“Ya, suatu saat nanti.”
Tetap saja pria itu tak mengerti. Seingatnya, belum pernah ada lomba permainan gundu di negeri ini. “Hm, di desamu? Di mana tempat tinggalmu?” tanyanya ingin tahu. Baginya, informasi sekecil apapun sangat berarti walau dianggap remeh sekalipun.
“Tidak. Di sini. Di Eyn.” Gadis cilik itu menegaskan jawabannya dengan mengangguk berkali-kali. “Orang tuaku tinggal di sini,” jawabnya santai, sambil menyibakkan rambutnya yang agak kusut.
Setelah gadis kecil itu bosan bermain sendiri dan pergi, Ramshad bangkit dan melihat sekeliling. Kehidupan normal seperti biasa sebagaimana rakyat Eyn menjalaninya dan ia baru saja menyelesaikan perintah raja.
Memberangus moncong serigala.
Pertarungan lumayan sengit melawan kawanan serigala ‘didikan’ seorang laki-laki kurang waras yang menganggap dirinya jelmaan dewa. Orang itu memanfaatkan ketakutan warga dengan auman serigala setiap malam sebagai pertanda kedatangannya untuk merampok harta mereka. Di bawah ancaman anak buah berbulunya, si penjahat berhasil menumpuk harta sasarannya.
Masalahnya, Ramshad sama sekali tidak siap harus berurusan dengan binatang. Laporan yang kurang lengkap membuatnya nyaris meregang nyawa malam itu. Mereka bilang, hanya dua ekor serigala.
“Huh, merepotkan!” desisnya kemudian. Merasakan perih beberapa luka cakar di bahunya yang mungkin akan berbekas.
“Hai, Tuan Ramshad!” Orang ini menepuk bahunya lumayan keras sehingga Ramshad harus menggeram menahan sakit penuh kesal.
“Mengapa kau di sini? Bukankah kau seharusnya berjaga di wilayah utara?”
“Panglima masuk dari pintu utara dan memerintahkan saya untuk memanggil Anda ke markas senjata,” jawab penjaga tersebut, wajahnya dihiasi senyum tulus namun menyebalkan bagi Ramshad.