Aku tersenyum lebar melihat tulisanku dimuat di sebuah majalah remaja. Kubaca berulangkali. Rasanya aku tidak percaya cerita pendekku yang kukirim sebulan lalu sekarang sedang dibaca oleh ribuan, bahkan mungkin jutaan remaja di negeri ini. “Impian Fina”, begitu judul cerpenku.
Kuletakkan majalah milik Fahrani, sahabat sekelasku, yang kupinjam tadi siang. Senyum memunculkan kedua lesung pipitku saat mengingat kegembiraan di kelas siang tadi.
Usai jam istirihat pertama, ada razia mendadak di sekolah kami. Sebenarnya rutin setiap bulan, hanya saja hari dan jam pelaksanaannya selalu saja mendadak. Beruntunglah, kelas kami bukanlah kelas pertama yang didatangi para petugas razia yang akan memeriksa kelengkapan seragam dan mengincar benda-benda yang tidak boleh kami bawa, seperti: handphone, komik, majalah, dan benda-benda terlarang lainnya. Karena sudah tahu akan ada razia, kami berusaha menyembunyikan benda-benda kesayangan kami. Tenang saja, kami tidak membawa narkoba, novel porno, atau senjata tajam. Tidak akan pernah.
Udin, teman kami, berseru tertahan, “Hei, siapa yang masih bawa komik?! Aku bawa, tapi sudah kusembunyikan di eternit langit-langit belakang kelas yang sudah bolong-bolong. Cepetan, siapa mau nitip?”
“Hehehe....,” kami tertawa licik pelahan. Seluruh komik yang terkumpul pun lantas dinaikkan ke langit-langit, dengan bantuan sebuah kursi.
Fahrani terlihat datang tergopoh-gopoh dari kantin. Tangannya masih memegang plastik bening berisi gorengan dan es jeruk kesukaannya. “Woi, petugas razianya sudah sampai kelas 2 A!” serunya sambil buru-buru mengobrak-abrik tas ranselnya. Kami tersenyum melihat kepanikannya. Fahrani memang selalu begitu. Waktu jajannya selalu melebihi waktu istirahat, selama istirahat dia selalu keasyikan bermain bola basket di lapangan.
“Cepetan diumpetin, Ran! Punya kami sudah beres! Tuh, di sana!” kataku berbisik di dekatnya sambil menunjuk ke arah langit-langit.
“Hahhh, kelamaan kalau di sana!” jawab Fahrani sambil memasukkan beberapa majalah dan sebuah komik dalam plastik kresek hitam, lantas buru-buru memasukkannya di tempat sampah dekat pintu masuk kelas.
Kami tertawa melihat tingkahnya...
Tiga orang guru BK dan dua staff Tata Usaha yang menjelma menjadi Petugas Razia pun datang dengan tampang mirip pasukan KPK (Komisi Pemberantasan Ketidakdisiplinan) jaman Masa Orientasi Sekolah dulu. Kami diminta untuk berbanjar di depan papan tulis secara bergantian. Kami diperiksa dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Bu Marnia, salah satu petugas, tampak sibuk mencatat mereka yang melanggar.
Aku lolos dari razia. Aku berdiri di samping Bu Marnia. Apa yang ditulisnya sediki terbaca olehku. Rendi = tidak memakai ikat pinggang, warna sepatu coklat bukan hitam, kaus kaki di bawah mata kaki. Maryanto = rambut sedikit gondrong, lengan seragam atasan terlalu pendek, celana di atas lutut. Lani = bagde nama tidak dipasang. dst.....