Mohon tunggu...
Fitriyah Fitriyah
Fitriyah Fitriyah Mohon Tunggu... -

still learning :D

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pena-pena di Ujung Jemariku

12 Juni 2011   15:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Razia pun berakhir. Sekitar lima belas siswa dengan berbagai pelanggaran pun diminta berkumpul di ruang Bimbingan Konseling. Mereka diberi pengarahan lantas diminta untuk mengisi dan menandatangani buku pelanggaran. Semua pelanggaran kami selama bersekolah di SMP akan terekam di buku itu. Buku yang kami benci karena akan ada kredit point di situ. Semakin sering melanggar, maka akan semakin besar pula point yang terkumpul. Saat point kami mencapai 70, sekolah akan mengirimkan surat kepada orang tua kami. Saat point kami mencapai 80, surat peringatan kedua pun dikirimkan kepada orang tua. Saat point kami mencapai 90, orang tua kami akan dipanggil oleh Kepala Sekolah. Point 100 menjadi point terbesar. Jika ada siswa yang mencapainya, maka dia akan resmi dikeluarkan dari sekolah kami.

Lima belas siswa yang tersisa di kelas pun tersenyum lega, termasuk aku, Fahrani, dan Udin. Ah, dalam hati aku berkata, “Kita baru saja berlatih menjadi penjahat cilik teman-teman... Semoga kelak kita tidak menjadi orang-orang yang selalu melanggar hukum.”

Usai jam pelajaran terakhir... “Fina...! Hoiiii, aku punya surprise buatmu!” seru Fahrani sambil mengeluarkan majalah yang diambilnya dari tempat sampah. “Apa, Ran?” tanyaku sambil bersiap-siap untuk mengikuti ekstrakurikuler Pramuka. “Lihat, Fin! Ada namamu di majalah ini!” serunya. “Masa, sih?” tanyaku sambil membaca daftar isi. Mataku membelalak dan mulutku terbuka karena senang. Benar saja, cerpenku dimuat! Aku senang sekali. Senang karena karyaku akan dibaca banyak orang!

Impianku untuk menjadi penulis semakin tumbuh. Sebelumnya baru sebatas benih, saat ini telah berkecambah, dan aku yakin suatu hari nanti akan menjadi sebuah pohon yang kuat, dan buahnya adalah novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi yang akan dibaca banyak orang di negeri ini! Aku akan bersabar untuk membuat buah itu dapat kupetik.

Suara Ibu dari arah luar membuyarkan lamunanku. “Fina, dipanggil Ayah, tuh!” “Nggih Bu, saya segera kesana...” jawabku, lantas bergegas menemui Ayah yang sedang duduk-duduk menikmati indahnya langit warna jingga dan tawa canda adikku yang paling kecil. “Ada apa, Yah?” tanyaku sembari duduk di kursi rotan panjang. “Tadi Ayah dapat kabar dari Pak Margono. Katanya, dia dapat cerita dari anaknya, siapa namanya Fin?” tanya Bapak sambil mengernyitkan dahinya. “Fahrani, Ayah...” jawabku sambil memangku Adi yang asyik memainkan rambutku. “He’eh, Fahrani. Katanya kamu ngirim tulisan lalu dimuat...” kata Bapak dengan ekspresi aneh sementara ekspresiku spontan berubah ceria. “Iya, Yah... Fina senang sekali! Tulisan Fina dibaca orang!” seruku kegirangan. “Lha, ujian akhir semester pertamamu kapan?” tanya Ayah serius. “Masih sebulan lagi, Yah! InsyaAllah Fina mau mengirimkan cerpen lagi, Yah! Siapa tahu akan dimuat lagi! Fina masih punya setumpuk cerita...” kataku bersemangat. “Iya, Ayah tahu... Setiap hari kamu nulis cerita, sampai lupa belajar!” kata Ayah sambil menyuapi Adi dengan biskuit bayi. “Menulis itu menyenangkan. Ibarat orang lapar, Fina akan kenyang setelah menulis. Fina punya impian. Kelak Fina bisa menulis buku atau novel, lalu diterbitkan oleh sebuah penerbit terkenal! Ayah..... Fina akan senang sekali!” seruku dengan ekspresi lucu. “Hush, ngawur kamu! Jangan bermimpi terlalu tinggi! Lagipula, jadi penulis untungnya apa? Iya kalau diterbitkan, lha kalau tulisanmu nggak layak terbit gimana?” tanya Ayah dengan raut muka serius.

Mendengar komentarnya barusan, aku jadi tahu kalau Ayah kurang menyukai hobiku. Tapi, biarkan saja Ayah seperti itu... Yang pasti, aku akan terus menulis.

...

Seminggu kemudian, seseorang mengantar paket ke rumahku. Ada namaku di bungkusnya. Isinya adalah jam dinding berbentuk Hello Kitty yang begitu unik di mataku. Aku tersenyum senang setelah jam dinding itu terpasang rapi di dinding kamarku. “Cuma jam dinding seperti itu saja, senangnyaaaaa bukan main..” kata Ayah mengejekku sambil tersenyum. “Jamnya bagus, Yah... Unik... Warnanya juga bagus!” kataku sambil memandangi Hello Kitty yang lucu. “Kapan-kapan Ayah akan membelikanmu yang lebih bagus...” katanya kemudian. “Bener lho, Yah!” kataku sambil tersenyum menatapnya. Tanpa kuduga, Ayah mendekat dan memegang pundak serta menatapku. “Belajarlah yang rajin, nak! Biar kelak kau bisa menjadi Guru atau Ekonom atau Akuntan yang sukses. Ayah sangat bangga kepadamu. Apalagi melihat nilai-nilaimu selama ini selalu bagus. Ayah yakin kelak kamu akan sukses. Jangan biarkan cerpen-cerpenmu merusak masa depanmu... Fokus Nak, fokus pada kesuksesan hidupmu!” Aku mendengarkan kata-kata ayah tadi dengan baik. Aku tahu, Ayah menginginkanku untuk menjadi yang terbaik. Sejenak kemudian, aku mengambil buku harianku, lantas menulis sebuah puisi sederhana.

Hello Kitty

Halo Ayah, Lihatlah... hari ini sebuah jariku telah patah oleh kata-kata harapanmu... Padahal di setiap jariku ada pena

Maaf Ayah, Aku akan terus menulis Meski hanya dengan sembilan mata pena Kumohon jangan kau patahkan lagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun