Suara itu memecah lamunan Ramshad.
“Hei, kau dengar aku?” tegurnya lagi.
“Ta-Ta-Taja?” Pria bertubuh tinggi tegap tersebut tidak takut hantu, tetapi kali ini entah mengapa bulu kuduknya berdiri. Penasaran, ia perlahan memutar badan. Melihat Taja dalam keadaan sehat, bahkan bersih dan rapi seolah baru saja mandi, ia sampai tak mampu berkata-kata. “Ta-tapi … kami melihatmu terhempas bebatuan ....” Lemah pertahanannya ketika Taja berjalan mendekatinya. Rambut putih keperakan wanita itu tidak dikepang seperti biasanya, melainkan dibiarkan terurai dengan sedikit ikatan sederhana.
“Seperti yang kau lihat, aku selamat. Sehari sebelum pertempuran, aku memeriksa wilayah ini dan menemukan celah untuk menyelamatkan diri. Sebut saja aku beruntung sebab rencanaku berubah. Guguran tepi jurang cukup banyak, salah sedikit, makam yang kau buat itu adalah hadiah terakhir untukku.”
“Apakah raja sudah tahu?” Ramshad berusaha bersikap wajar tapi batinnya masih terguncang, haruskah tetap tenang atau berteriak girang karena tanpa wanita itu, ia benar-benar akan kesepian.
“Tiba di istana, aku langsung menghadap Yang Mulia. Aku berniat menemuimu tetapi penjaga bilang kau sudah pergi. Naluriku benar, kau kembali ke tempat ini.”
“Dan membiarkanku menyusun makam tak berguna itu sampai selesai?” Mata Ramshad menyipit curiga bahwa wanita itu sejak tadi mentertawakannya. Benar, Taja tergelak.
“Ya, benar-benar lucu. Jika bukan karena pekerjaan, aku pasti membiarkanmu menganggapku sudah mati.”
“Kenapa?”
“Balas dendam. Kau-lah yang akan menghabisi jenderal perang suruhan Zaghas Ardeth tanpa belas kasihan. Jadi aku tidak perlu susah payah mengerahkan lebih banyak pasukan,” jawab Taja. Licik dan tanpa rasa bersalah, ia berencana menerapkan taktik psikologis untuk memenangkan perang.
“Kau berniat memanfaatkan aku?” Wajah Ramshad berubah.