Aku masih ingat, deadline pengumpulan cerpen masih dua belas hari lagi, yakni empat hari setelah hari terakhir ujian semesterku.
...
Selama ujian aku menyimpan naskah cerita pendekku di rak bukuku. Aku melupakannya sejenak. Perhatianku kufokuskan pada berbagai mata pelajaran yang harus kupelajari lagi. Akhirnya, hari Jumat pun tiba. Ujian selesai pukul 10.30. Aku tidak langsung pulang ke rumah. Kudatangi sebuah rental komputer. Kukeluarkan naskah cerita pendekku lantas berusaha mengetiknya secepat mungkin. Aku memang belum begitu lancar dalam mengetik, masih sebelas jari kata orang. Aku mengetik setiap kata dengan hati-hati. Aku menghindari kesalahan pengetikan agar skor yang kuperoleh nanti tidak berkurang. Setelah merampungkan 12 lembar cerita pendekku, aku menuju ke Mbak pemilik rental. “Mbak, sudah selesai. Saya mau print,”kataku kepadanya. “Oh, iya Dek!” katanya kemudian. “Berapa selembarnya, Mbak?” tanyaku sambil mempersiapkan uangku. Semalam aku memecah celenganku. “Rental selama 4 jam = Rp 6000,00. Ditambah print 12 lembar = 12 x Rp 1.500,00 = Rp 18.000,00. Semuanya Rp 24.000,00, Dek...,” katanya kemudian. “Ini Mbak uangnya,” kataku sambil menyerahkan uangku. Kini uang di dompetku tinggal Rp 26.000,00.
Aku baru meninggalkan rental komputer pukul 15.30. Naskah cerita pendek harus digandakan sebanyak 3 eksemplar, alias akhirnya aku mengkopi-nya sebanyak 3 kali, satu eksemplar akan kusimpan sebagai arsipku. Uangku tinggal Rp 10.000,00, padahal aku masih harus mengeluarkan uang untuk mengirimkannya besuk Senin.
...
Hari Minggu pagi langit begitu cerah, secerah hatiku menyaksikan empat eksemplar cerita pendekku yang sudah rapi dijilid dan kuletakkan di sebuah map agar tidak terlihat oleh Ayah dan Ibu. Kami biasa berjalan-jalan pagi setiap hari Minggu. Aku, Hasan, Adi, Ayah, dan Ibu mengenakan kaos dan celana olahraga. Kami berputar mengelilingi desa kami yang masih sejuk. Di perjalanan, tidak kusangka Ayah akan membahas masalah celengan kami. Kami bertiga punya celengan masing-masing. Punyaku berbentuk kucing, punya Hasan berbentuk Ayam Jago, sedangkan punya Adi berbentuk katak. “Alhamdulillah, kemarin Ayah mendapat rezeki. Nanti, kalian masing-masing akan mendapat Rp 10.000,00. Nanti ditabung ya!” kata Ayah sambil berlari-lari kecil. “Iya, daripada buat jajan, mending ditabung!” kata Ibu menambahi sambil menggandeng tangan mungil Adi. “Setuju, Ayah!” seru Hasan bersemangat. Aku hanya terdiam. Celengan kucingku sudah kupecahkan. Rencananya aku akan menyisakan uang sakuku untuk membeli celengan kucing baru. Tidak kusangka Ayah akan membahasnya hari ini.
Olahragaku jadi tidak bersemangat. “Sial!” batinku dalam hati.
***
Yogyakarta, semester dua kuliah
“Cerita pendekku berjudul “Indonesia, Aku Padamu!” tidak pernah sampai ke panitia pelaksana lomba, Mbak! Bahkan, sampai ke Kantor Pos pun tidak. Ayah marah besar waktu beliau tahu celenganku sudah kupecah dan uangnya kupakai untuk cerpenku,” kataku kepada Mbak Namira, teman satu kost-ku yang gemar menulis.
“Lalu, cerpennya sekarang masih? Setelah itu, Fina masih suka menulis?” tanya Mbak Namira sambil tersenyum manis.