Bab 1
Nisan Batu
“Tajaaa!” teriak Dante, gemanya mencapai dasar jurang di mana Taja ikut terperosok ke dalam bersama longsor bongkahan bebatuan. Panglima perangnya itu nekat menghancurkan tepi jurang di seberangnya dengan bidikan senjata berat hanya demi menghilangkan sebagian besar daya tempur musuh. Risiko tinggi terpaksa di tempuh, dia harus berkorban dengan menjatuhkan diri bersama senjata itu agar hasil bidikan sejauh itu mampu mencapai kehancuran yang diinginkan.
Masih tak percaya dengan peristiwa yang dilihatnya, Dante tak sekalipun mampu berkedip. Berharap terdengar suara teriakan atau apapun, yang menandakan bahwa Taja masih hidup.
“Dia tahu risiko tindakannya, Yang Mulia,” ucap Ramshad, tanpa menyadari akibat buruk dari kata-katanya.
“Apa katamu?!” Dante hanya menoleh sedikit, tertegun dengan kalimat Ramshad yang tidak sama sekali menyiratkan duka, kemudian perlahan menggerakkan badan, menatap tajam sang mata-mata istana andalannya itu.
Menyadari salah bicara, Ramshad buru-buru mengoreksi ucapannya disertai raut penyesalan. “Maksud saya, Taja tahu betul akibat menggugurkan tepi jurang seluas itu. Bukankah semua kesatria akan melakukan hal yang sama begitu mendapat kesempatan emas? Kami siap gugur demi negeri ini, Yang Mulia. Anda juga berkali-kali melakukannya.” Ramshad memalingkan pandangan dari tuduhan rajanya, sementara debu tebal di bawah sana tak kunjung menipis. Longsor menyeret ratusan pasukan musuh yang tak sempat melarikan diri ke dalam jurang tersebut sehingga menyisakan mereka yang mulai ciut nyalinya dan berpikir untuk mundur.
Lanjutnya sembari menarik napas dalam, “Tetapi jika pendapat saya salah, saya minta maaf. Segera saya siapkan pemakaman militer untuknya.”
Urat amarah Dante mengendur, menatap sekali lagi guguran kerikil jurang yang melengkapi timbunan bebatuan di bawah sana. Kabut debu pun mulai menipis, dan memang … tidak ada tanda-tanda kehidupan apapun di sana.
“Bagiku Taja belum mati. Tidak perlu pemakaman apapun, itu hanya akan membuka peluang musuh untuk terus menyerang kita,” perintahnya.
“Baik, Yang Mulia.”
Dante beranjak pergi.
Apapun anggapan raja kepadanya, Ramshad tahu persis perasaannya. Ada sesuatu yang hilang di sana. Kehilangan Taja adalah pukulan terbesar dalam hidupnya namun menyembunyikan duka itu dan terus berpura-pura adalah jalan terbaik. Semua orang yang berdarah pejuang tentu tidak mengenal air mata, tapi kali ini terasa berbeda. Tiba-tiba dadanya sesak. Menolak berlarut-larut dalam kesedihan, ia pun pergi meninggalkan tempat itu setelah mengucapkan salam perpisahan terakhirnya, “Selamat tinggal, Taja.”
Berjalan bak pria patah hati, Ramshad berusaha menguatkan diri. Namun demikian, kepalanya kembali tegak ketika padang pertempuran telah sepi. Rupanya sang raja usai melampiaskan murka pada pasukan musuh. Dante menunggunya nun jauh di sana seraya memberi tanda agar Ramshad segera bergabung dengan pasukan. Bergegas, siulannya memanggil kuda jantan kesayangan Taja, Ramshi atau singkatan dari Ramshad Ali. Setiap kali teringat olokan Taja memanggil kudanya dengan nama yang sengaja mirip dengan namanya, Ramshad menarik garis senyum di bibirnya. Tak lama kuda itu datang dan mengizinkan pemilik baru naik ke atas punggungnya.
“Kau bersamaku sekarang, Ramshi. Heaaa!” Lantang dihelanya kuda hitam kelam yang terlihat kontras dengan zirah Taja yang serba putih. Kini, bersama Ramshad Ali, kegagahan kuda itu pun semakin terungkap jelas, bersatu dengan pasukan raja, meninggalkan padang pertempuran yang menjadi saksi bisu kebodohan seorang jenderal perang negeri seberang sekaligus pengorbanan panglima perang negeri Eyn. Taja.
Sunyi melenggang tanpa kata, mengiringi sebaris bongkahan batu di depannya kala ia tiba di sana. Fajar baru saja meninggalkan peraduan ketika Ramshad menginjakkan kaki di dasar jurang yang ketinggiannya telah berkurang akibat aksi Taja kemarin. Tangannya tanpa sadar bergerak mencoba mengendalikan irama jantung yang kian cepat, andai ia bisa menggenggamnya. Teringat nama itu, membayangkan jenazah Taja masih terkubur di antara tumpukan batu, jauh di bawah sana, hati Ramshad terluka. Terlalu sulit memaafkan diri sendiri hingga batinnya kacau. Bayangan Taja selalu mencegahnya terlelap. Sebab itu, ia memutuskan meletakkan batu nisan di tempat ia berdiri.
Tanpa menunda waktu, kedua tangannya cekatan menyusun beberapa batu dengan ukuran hampir sama dan membentuk persegi. Terakhir, meletakkan batu nisan sederhana yang sempat dibelinya dari seorang pedagang. Alis pedagang itu naik saat Ramshad mengetuk rumahnya pagi buta.
“Kau terima pesanku?” tanya Ramshad, menyeruak masuk ke toko yang belum buka, mencegah siapapun melihatnya membeli sebuah nisan.
Pemilik toko mengangguk.
“Ambilkan saja benda itu, tak usah banyak tanya!”
Maka batu nisan tak bernama itu telah tertanam di sana, pada bagian ujung ‘makam’ Taja. Setidaknya, hanya itu yang bisa dilakukan Ramshad untuk sahabatnya.
“Makam yang bagus, tapi kurang estetis,” cemooh seseorang di belakang.
Suara itu memecah lamunan Ramshad.
“Hei, kau dengar aku?” tegurnya lagi.
“Ta-Ta-Taja?” Pria bertubuh tinggi tegap tersebut tidak takut hantu, tetapi kali ini entah mengapa bulu kuduknya berdiri. Penasaran, ia perlahan memutar badan. Melihat Taja dalam keadaan sehat, bahkan bersih dan rapi seolah baru saja mandi, ia sampai tak mampu berkata-kata. “Ta-tapi … kami melihatmu terhempas bebatuan ....” Lemah pertahanannya ketika Taja berjalan mendekatinya. Rambut putih keperakan wanita itu tidak dikepang seperti biasanya, melainkan dibiarkan terurai dengan sedikit ikatan sederhana.
“Seperti yang kau lihat, aku selamat. Sehari sebelum pertempuran, aku memeriksa wilayah ini dan menemukan celah untuk menyelamatkan diri. Sebut saja aku beruntung sebab rencanaku berubah. Guguran tepi jurang cukup banyak, salah sedikit, makam yang kau buat itu adalah hadiah terakhir untukku.”
“Apakah raja sudah tahu?” Ramshad berusaha bersikap wajar tapi batinnya masih terguncang, haruskah tetap tenang atau berteriak girang karena tanpa wanita itu, ia benar-benar akan kesepian.
“Tiba di istana, aku langsung menghadap Yang Mulia. Aku berniat menemuimu tetapi penjaga bilang kau sudah pergi. Naluriku benar, kau kembali ke tempat ini.”
“Dan membiarkanku menyusun makam tak berguna itu sampai selesai?” Mata Ramshad menyipit curiga bahwa wanita itu sejak tadi mentertawakannya. Benar, Taja tergelak.
“Ya, benar-benar lucu. Jika bukan karena pekerjaan, aku pasti membiarkanmu menganggapku sudah mati.”
“Kenapa?”
“Balas dendam. Kau-lah yang akan menghabisi jenderal perang suruhan Zaghas Ardeth tanpa belas kasihan. Jadi aku tidak perlu susah payah mengerahkan lebih banyak pasukan,” jawab Taja. Licik dan tanpa rasa bersalah, ia berencana menerapkan taktik psikologis untuk memenangkan perang.
“Kau berniat memanfaatkan aku?” Wajah Ramshad berubah.
“Sayangnya, aku tidak tega. Berterima kasihlah.” Tangan Taja menepuk dada Ramshad. “Ayo kita pulang. Semalaman aku belum makan.”
Ramshad mengikuti langkah Taja dengan hati penuh syukur. Di balik segala silang pendapat, terselip kerinduan andai peristiwa buruk itu memang terjadi dan ia takkan segan memancung kepala sang jenderal dengan tangannya sendiri.
Bahkan di kedai makan, Ramshad tetap tenang ketika Taja menceritakan ulahnya membuat makam di depan anak buahnya. Mereka tergelak sembari menikmati hidangan pagi. Pria itu hanya tersenyum menjadi bahan candaan. Situasi ini jauh lebih baik ketimbang kehilangan Taja untuk selamanya. Puas tertawa, Taja kembali duduk untuk meneguk teh hangat kesukaannya. Ramshad menatap wanita itu lekat dan beralih saat pandangan mereka bertemu.
“Jadi kau sengaja menahan lapar demi semua ini?” tanyanya, mendapati refleksi wajahnya sendiri pada permukaan minumannya.
“Tidak. Aku hanya ingin makan bersamamu. Mentertawakanmu adalah bonus,” jawab Taja seenaknya.
“Bagus untuk kesehatan mental.”
“Ya. Beberapa dari mereka melihat aku jatuh. Sungguh tak kusangka, mereka tulus menyambut ketika aku kembali. Karena itulah, aku tidak mau setengah-setengah membela negeri ini.”
“Bahkan merelakan Rhoden?” selidik Ramshad. Pancingannya berhasil, alis wanita itu berkerut.
“Pertanyaan yang sama juga tertuju padamu. Sudahkah kau melupakan Kamshir? Sebuah desa di Distrik Arzhan, Shiraz, Provinsi Fars?” Taja berpura-pura menyeruput tehnya sembari melirik pria di depannya yang mulai gelisah. “Aku sudah tahu semua tentangmu. Jangan tanya dari siapa atau dari mana. Anggap saja, bagian dari layanan eksklusif setelah aku diangkat menjadi panglima. Masalahnya, kita punya pertanyaan sama yang akan sulit dijawab. Apakah kita akan mengabdi di sini selamanya?”
“Setidaknya aku pernah menikah dengan wanita Eyn.”
“Setengah keturunan Eyn!” tukas Taja cepat. “Pernikahan palsu karena rasa kasihan dan wanita itu memanfaatkanmu agar bisa leluasa menemui kekasihnya yang ternyata adalah tentara musuh, atau aku harus menjelaskan lagi lebih rinci?” Suara Taja pelan berbisik namun bernada galak.
Ramshad sama sekali tidak merasa terancam. Sebagai pria yang telah mengenal Taja sejak wanita itu berusia delapan belas tahun, kadang sesekali harus mengulur tali kendali dan membiarkan dia menang. Meski sering adu mulut, bukan berarti saling menyakiti. Justru ia cukup kaget dengan luasnya informasi Taja tentang dirinya. Benarkah Taja begitu sesumbar menguak pribadinya lebih dalam? Memikirkan hal itu, Ramshad berusaha menyembunyikan segaris senyum yang nyaris tampak di bibirnya.
“Baiklah, kau menang. Lagi pula, matahari semakin meninggi. Aku kerja dulu.” Ramshad bangkit. “Oh ya, sekadar mengingatkanmu, Nona Panglima. Jangan mengirim orang untuk mencariku, dan setelah kau ‘mati’, Ramshi milikku. Selamat tinggal. Nikmati tehmu.” Ia pamit sambil meraih gelas Taja dan meneguknya hingga teh di dalamnya tak bersisa. Sebuah ‘penghinaan’ kecil yang sering mereka lakukan jika sedang bersama. “Pelayan!” panggilnya pada seorang pemuda yang kebetulan lewat membawa baki.
“Ya, Tuan?”
“Dia yang bayar.” Telunjuk Ramshad mengarah pada Taja yang menatapnya sinis. “Sudah,ya.” Kedipan matanya menyudahi pertemuan mereka pagi itu.
Sesudah kepergian Ramshad, Taja memandangi sekitar. Banyak orang lalu-lalang. Kedai makan memang berada di wilayah pasar yang ramai dan menguntungkan sekaligus menjadi tempat berkumpul prajurit istana yang menginginkan menu lain selain menu dapur istana yang sudah terjadwal setiap hari.
Ia melihat kuda kesayangannya kini tunduk pada laki-laki itu sehingga harus memikirkan kuda pengganti. Kala sosok Ramshad menghilang terhalang kerumunan, seorang prajurit istana menghampiri dan menyerahkan sebuah kantong kecil.
“Tuan Ramshad memerintahkan saya untuk menyerahkan ini setelah dia pergi.” Kemudian prajurit itu pun berlalu tanpa menjelaskan apapun lagi.
Kantong berisi beberapa logam emas.
Taja tahu maksud Ramshad. Pria itu selalu bertanggung jawab atas segala tindakannya. Mungkin sebagai biaya makan pagi, minuman, juga kuda pengganti Ramshi. Yang jelas sikap dewasa Ramshad membuat persahabatan mereka tetap awet.
“Baiklah, Tuan Ramshad. Anggap saja ini investasi,” ucap Taja. Lagi-lagi senyumnya menyimpan rencana tersembunyi.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H