ya, udah ikut kami dulu ke rumah ayo..." ajak Hilda diangguki oleh Dena dan Iham yang merasa kasian denganku.

Selagi perjalanan mereka menanyakan beberapa hal seperti usia atau kenapa aku mengembara tanpa peta.

Aku sendiri masih sedikit terkejut melihat pakaianku yang berbeda dengan pakaian terakhir yang kukenakan.

Pakaian ini rasanya seperti aku pernah menemukannya tetapi dimana aku bingung.

Setelah berjalan lumayan jauh kurang lebih 4km, kami sampai di Desa Atziyel.

Aku diajak masuk ke rumah Dena dan Hilda yang ternyata merupakan sepasang suami istri yang sudah menikah setahun yang lalu. Mereka memintaku untuk menunggu di ruang tamu.

Selagi aku duduk ternyata perutku dengan tidak tahu malunya berbunyi ketika lewat seorang ibu-ibu membawa panci dengan asap yang masih mengepul diatas gerobak dan aromanya mengingatkanku akan sesuatu.

Dikarenakannya itulah yang membuat perutku berbunyi, Iham yang sedang duduk bersamaku hanya memandangku dengan pandangan mengejek sebelum pergi keluar dan membelikannya.

Dengan menggunakan mangkok yang sepertinya terbuat dari tanah liat lengkap dengan sendoknya.

Aromanya sungguh sangat menggugah selera.

Aku mencoba untuk memakannya dan masih dipandangi oleh Iham.

Rasanya mulai mengingatkanku sama bubur ayam.

Selagi aku makan, Dena dan Hilda datang membawa tas dan juga sebuah peta.

Aku masih melanjutkan makanku, Hilda menggelar peta tersebut diatas meja.

Aku mengangkat mangkokku supaya dia dapat menggelar peta tersebut diatas meja seluruhnya.

"Baiklah Miya, ini adalah peta untuk benua ini."

"Sekarang dari manakah kau berasal." tanya Dena dengan nada serius.

Aku gugup.

Rasanya aku sudah tidak sanggup untuk makan.

"Aku sendiri lupa tempat asalku, tetapi yang dapat kuingat adalah ada suatu tempat dengan pegunungan yang tinggi lalu juga ada danau besar di daerah timurnya, kalau tidak salah namanya Danau Inzera..."

Itu adalah tempat yang aku lihat dipeta.

"ohh... berarti kau berasal dari Region Kataxye, Kerajaan Molernya..." mangut-mangut Dena.

"Pantas saja dia kabur dan juga tidak membawa peta!"

"Iya, itu karena perang saudara yang masih merajarela disana"

"Kalau boleh tahu, ini dimana ya?"

Iham memandangku dengan pandangan ragu-ragu.

Posisi Kerajaan Molernya terletak di barat laut benua sedangkan yang ditunjuk oleh Iham berada di Kerajaan Paswera yang terletak di bagian ujung selatan benua.

"Baiklah Miya, kau sudah berjalan kurang lebih sepuluh ribu kilometer dari region tempatmu tinggal."

Aku terkejut serius...

Berjalan sepuluh ribu kilometer, aku jalan dua kilometer saja sudah kecapekan, ini sepuluh ribu?

"Lalu sekarang apa rencanamu Miya?"tanya Hilda.

"rencanaku? Mungkin melanjutkan perjalanan atau mungkin jika diijinkan tinggal disini."

"Tentu saja kau diijinkan tinggal disini, semuanya diterima disini."

"Baiklah kalau begitu aku akan tinggal, karena perjalanan yang panjang membuatku lelah hahahahaha..." aku sedikit tertawa untuk bercanda.

"Baguslah kalau begitu, itu artinya desa ini kedatangan orang baru.." sambut Hilda yang dengan semangat langsung berlari keluar rumah.

DRAP DRAP DRAP...

Mendadak terdengar suara langkah kaki orang lain menuju rumah ini.

Mereka semua memandangku dengan pandangan seperti ingin berkenalan atau lebih tepatnya mengelus kepalaku karena aku yakin raut wajahku menunjukkan raut ketakutan seperti anak kucing.

Aku yakin hidupku disini akan berubah menjadi lebih seru atau tidak ya?

Karena aku merasa aku seharusnya tidak berada disini.

Selama dua bulan aku tinggal di desa ini, aku sudah resmi mendapatkan surat ijin tinggal dari kepala desa dan aku sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan disini.

Dunia ini terdapat sebuah benua utama yang membentang sangat besar dari utara hingga ke selatan.

Tempatku tinggal ada di Kerajaan Paswera, kerajaan yang terkenal akan pendidikan dan herbalnya.

Selama tinggal disini pula, aku mendapatkan pekerjaan sebagai guru di salah satu sekolah yang baru saja didirikan.

Meskipun pada awalnya pegawai pemerintah sedikit curiga denganku karena tidak memiliki sertifikat pendidikan tetapi karena pengetahuanku yang menurut mereka sangat bagus mereka menerimaku untuk menjadi guru untuk tingkat dasar mengajar tanaman.

Aku juga menjadi pedagang dan menjual berbagai produk kepada para pejalan yang lewat atau penjelajah.

Dengan sedikit keberuntungan aku dapat mendapatkan banyak uang dan dapat kusimpan di bank.

Kerajaan ini ternyata memiliki sistem perbankan yang bagus. Selain keamanan yang dijamin dan juga karena mereka menyimpannya menggunakan brankas sihir.

Belum kuberitahu kah, kalau di dunia ini sihir adalah nyata tetapi hanya digunakan untuk kepentingan umum saja seperti menyimpan uang, perhiasan atau sebagai pertahanan diri.

Murid-muridku yang terdiri dari beberapa remaja yang tertarik

Selain mengajar di sekolah, aku juga turut membantu para petani untuk menanam tumbuhan yang seperti gandum.

Aku juga turut membantu mereka mengatur persediaan makanan untuk musim dingin.

Pada saat ini kita sedang memasuki musim panas. Sudah waktunya untuk menanam biji glipr.

Biji glipr mirip seperti gandum tetapi memiliki rasa seperti nasi.

Disaat aku dan yang lainnya sedang menanam biji glipr, datang rombongan kuda menuju alun-alun desa.

Seluruh penduduk desa yang biasanya selama dua bulan ini ceria mendadak muram.

Aku mengikuti langkah Dena, Iham dan Hilda menuju alun-alun desa dimana tampak seorang pria buncit turun dari kereta kuda yang hampir ambruk.

"Ayo, waktunya membayar pajak penduduk." dengan tingkah pongah dan juga sombongnya.

"...."

Seluruh penduduk memilih untuk diam karena mereka tidak tahu harus berbuat apa.

Aku tahu jika kondsi penduduk sebenarnya mampu untuk membayar pajak, mungkin?

Akupun maju dan bertanya.

"berapa pajak untuk desa ini?"

"pajaknya adalah 1 koin per orang."

"1 koin?"

"Koin Emas.."

"Tunggu, pak tukang pajak, bukankah peraturan kerajaan mengatur pajak berupa 1 koin perunggu per orang?"

Aku sudah membaca peraturan pajak di kerajaan ini dan seharusnya penduduk desa ini hanya dikenakan pajak total 817 koin perunggu dikarenakan pajaknya berupa satu koin perorang dan ada 617 orang dewasa di desa dan 400 anak-anak.

"Ditambah dengan anak-anak totalnya jadi 1600 koin emas..."

"Tunggu sebentar bagaimana bisa sebesar itu, bukankah untuk anak-anak dihitung setengah dari 1 koin perunggu?"

"Sayangya itu tidak berlaku di wilayahku, cepat bayar tidak usah mengulur waktu."

"Baiklah akan kubayar.."

Aku masuk ke dalam rumahku dan pandangan seluruh desa menjadi kasihan kepadaku karena harus membayar pajak mereka.

Meskipun kerajaan ini makmur, tetapi pajak yang diterapkan dibelakang kerajaan sangat mencekik rakyat.

Segera aku menyerahkan koin-koin dalam karung tersebut kebelakang gerobak yang telah disediakan.

Petugas pajak tersebut mengecek keaslian koin-koin tersebut dan hasilnya dinyatakan asli.

Aku hanya tersenyum melihatnya.

Tanpa berkata apa-apa petugas pajak tersebut pergi dengan membawa uang tersebut.

Setelah jauh dari desa dan tidak kelihatan lagi, para penduduk mencoba untuk mengobati perasaan terlukaku karena harus berkorban untuk mereka.

Tetapi sebaliknya justru aku tertawa sangat hebat, hingga membuat penduduk kebingungan.

"Ada apa dengan dirimu Miya?" tanya Hilda.

"Ahhh.. tidak apa-apa, aku hanya akan menjamin jika petugas pajak tersebut tidak akan datang lagi."

"Maksudmu?"

"kau tunggulah 2 bulan lagi." karena waktu pengumpulan pajak adalah dua bulan sekali.

Dan tepat, dua bulan berikutnya petugas pajaknya telah diganti dari yang sebelumnya dan diberitahu jika petugas pajak sebelumnya meninggal akibat ledakan dari salah satu gerobak yang dibawanya.

END....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun