Mohon tunggu...
Fitriyah Fitriyah
Fitriyah Fitriyah Mohon Tunggu... -

still learning :D

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pena-pena di Ujung Jemariku

12 Juni 2011   15:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_116181" align="alignleft" width="283" caption="Sumber Gambar : Google"][/caption]

Yogyakarta, kuliah semester dua...

Dia bilang, aku terlahir dengan kutukan yang telah Ayah hembuskan sejak aku masih dalam kandungan, bahkan mungkin sejak Ayah merencanakan keberadaanku dalam rahim Ibu. Kutukan yang semestinya kupatuhi mengingat tanpa sperma dan keringatnya aku tidak akan eksis sampai detik ini.

Kemarin sore, dia membakar jiwaku. Mengejekku bahwa aku ini lebih mirip dengan orang-orang bodoh yang ada dalam sebuah film India yang kami kagumi kemarin. Dia menganalogikan Ayahku sebagai Virus yang membunuh anaknya dengan senjata kutukan sebelum lahir.

“Anakku, kelak Kau akan menjadi seorang insinyur!” begitulah bunyi kutukan Virus kepada anaknya yang masih ada dalam nyawa sang Ibu.

Sedikit berbeda dengan Ayahku. Kutukan ayah memang cocok untuk anak perempuan seperti aku. “Anakku, kelak kau akan membuatku bangga dengan menjadi guru, ekonom, atau akuntan!”

Dan kutukan itu masih melekat hingga ujung syarafku saat ini.

...

Mbak Namira memberikan motivasi yang membangkitkanku untuk menguak kembali luka lama. Luka yang hampir saja kulupakan setelah hampir setahun kutekuni kuliahku di sebuah universitas negeri, Jurusan Pendidikan Ekonomi. Selama ini, telah kucoba untuk memetik dan menginternalisasikan setiap helai keseriusan untuk mewujudkan kutukan Ayah. Ah, maaf Ayah, lebih tepatnya: untuk mewujudkan harapanmu.

***

Cilacap, kelas dua SMP.

Aku tersenyum lebar melihat tulisanku dimuat di sebuah majalah remaja. Kubaca berulangkali. Rasanya aku tidak percaya cerita pendekku yang kukirim sebulan lalu sekarang sedang dibaca oleh ribuan, bahkan mungkin jutaan remaja di negeri ini. “Impian Fina”, begitu judul cerpenku.

Kuletakkan majalah milik Fahrani, sahabat sekelasku, yang kupinjam tadi siang. Senyum memunculkan kedua lesung pipitku saat mengingat kegembiraan di kelas siang tadi.

Usai jam istirihat pertama, ada razia mendadak di sekolah kami. Sebenarnya rutin setiap bulan, hanya saja hari dan jam pelaksanaannya selalu saja mendadak. Beruntunglah, kelas kami bukanlah kelas pertama yang didatangi para petugas razia yang akan memeriksa kelengkapan seragam dan mengincar benda-benda yang tidak boleh kami bawa, seperti: handphone, komik, majalah, dan benda-benda terlarang lainnya. Karena sudah tahu akan ada razia, kami berusaha menyembunyikan benda-benda kesayangan kami. Tenang saja, kami tidak membawa narkoba, novel porno, atau senjata tajam. Tidak akan pernah.

Udin, teman kami, berseru tertahan, “Hei, siapa yang masih bawa komik?! Aku bawa, tapi sudah kusembunyikan di eternit langit-langit belakang kelas yang sudah bolong-bolong. Cepetan, siapa mau nitip?”

“Hehehe....,” kami tertawa licik pelahan. Seluruh komik yang terkumpul pun lantas dinaikkan ke langit-langit, dengan bantuan sebuah kursi.

Fahrani terlihat datang tergopoh-gopoh dari kantin. Tangannya masih memegang plastik bening berisi gorengan dan es jeruk kesukaannya. “Woi, petugas razianya sudah sampai kelas 2 A!” serunya sambil buru-buru mengobrak-abrik tas ranselnya. Kami tersenyum melihat kepanikannya. Fahrani memang selalu begitu. Waktu jajannya selalu melebihi waktu istirahat, selama istirahat dia selalu keasyikan bermain bola basket di lapangan.

“Cepetan diumpetin, Ran! Punya kami sudah beres! Tuh, di sana!” kataku berbisik di dekatnya sambil menunjuk ke arah langit-langit.

“Hahhh, kelamaan kalau di sana!” jawab Fahrani sambil memasukkan beberapa majalah dan sebuah komik dalam plastik kresek hitam, lantas buru-buru memasukkannya di tempat sampah dekat pintu masuk kelas.

Kami tertawa melihat tingkahnya...

Tiga orang guru BK dan dua staff Tata Usaha yang menjelma menjadi Petugas Razia pun datang dengan tampang mirip pasukan KPK (Komisi Pemberantasan Ketidakdisiplinan) jaman Masa Orientasi Sekolah dulu. Kami diminta untuk berbanjar di depan papan tulis secara bergantian. Kami diperiksa dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Bu Marnia, salah satu petugas, tampak sibuk mencatat mereka yang melanggar.

Aku lolos dari razia. Aku berdiri di samping Bu Marnia. Apa yang ditulisnya sediki terbaca olehku. Rendi = tidak memakai ikat pinggang, warna sepatu coklat bukan hitam, kaus kaki di bawah mata kaki. Maryanto = rambut sedikit gondrong, lengan seragam atasan terlalu pendek, celana di atas lutut. Lani = bagde nama tidak dipasang. dst.....

Razia pun berakhir. Sekitar lima belas siswa dengan berbagai pelanggaran pun diminta berkumpul di ruang Bimbingan Konseling. Mereka diberi pengarahan lantas diminta untuk mengisi dan menandatangani buku pelanggaran. Semua pelanggaran kami selama bersekolah di SMP akan terekam di buku itu. Buku yang kami benci karena akan ada kredit point di situ. Semakin sering melanggar, maka akan semakin besar pula point yang terkumpul. Saat point kami mencapai 70, sekolah akan mengirimkan surat kepada orang tua kami. Saat point kami mencapai 80, surat peringatan kedua pun dikirimkan kepada orang tua. Saat point kami mencapai 90, orang tua kami akan dipanggil oleh Kepala Sekolah. Point 100 menjadi point terbesar. Jika ada siswa yang mencapainya, maka dia akan resmi dikeluarkan dari sekolah kami.

Lima belas siswa yang tersisa di kelas pun tersenyum lega, termasuk aku, Fahrani, dan Udin. Ah, dalam hati aku berkata, “Kita baru saja berlatih menjadi penjahat cilik teman-teman... Semoga kelak kita tidak menjadi orang-orang yang selalu melanggar hukum.”

Usai jam pelajaran terakhir... “Fina...! Hoiiii, aku punya surprise buatmu!” seru Fahrani sambil mengeluarkan majalah yang diambilnya dari tempat sampah. “Apa, Ran?” tanyaku sambil bersiap-siap untuk mengikuti ekstrakurikuler Pramuka. “Lihat, Fin! Ada namamu di majalah ini!” serunya. “Masa, sih?” tanyaku sambil membaca daftar isi. Mataku membelalak dan mulutku terbuka karena senang. Benar saja, cerpenku dimuat! Aku senang sekali. Senang karena karyaku akan dibaca banyak orang!

Impianku untuk menjadi penulis semakin tumbuh. Sebelumnya baru sebatas benih, saat ini telah berkecambah, dan aku yakin suatu hari nanti akan menjadi sebuah pohon yang kuat, dan buahnya adalah novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi yang akan dibaca banyak orang di negeri ini! Aku akan bersabar untuk membuat buah itu dapat kupetik.

Suara Ibu dari arah luar membuyarkan lamunanku. “Fina, dipanggil Ayah, tuh!” “Nggih Bu, saya segera kesana...” jawabku, lantas bergegas menemui Ayah yang sedang duduk-duduk menikmati indahnya langit warna jingga dan tawa canda adikku yang paling kecil. “Ada apa, Yah?” tanyaku sembari duduk di kursi rotan panjang. “Tadi Ayah dapat kabar dari Pak Margono. Katanya, dia dapat cerita dari anaknya, siapa namanya Fin?” tanya Bapak sambil mengernyitkan dahinya. “Fahrani, Ayah...” jawabku sambil memangku Adi yang asyik memainkan rambutku. “He’eh, Fahrani. Katanya kamu ngirim tulisan lalu dimuat...” kata Bapak dengan ekspresi aneh sementara ekspresiku spontan berubah ceria. “Iya, Yah... Fina senang sekali! Tulisan Fina dibaca orang!” seruku kegirangan. “Lha, ujian akhir semester pertamamu kapan?” tanya Ayah serius. “Masih sebulan lagi, Yah! InsyaAllah Fina mau mengirimkan cerpen lagi, Yah! Siapa tahu akan dimuat lagi! Fina masih punya setumpuk cerita...” kataku bersemangat. “Iya, Ayah tahu... Setiap hari kamu nulis cerita, sampai lupa belajar!” kata Ayah sambil menyuapi Adi dengan biskuit bayi. “Menulis itu menyenangkan. Ibarat orang lapar, Fina akan kenyang setelah menulis. Fina punya impian. Kelak Fina bisa menulis buku atau novel, lalu diterbitkan oleh sebuah penerbit terkenal! Ayah..... Fina akan senang sekali!” seruku dengan ekspresi lucu. “Hush, ngawur kamu! Jangan bermimpi terlalu tinggi! Lagipula, jadi penulis untungnya apa? Iya kalau diterbitkan, lha kalau tulisanmu nggak layak terbit gimana?” tanya Ayah dengan raut muka serius.

Mendengar komentarnya barusan, aku jadi tahu kalau Ayah kurang menyukai hobiku. Tapi, biarkan saja Ayah seperti itu... Yang pasti, aku akan terus menulis.

...

Seminggu kemudian, seseorang mengantar paket ke rumahku. Ada namaku di bungkusnya. Isinya adalah jam dinding berbentuk Hello Kitty yang begitu unik di mataku. Aku tersenyum senang setelah jam dinding itu terpasang rapi di dinding kamarku. “Cuma jam dinding seperti itu saja, senangnyaaaaa bukan main..” kata Ayah mengejekku sambil tersenyum. “Jamnya bagus, Yah... Unik... Warnanya juga bagus!” kataku sambil memandangi Hello Kitty yang lucu. “Kapan-kapan Ayah akan membelikanmu yang lebih bagus...” katanya kemudian. “Bener lho, Yah!” kataku sambil tersenyum menatapnya. Tanpa kuduga, Ayah mendekat dan memegang pundak serta menatapku. “Belajarlah yang rajin, nak! Biar kelak kau bisa menjadi Guru atau Ekonom atau Akuntan yang sukses. Ayah sangat bangga kepadamu. Apalagi melihat nilai-nilaimu selama ini selalu bagus. Ayah yakin kelak kamu akan sukses. Jangan biarkan cerpen-cerpenmu merusak masa depanmu... Fokus Nak, fokus pada kesuksesan hidupmu!” Aku mendengarkan kata-kata ayah tadi dengan baik. Aku tahu, Ayah menginginkanku untuk menjadi yang terbaik. Sejenak kemudian, aku mengambil buku harianku, lantas menulis sebuah puisi sederhana.

Hello Kitty

Halo Ayah, Lihatlah... hari ini sebuah jariku telah patah oleh kata-kata harapanmu... Padahal di setiap jariku ada pena

Maaf Ayah, Aku akan terus menulis Meski hanya dengan sembilan mata pena Kumohon jangan kau patahkan lagi

Sesungguhnya aku sangat tersinggung saat Ayah mengejek jam Hello Kitty-ku, tapi aku tidak pernah menampakkannya. Ayah tidak hanya mengejek jam dindingku, Ayah mengejek karyaku...

...

Kami mengikuti kegiatan rutin yang wajib diikuti setiap hari Kamis, kerjabakti. Apalagi Ujian Akhir Semester Satu kurang seminggu lagi. Agar ujian berjalan lancar, kelas dan lingkungan sekolah dibersihkan dan dirapikan.

Aku, Fahrani, dan beberapa teman putri lainnya mendapat tugas untuk membersihkan kaca-kaca jendela. Kami menggunakan koran dan tabloid untuk membuat kaca jadi bersih cemerlang. Caranya, bersihkan jendela dan kaca dari debu dengan kemoceng, lalu semprot kaca dengan cairan pembersih kaca, terakhir gosok dan lap kaca dengan kertas koran atau tabloid kering yang sudah tidak terpakai.

Kami telah menyiapkan koran bekas yang kami minta dari perpustakaan. Beberapa teman juga membawa koran dan tabloid yang sudah selesai dibaca.

Aku membuka-buka sebuah tabloid yang dibawa oleh Fahrani. Aku tertarik untuk membacanya sekilas sebelum nanti akan berubah menjadi alat bersih-bersih kami. Wah, ternyata edisi minggu ini! Rupanya keluarga Fahrani rajin berlangganan koran dan tabloid.

Lembar demi lembar kubuka dan kubaca sekilas. Salah satu halaman membuatku sangat tertarik. Kurobek segera halaman itu lantas kumasukkan ke dalam tasku, mengingat tabloid itu nantinya juga akan dibagi-bagi. Satu lembar tabloid yang tidak kusangka akan membuat Ayah marah besar kepadaku...

...

Sepulang sekolah, aku mengambil sobekan halaman tabloid dari dalam tas-ku. Sambil menyandarkan badan ke kursi belajar, aku membaca apa yang tertulis dalam lembaran. Pengumuman Lomba Cerita Pendek Remaja. “Wow, lomba ini akan diikuti oleh banyak penulis di seantero Indonesia!” batinku bersemangat.

Temanya sangat menarik hatiku: Persembahan Terbaikku Buat Indonesia. Aku pun berpikir. Imajinasiku mencoba mengurai tema menjadi ide-ide yang nantinya akan kurangkai menjadi sekumpulan kata yang tidak hanya menarik tapi juga sarat makna. Bukan hadiah yang menjadi daya penarikku waktu itu, melainkan aku ingin membuktikan eksistensiku dalam dunia tulis-menulis. Nasihat Ayah beberapa minggu lalu terlupakan, digantikan oleh kesibukan menggerakkan pena-pena di ujung jemari yang bersinergi dengan akal dan hatiku.

Sore ini lumayan, meski hanya berhasil menyusun kerangka karangan. Kubuka-buka kembali kumpulan cerpenku sejak Sekolah Dasar dulu. Kucoba untuk mencari satu karya terbaik yang paling pas dengan tema cerpen yang disebutkan. Namun, idealisme seolah menantangku untuk menulis cerpen baru dengan gagasan yang baru saja kurangkai. Kuputuskan untuk tidak menggunakan karya lamaku.

Jam menunjukkan pukul 20.00. Ayah dan Ibu sedang menonton acara talkshow di televisi. Temanya bagus sekali: Peran Media Massa dalam Membumikan Semangat Anti Korupsi. Dua kelompok mahasiswa hadir dan diberi kesempatan untuk bertanya dan mengungkapkan gagasannya. Hadir pula beberapa tokoh ternama yang sudah pasti dikenal oleh banyak orang : satu pakar politik, satu pakar media massa elektronik, satu pakar media cetak, satu tokoh agama, dan seorang aktris ternama yang terjun di dunia politik. Host-nya sangat pintar menurutku. Dia mampu membawakan acara dengan cerdas, namun tetap menyenangkan. Aku menonton acara itu sampai habis. Rupanya Ayah dan Ibu juga sangat menikmati acara, sampai-sampai mereka lupa mengingatkanku untuk belajar.

“Astaghfirullah, Fina! Sebentar lagi mau ujian... Ini malah nonton TV sampai jam sepuluh. Sudah Bu, TV-nya dimatikan saja! Biar Fina belajar...” kata Ayah lantas membangunkan Hasan, adik pertamaku, yang tertidur di depan Televisi. Posisinya lucu sekali, Buku PR Matematika-nya menjadi bantal tidurnya. Untung tidak tergambar peta dunia model baru di bukunya.

Aku hanya nyengir mendengar kata-kata Ayah. Setelah membawa gelas kotor dan stoples cemilan ke dapur, aku pun bergegas ke kamar. Talkshow di Televisi tadi membuatku mampu merangkai kata dengan lancar malam ini.

Pukul 01.00 dini hari cerita pendekku selesai. Mataku rasanya sudah tidak sanggup lagi untuk mengedit tulisanku. Aku pergi ke kamar mandi dan mencuci muka. Rupanya Ayah sedang membuat susu buat Adi di dapur.

“Belum tidur, Fin? Kalau belajar jangan begadang! Segala sesuatu itu kalau berlebihan nanti malah jadi tidak baik. Habis ini langsung tidur, ya!” seru Ayah sambil menepuk pundakku. “Iya, Ayah... Setelah ini Fina tidur,” jawabku. Aku mengambil wudhu dengan hati gembira. Kesegaran dan semangat baru terasa mengalir di sekujur tubuhku seusai wudhu. Usai meminum segelas air putih, aku beranjak menuju kamar. Aku tertegun di depan pintu. Ayah ada di kamarku. Kulihat buku tulis tempatku menuliskan cerpenku dalam kondisi tertutup. Sementara sobekan koran berisi pengumuman lomba sudah tidak ada lagi di tempatnya. Ayah duduk di tepi ranjangku. Menyuruhku untuk cepat-cepat berbaring. Beliau menarik selimut guna menutupi badanku. “Anakku sayang, tidur yang nyenyak ya...,” kata Ayah lantas mencium keningku. Aku masih terkejut. Aku hanya terdiam ketika Ayah mematikan lampu lantas pergi meninggalkan kamarku. Aku tidak mampu memejamkan mata. Rasanya sudah tidak mungkin lagi untuk menyalakan lampu lantas mencari sobekan tabloid itu. Nanti Ayah akan marah kalau aku tidak segera tidur.

...

Paginya, aku tidak menemukan sobekan tabloid di meja belajarku, bahkan di seluruh kamarku. Saat sarapan, aku jadi kurang bersemangat. Apalagi setelah melihat melihat sobekan tabloid-ku semalam ada di tempat sampah. Sementara itu, Ayah tampak berbeda dari biasanya. Aku pergi ke sekolah dalam kondisi yang sangat tidak nyaman: mengantuk dan pikiranku tidak mampu fokus ke pelajaran. Ayah terus saja mengganggu pikiranku.

...

Ibu sedang pergi mengikuti arisan RT sore ini. Adi diajak oleh Ibu. Sementara Hasan sedang belajar di rumah Agung, teman sekelasnya. Di rumah hanya ada aku dan Ayah. Aku menjadi canggung sore ini. Ayah juga begitu. Sepertinya beliau marah. “Fina!” beliau memanggilku. Aku mendekat. Ayah meletakkan koran yang tadi dibacanya. “Kenapa kok cemberut saja dari tadi?” tanya Ayah sembari tersenyum. Rupanya aku diperhatikannya sedari tadi. “Nggak kok, Yah...!” jawabku sambil tersenyum pula. “Tadi Ayah beli cemilan waktu pulang kantor. Di meja makan. Sana ambil, Fin! Dimakan sambil ngeteh dan nonton TV pasti enak sekali...,” kata Ayah. Aku tersenyum lantas segera bergegas ke dapur, membuat dua cangkir teh hangat dan mengambil cemilan di meja makan, kemudian segera membawanya ke ruang keluarga. Aku dan Ayah menonton TV bersama. Kami membicarakan banyak hal. Aku merasa rasa sayangku kepada Ayah semakin bertambah hingga diam-diam aku membuat keputusan: aku akan rajin belajar, aku harus mempertahankan peringkat pertamaku di kelas, tidak boleh tidak!

...

Pukul 22.00, aku selesai belajar. Kuputuskan untuk mengedit cerita pendekku sebentar. Baru sebatas tulisan tangan, padahal aku harus mengirimkannya dalam bentuk ketikan. Sayang, di rumahku hanya ada satu komputer di ruang kerja Ayah. Jika aku meminjam komputer Ayah lantas aku ketahuan sedang mengetik cerita pendek, sudah pasti aku akan dimarahi habis-habisan. Aku tidak mau ambil risiko.

Aku masih ingat, deadline pengumpulan cerpen masih dua belas hari lagi, yakni empat hari setelah hari terakhir ujian semesterku.

...

Selama ujian aku menyimpan naskah cerita pendekku di rak bukuku. Aku melupakannya sejenak. Perhatianku kufokuskan pada berbagai mata pelajaran yang harus kupelajari lagi. Akhirnya, hari Jumat pun tiba. Ujian selesai pukul 10.30. Aku tidak langsung pulang ke rumah. Kudatangi sebuah rental komputer. Kukeluarkan naskah cerita pendekku lantas berusaha mengetiknya secepat mungkin. Aku memang belum begitu lancar dalam mengetik, masih sebelas jari kata orang. Aku mengetik setiap kata dengan hati-hati. Aku menghindari kesalahan pengetikan agar skor yang kuperoleh nanti tidak berkurang. Setelah merampungkan 12 lembar cerita pendekku, aku menuju ke Mbak pemilik rental. “Mbak, sudah selesai. Saya mau print,”kataku kepadanya. “Oh, iya Dek!” katanya kemudian. “Berapa selembarnya, Mbak?” tanyaku sambil mempersiapkan uangku. Semalam aku memecah celenganku. “Rental selama 4 jam = Rp 6000,00. Ditambah print 12 lembar = 12 x Rp 1.500,00 = Rp 18.000,00. Semuanya Rp 24.000,00, Dek...,” katanya kemudian. “Ini Mbak uangnya,” kataku sambil menyerahkan uangku. Kini uang di dompetku tinggal Rp 26.000,00.

Aku baru meninggalkan rental komputer pukul 15.30. Naskah cerita pendek harus digandakan sebanyak 3 eksemplar, alias akhirnya aku mengkopi-nya sebanyak 3 kali, satu eksemplar akan kusimpan sebagai arsipku. Uangku tinggal Rp 10.000,00, padahal aku masih harus mengeluarkan uang untuk mengirimkannya besuk Senin.

...

Hari Minggu pagi langit begitu cerah, secerah hatiku menyaksikan empat eksemplar cerita pendekku yang sudah rapi dijilid dan kuletakkan di sebuah map agar tidak terlihat oleh Ayah dan Ibu. Kami biasa berjalan-jalan pagi setiap hari Minggu. Aku, Hasan, Adi, Ayah, dan Ibu mengenakan kaos dan celana olahraga. Kami berputar mengelilingi desa kami yang masih sejuk. Di perjalanan, tidak kusangka Ayah akan membahas masalah celengan kami. Kami bertiga punya celengan masing-masing. Punyaku berbentuk kucing, punya Hasan berbentuk Ayam Jago, sedangkan punya Adi berbentuk katak. “Alhamdulillah, kemarin Ayah mendapat rezeki. Nanti, kalian masing-masing akan mendapat Rp 10.000,00. Nanti ditabung ya!” kata Ayah sambil berlari-lari kecil. “Iya, daripada buat jajan, mending ditabung!” kata Ibu menambahi sambil menggandeng tangan mungil Adi. “Setuju, Ayah!” seru Hasan bersemangat. Aku hanya terdiam. Celengan kucingku sudah kupecahkan. Rencananya aku akan menyisakan uang sakuku untuk membeli celengan kucing baru. Tidak kusangka Ayah akan membahasnya hari ini.

Olahragaku jadi tidak bersemangat. “Sial!” batinku dalam hati.

***

Yogyakarta, semester dua kuliah

“Cerita pendekku berjudul “Indonesia, Aku Padamu!” tidak pernah sampai ke panitia pelaksana lomba, Mbak! Bahkan, sampai ke Kantor Pos pun tidak. Ayah marah besar waktu beliau tahu celenganku sudah kupecah dan uangnya kupakai untuk cerpenku,” kataku kepada Mbak Namira, teman satu kost-ku yang gemar menulis.

“Lalu, cerpennya sekarang masih? Setelah itu, Fina masih suka menulis?” tanya Mbak Namira sambil tersenyum manis.

“Cerpennya dibuang oleh Ayah. Setelah itu, aku seperti trauma untuk menulis lagi. Bahkan aku sempat menganggap remeh aktivitas menulis,” kataku sambil tersenyum tipis, “Meskipun sebenarnya sesekali aku mengkhinati Ayah dengan menulis secara sembunyi-sembunyi. Kalau dipikir-pikir, aku seperti Kartini saja ya, Mbak? Bedanya, aku dipingit Ayah dari dunia tulis-menulis saja.”

“Wah, sayang sekali! Padahal, waktu tanpa sengaja aku membaca tulisanmu di flashdiskmu, aku jadi tahu kalau Fina sangat berbakat,”kata Mbak Namira penuh semangat.

***

Cilacap, kelas 3 SMA

Aku bingung sekali saat harus menentukan jurusan mana yang akan kupilih. Aku sangat menyukai sastra, namun Ayah pasti tidak memperbolehkan aku masuk jurusan sastra Indonesia. “Pilih jurusan Ekonomi atau Akuntansi, Fin! Biar kelak kamu bisa seperti Ayah!” pesan Ayah dalam setiap obrolan baru-baru ini. Akhirnya, aku memilih Jurusan Pendidikan Ekonomi. Kelak aku akan menjadi guru Ekonomi dengan dukungan kuat dari Ayah. Malamnya, aku menulis diary seperti biasanya... Hello, Ayah! (buat perencana masa depan nomor satu di dunia)

Aku menjadi anak yang paling berbahagia sore ini Melihat dua lesung pipit di antara bahagiamu Aku bangga - engkau Ayahku Aku bangga - aku anakmu

Aku tahu Ayah professional Aku akan selalu mempercayaimu Terimakasih, Ayah!

***

Yogyakarta, kuliah semester empat...

“Cieeee.... Selamat ya, Fin! Bukumu keren!” kata Mbak Namira sembari memelukku. Aku tersenyum malu, “Makasih, Mbak... Ini baru permulaan. Masih butuh latihan dan perbaikan.” “Alhamdulillah... Bagaimana kabar Ayah di Cilacap?” tanya Mbak Namira menggodaku sambil tersenyum. “Beliau ikut senang, Mbak! Ayah mendukungku. Aku boleh terus menulis selama IPK-ku masih di atas 3,4” kataku dengan mata berbinar. “Subhanallah...” Mbak Namira kembali memelukku.

***

Cilacap, Tahun 2015

“Ayah, Fina berangkat kerja, nggih!” kataku berpamitan sambil mencium tangannya. “Iya Fin, hati-hati!” jawab Ayah, “Loh, novelmu ketinggalan... Katanya mau dipinjam temen...” “Oh, iya Yah... Lupa...” aku buru-buru memasukkan novel itu ke dalam tas kerjaku. Novelku yang ketujuh...

(Yogyakarta, 24 Juni 2010) -Selesai-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun