Mohon tunggu...
Vera Damayanti
Vera Damayanti Mohon Tunggu... Novelis - Novelis Digital

Hanya seorang penulis dalam dunia digital yang ingin berbagi imajinasi dan inspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Legionnaire : Battle of The Heart #2

6 Januari 2025   04:50 Diperbarui: 6 Januari 2025   23:04 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ramshad Ali and Taja (Source : two characters and background are generated by Meta AI, cover is edited by Vera Damayanti)

Bab 2

Keanehan di Balik Sebuah Mainan

“Apa yang kamu cari?”

Seseorang menginjakkan kaki di dekat anak perempuan yang sedang bermain gundu sendirian. “Ini?” tanyanya lagi.

Gadis cilik itu menengadah hingga jangkauan matanya menggapai matahari. Diraihnya sebuah gundu kaca yang semula ia buru kemana-mana dari tangan seorang pria baik hati yang menemukan mainannya.

“Ya, Tuan. Terima kasih,” ungkapnya sopan.

Terkesima dengan tutur kata makhluk kecil di depannya, Ramshad berlutut, mengamati permainan bola-bola kaca yang dijentikkan oleh jemari mungil anak itu. Seperti dugaannya, bocah usia delapan tahunan itu tentu belum mahir memainkan benda yang biasa digunakan anak laki-laki. Beberapa kali hasil bidikannya gagal membuat gundu lainnya bergerak melebar.

“Menurutku, kau masih harus banyak berlatih.” Ramshad tersenyum saat anak itu menatapnya.

“Baik, Tuan. Aku tidak ingin membuat ayahku kecewa.”

Alis Ramshad naik. “Maksudmu, kau ingin ikut lomba?” Ia menebak sekenanya.

“Ya, suatu saat nanti.”

Tetap saja pria itu tak mengerti. Seingatnya, belum pernah ada lomba permainan gundu di negeri ini. “Hm, di desamu? Di mana tempat tinggalmu?” tanyanya ingin tahu. Baginya, informasi sekecil apapun sangat berarti walau dianggap remeh sekalipun.

“Tidak. Di sini. Di Eyn.” Gadis cilik itu menegaskan jawabannya dengan mengangguk berkali-kali. “Orang tuaku tinggal di sini,” jawabnya santai, sambil menyibakkan rambutnya yang agak kusut.

Setelah gadis kecil itu bosan bermain sendiri dan pergi, Ramshad bangkit dan melihat sekeliling. Kehidupan normal seperti biasa sebagaimana rakyat Eyn menjalaninya dan ia baru saja menyelesaikan perintah raja.

Memberangus moncong serigala.

Pertarungan lumayan sengit melawan kawanan serigala ‘didikan’ seorang laki-laki kurang waras yang menganggap dirinya jelmaan dewa. Orang itu memanfaatkan ketakutan warga dengan auman serigala setiap malam sebagai pertanda kedatangannya untuk merampok harta mereka. Di bawah ancaman anak buah berbulunya, si penjahat berhasil menumpuk harta sasarannya.

Masalahnya, Ramshad sama sekali tidak siap harus berurusan dengan binatang. Laporan yang kurang lengkap membuatnya nyaris meregang nyawa malam itu. Mereka bilang, hanya dua ekor serigala.

“Huh, merepotkan!” desisnya kemudian. Merasakan perih beberapa luka cakar di bahunya yang mungkin akan berbekas.

 “Hai, Tuan Ramshad!” Orang ini menepuk bahunya lumayan keras sehingga Ramshad harus menggeram menahan sakit penuh kesal.

“Mengapa kau di sini? Bukankah kau seharusnya berjaga di wilayah utara?”

“Panglima masuk dari pintu utara dan memerintahkan saya untuk memanggil Anda ke markas senjata,” jawab penjaga tersebut, wajahnya dihiasi senyum tulus namun menyebalkan bagi Ramshad.

Kalau tidak salah, namanya Cody. Pemuda bertubuh pendek berisi tapi terlampau rajin dan setia. Ia bahkan rela tidur berhari-hari di pos tanpa mengeluh lekas-lekas ada pergantian jadwal jaga. Beberapa kali ikut memerangi pemberontakan dan terlibat misi rahasia bersama atasannya, seorang mata-mata lain selain Ramshad.

“Kembalilah ke posmu.”

“Baik, Tuan.”

Mereka pun berpisah.

Sekian lama usai perang terakhir melawan raja dari Kerajaan Hinnan, rajanya tak lagi mengizinkan siapapun menggunakan gelang komunikasi. Kehidupan masa depan yang seharusnya mengikuti kecanggihan kota-kota besar sangat berlawanan dengan wilayah bumi yang masih menganut paham monarki dan kental budaya tradisional. Hanya sedikit alat modern yang dapat dicicipi, tapi sekarang apa yang terjadi? Cody bilang markas senjata? Ada apa di sana?

Penasaran ingin menguak beban pikirannya, Ramshad memacu kuda lebih cepat.

“Turunkan dua terakhir, lalu cepatlah pergi dari sini!”

Ramshad mendekati pemilik suara lantang nan galak itu. Siapa lagi kalau bukan Taja? Panglima perang berzirah putih. Balutan busananya melengkapi rona kulit cerah dan rambut panjang kepang senada dengan warna zirahnya, selalu bercita-cita mendapatkan bekas luka bersejarah seumur hidupnya, akan tetapi hal itu tak pernah terjadi. Seolah dewi keberuntungan selalu berpihak padanya, atau ibarat kucing, dialah sosok wanita dengan sembilan nyawa. Banyak orang berpendapat demikian, namun Ramshad Ali menentangnya. Ia merasa Taja terlalu berharga untuk mati muda. Kebiasaan wanita itu suka menantang maut adalah kebiasaan buruk yang lambat laun bisa merenggut nyawanya.

“Oh, Tuan Ramshad Ali. Senang Anda di sini,” sapa Taja dengan senyum terindah penuh kepalsuan. Entah apa lagi yang direncanakannya. Ramshad membatin.

“Benda apa itu?” tanyanya.

“Pesanan Yang Mulia. Dibuat dan dikirim langsung dari kota. Kita cuma harus memastikan benda itu tidak tergores sedikitpun dan cepat-cepat mengusir mereka.” Taja memberi isyarat ke arah sopir kendaraan berat yang mengangkut lima peti besi berukuran besar. “Pastikan dia kembali ke burung besi itu secepat mungkin!” teriak Taja lagi pada belasan prajurit yang membantu proses pemindahan.

Ramshad paham betul bahwa Taja belum pernah melihat pesawat atau helikopter kargo sebelumnya. Wanita itu terbiasa bergelut dengan dunia sihir sehingga mungkin menganggap kendaraan terbang adalah burung besi yang diguna-guna. Kalau dipikir, hanya ada dua manusia modern yang memutuskan tinggal di Kerajaan Eyn, Ramshad Ali dan rajanya sendiri. Carlo Dante.

“Kau tidak penasaran, apa isinya?” Taja bergerak maju, tangannya menyentuh salah satu peti, berharap menimbulkan reaksi namun yang diinginkannya tidak terjadi. Sementara itu, kendaraan berat mulai meninggalkan markas sambil dikawal ketat belasan prajurit istana.

“Anggap saja isinya mainan anak laki-laki. Di kota, biasanya begitu. Mainan dikemas dengan apik sehingga menarik minat para bocah,” jelas Ramshad.

“Tapi … mainan seperti apa yang disimpan dalam peti besi sebesar ini? Raja kita bukan bocah. Buat apa mainan sebanyak ini?”

Ramshad menepuk dahinya sendiri. Sulit menjelaskan terlalu jauh jika semakin larut semakin membuat Taja tak mengerti. “Ah, sudahlah. Jika tidak ada yang penting, aku pergi. Sesuatu menarik perhatianku tadi.”

“Jangan bilang kau membiarkan pemilik kawanan serigala itu lolos.”

Ramshad tertegun. “Raja memberitahumu?”

“Tidak.”

“Kau mengikutiku?” selidik Ramshad, merasa mustahil Taja mampu melakukannya.

“Buat apa susah payah mengikutimu? Langkahmu seperti angin, sosokmu tak terlihat seperti udara. Aku cuma asal tebak.” Taja berkilah tapi Ramshad jelas tidak puas.

“Apapun itu, aku pasti tahu. Oh ya, aku sengaja membiarkan penjahat itu pergi. Jika perkiraanku benar, dia akan pergi ke ‘sarang’ yang lebih besar,” ungkap Ramshad yang akhirnya memberitahu rencananya.

“Bagaimana kau tahu bahwa ada pemilik serigala yang sesungguhnya?’

“Mudah. Para serigala membenci baunya.” Setelah mengatakan itu, Ramshad meninggalkan markas senjata.

Dalam hati, Taja memuji kecerdasan seorang Ramshad Ali dalam hal strategi, namun ia tak bisa mengakali pergerakan pria itu dengan cara yang sama kali ini. Tidak lama kemudian, ia memerintahkan beberapa penjaga untuk menutup markas senjata. Ruangan itu pun berubah sepi dan gelap, sesuai perintah raja.

Musim gugur terasa berbeda bagi Ramshad kali ini. Awan gelap lebih sering meraung akibat perubahan iklim yang ekstrem. Hutan dan hujan sudah pasti menguntungkan kawanan serigala yang hendak diburunya. Akan tetapi, bukan dosa mereka jika diperintah oleh majikan yang salah sehingga ia merasa tidak perlu terburu-buru berkunjung ke sarang mereka.

KIni, di depannya tampak sebuah rumah kayu yang kusam karena lama ditinggalkan oleh pemiliknya. Sepasang suami istri yang tiba-tiba menikah tanpa memikirkan cinta, sebuah pernikahan palsu untuk menutupi aib seseorang yaitu mantan istri Ramshad sendiri. Setidaknya itulah anggapan Taja kepadanya. Kenyataan pahit yang ternyata mampu membebaskan pria itu dari belenggu permainan dua pengkhianat. Namun, sebagai pria, Ramshad harus berjiwa besar. Ia harus belajar menelan pil pahit kehidupan dari seorang wanita yang pura-pura mencintainya demi pria lain yang ternyata adalah mata-mata kerajaan lain.  Tidak ada hubungannya dengan harga diri. Ia sama sekali tidak merasa terusik.

Sebuah bogem mentah lebih tepat bersarang di rahang kekasih istrinya kala itu, hingga menyebabkan lumpuh saraf permanen. Yah, itu sudah cukup, batinnya.

Memasuki rumah penuh kenangan buruk yang sudah lama terpendam dalam ingatannya, Ramshad melangkah menuju jendela ruang tamu yang menghubungkan pandangannya dengan lapangan kecil tempat bermain anak-anak. Seharusnya sudah ramai siang ini namun hanya ada beberapa anak laki-laki di sana. Mereka asyik memainkan gundu.

“Berapa uangnya?” tanya salah satu anak, terlihat yakin bahwa dia akan menjadi pemenangnya.

“Tiga ratus.”

“Ha? Cuma tiga ratus? Laga tingkat bayi saja lebih dari itu!” protesnya.

Dahi Ramshad berkerut. Apa yang dimaksud dengan tiga ratus? Uang untuk membeli gundu? Apa lagi ini, laga tingkat bayi? Ia kembali menyimak baik-baik.

“Baik, lima juta!” seru anak lain dengan pongahnya, disambut tatapan teman-temannya.

“Li-lima juta?”

“Tenang, kalau kalah, akan kubayar di laga yang sesungguhnya!” Sesumbar anak itu ditanggapi meriah oleh teman-temannya yang setuju dengan ketentuan baru. Tak lama, mereka sudah asyik bermain sambil sesekali berteriak girang atau marah.

Perjudian di Eyn.

Sudah berlangsung berapa lama? Kejahatan yang tertutup sangat rapat bahkan belum sampai ke telinga raja. Jika ternyata sangat populer di kalangan anak-anak, maka sudah pasti terjadi dalam beberapa bulan. Ini tidak bisa dibiarkan! Malam ini, Ramshad merencanakan untuk mengunjungi seorang teman. Seseorang yang tahu banyak soal dunia hitam.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun