Mohon tunggu...
Vani Diana
Vani Diana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Rahma

30 April 2019   23:57 Diperbarui: 1 Mei 2019   00:11 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rahma mencintai Gilang. Kedua orangtuanya mengetahui hal itu. Ia mencintai Gilang, dan dengan cinta yang terus dipertahankannya itu, ia menolak satu demi satu calon pendamping yang ditawarkan padanya; relasi bisnis ayahnya, anak teman pengajian ibunya, teman kakaknya, bahkan saudara sepupu tetangga sebelah rumahnya sendiri.

Hal itu berlangsung terus selama berbulan-bulan, hingga akhirnya Ibu memberikan ultimatum padanya: bila ia tidak bisa mengajak Gilang menikah dengannya tahun ini juga, maka ia harus menikah dengan salah satu pilihan Ibu! Rahma hanya terdiam mendengar ultimatum itu. Air matanya menetes satu-satu di pipinya.

***

"Masalahnya bukan tentang menikah dengan Gilang atau tidak, Fi," Rahma mencurahkan isi hatinya kepada Arfi, teman sekantornya.

"Lalu apa?" tanya Arfi sambil menyeka ujung bibirnya dengan tisu. Saat itu, keduanya baru saja selesai menyantap semangkuk bakso di kedai belakang kantor.

"Masalahnya, aku tidak merasa Ayah dan Ibu ridho terhadap keadaanku sekarang. Dua puluh tujuh tahun, single, belum punya calon pendamping... kemarahan mereka karena aku mencintai Gilang hanya salah satu bentuk rasa kecewa mereka terhadapku," jawab Rahma diikuti nafasnya yang mendesah berat.

Arfi menatap Rahma. "Tapi memang wajar, kan, kalau mereka kecewa terhadap keputusanmu itu? Aku, kau, bahkan ayah dan ibumu pun tahu bahwa Gilang tidak mencintaimu," ujarnya perlahan. Rahma menatap Arfi sekilas dan menggeleng,

"Belum, Gilang belum mencintaiku seperti aku mencintainya. Saat ini, aku hanya bisa berdoa agar Allah melembutkan hatinya hingga suatu saat... yah, semoga suatu saat, dengan ridho-Nya, ia akan datang untuk melamarku."

"Sampai kapan kau akan berdoa?" potong Arfi ,"sampai kau menerima undangan dari Gilang agar kau datang ke pernikahannya?"

Rahma tertawa kecil. Arfi mengerutkan keningnya, heran karena tidak menduga teman akrabnya itu justru tertawa mendengar kata-katanya barusan.

"Mungkin juga," angguk Rahma sambil tersenyum. "Yang jelas, saat ini aku ingin berdoa dan terus meminta kepada Allah... bukankah katamu dulu, Allah senang dimintai oleh hamba-hamba-Nya? Dan bahwa Allah tidak akan mengecewakan siapapun yang meminta kepada-Nya? Maybe it's only a matter of time...."

Arfi mengangkat bahu, lalu menyeka bibirnya lagi. Diseruputnya teh botol yang hanya tersisa sepertiga sambil diam-diam merenung.

Bukan tanpa alasan, memang, mengapa Ayah dan Ibu Rahma sangat kecewa terhadap keputusan Rahma. Gadis itu memilih mencintai Gilang, seorang insinyur muda perusahaan minyak, yang juga teman satu kampus Arfi dahulu. Rahma mengenal Gilang dari Arfi saat mereka bertemu dengannya dalam sebuah pengajian lepas kerja yang diadakan di sebuah masjid di bilangan Blok M.

Saat itu, Rahma belumlah seperti Rahma yang sekarang. Ia masih senang mengenakan setelan blazer dan rok selututnya, dengan jepitan rambut tweety, mickey mouse, atau donald duck yang setia menghias rambut ikalnya. Ya, Rahma adalah sosok seorang gadis yang aktif, ceria, sedikit kekanak-kanakan, namun berhati lembut.

Karenanya, semua orang terkaget-kaget ketika suatu pagi Rahma datang ke kantor dengan penampilan super ajaib: kemeja dan celana panjang longgar berwarna mencolok, serta kerudung tipis yang dililit sekitar lehernya.

"Gila! Ngapain Lo dandan kayak ibu-ibu kampung mau ke pengajian?" Arief, staf bagian keuangan, menarik kerudung Rahma hingga gadis itu menjerit marah.

"Yaah... Ma, kalau penampilan Lo kayak begini, kita nggak bisa ngajak Lo ke caf lagi dong sehabis kerja!" Sissy protes dibarengi anggukan Rista dan Monik.

"Emang gue nggak terlalu suka ke sana kok!" wajah kekanakan Rahma merengut.

"Eh, Ma, nggak usah pakai baju kayak begini juga kita tahu kalau Lo tuh muslim." Daniel, kasie ekspor-impor, menunjuk baju Rahma.

Rahma hanya bisa menahan kecewa atas reaksi teman-teman sekantornya. Akhirnya, ia memburu sahabatnya, Arfi. "Tolong, dong, Fi...!!" serunya putus asa.

Pagi itu juga, Rahma mengganti kerudung tipisnya dengan jilbab berenda milik Arfi yang selalu tersimpan di laci meja gadis berkacamata itu. Saat istirahat makan siang, Arfi mengantar Rahma membeli satu stel pakaian muslimah di sebuah plaza. Kemeja panjang, rok model A, dan sebuah rompi setengah pinggang, terlihat sangat manis dan cocok menemani kesibukan Rahma di sisa hari kerjanya.

Lalu tentang Gilang, setelah beberapa kali bertemu di pengajian lepas kerja, tiba-tiba saja pada satu hari Rahma mengatakan kepada Arfi bahwa sepertinya ia jatuh cinta pada Gilang. Arfi sampai tersedak mendengarnya.

"A-apa kau bilang? Gilang mencintaimu?" tanya Arfi kaget.

Rahma menggeleng cepat. "Bukan, aku bilang sebaliknya, aku mencintai Gilang. Kok kau kaget? Tuh, rokmu sampai ketumpahan gudeg!" Rahma mengelap rok Arfi dengan sapu tangannya.

"Ti-tidak apa-apa. Aku pikir.... maaf, aku salah dengar," ujar Arfi dengan wajah pucat. Rahma menatap Arfi lekat-lekat.

"Kau menyukainya juga, ya...?" tanya Rahma polos.

Arfi meneguk teh manisnya dan menggeleng buru-buru. "Jangan salah sangka. Aku tidak pernah melihatmu menyukai seseorang sebelumnya, makanya aku kaget mendengar kau jatuh cinta kepada seseorang!"

"Ooh...." Rahma menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai. Sebuah senyum terkembang di wajahnya. "Maaf, kupikir kau menyukainya juga...."

 Arfi hanya terdiam mendengar kata-kata Rahma.

***

Selang beberapa bulan kemudian, Rahma semakin berubah. Perlahan-lahan, ia mengganti koleksi komiknya dengan buku-buku agama berukuran mini yang dibacanya di sela-sela kerja. Caranya bersikap pun menjadi lebih kalem, dan ia tidak sebebas sebelumnya. Hingga akhirnya, hanya tersisa satu hal yang tidak juga berubah, sesuatu yang hanya diketahui oleh Rahma dan Arfi.

"Yang ke empat," Rahma menggigit bibirnya sambil memainkan pensil di tangan.

"Masya Allah...," Arfi menggeleng tidak percaya. "Apa lagi alasanmu kali ini?"

"Dia terlalu tua untukku, Fi. Bayangkan, sembilan tahun di atasku!"

"Rasulullah dan Siti Aisyah berbeda tiga puluh-"

"I know!" potong Rahma histeris. Syukurnya saat itu suasana kantor sedang sepi. "Aku sudah mencoba seperti yang kau usulkan. Salat istikharah, memohon petunjuk Allah, berdoa... lalu...," Rahma menggeleng dengan raut wajah sedih ,"aku juga tidak tahu mengapa, Fi, hatiku justru menjadi tidak tenang."

"Sungguh?"

"Ya, semakin lama justru semakin tidak terasa nyaman." Angguk Rahma.

"Karena Gilang?" tebak Arfi. "Karena namanya ada dalam hatimu?"

"Aku tidak tahu." Rahma menggeleng lemah. "Tapi, kalau hanya karena Gilang, aku sudah menerima siapapun yang melamarku sejak ia menolakku."

Arfi ternganga. "Ka-kamu... kau mengatakan isi hatimu kepada Gilang? Kapan...??" tanyanya terkejut. Dadanya tiba-tiba saja berdebar kencang.

"Dua bulan yang lalu, via WA. Ia bilang terima kasih dan meminta maaf padaku... dan ia juga mengatakan ingin tetap menjalin silaturahmi denganku sebagai saudara seiman. Baik sekali ya, dia?" Rahma tersenyum.

"Tapi... kenapa...?" tanya Arfi lagi. "Kau tidak malu mengatakannya...?"

"Tidak," geleng Rahma mantap. "Aku mengungkapkan isi hatiku kepadanya bukan sekedar agar aku bisa berpacaran dan bersenang-senang dengannya. Tapi untuk sesuatu yang serius dan insya Allah, semoga, dirahmati-Nya. Sayang aku ditolak... hm... mungkin karena aku tidak cukup baik untuk seseorang seperti dia."

"Rahma...,"

"Tapi aku tidak sedih, kok," Rahma tersenyum. "Aku masih ingin terus berdoa kepada Allah. Entah sampai kapan, namun selama masih ada kesempatan, aku akan terus berdoa. Aku merasa, dengan mencintainya hatiku menjadi semakin dekat dengan Allah... dan aku sungguh bersyukur atas hal tersebut."

Arfi merekam binar di kedua mata Rahma dalam hatinya sendiri yang bergemuruh. Sungguh, ia sangat ingin berkata yang sejujurnya pada sahabatnya tersebut, namun tidak tega karena sinar di kedua mata itu bercahaya dengan demikian tulusnya.

Kabar Rahma mengungkapkan isi hatinya pada Gilang akhirnya tercium kedua orangtuanya. Segera saja ia disidang di depan seluruh anggota keluarganya. Ibunya menangis. Ayahnya marah karena menurutnya Rahma telah melakukan hal yang memalukan. Rahma sendiri tidak berkutik, hanya diam sambil terus berzikir.

Karena tidak mendapat respon yang diharapkan, Ayah dan Ibu akhirnya hilang kesabaran. Sejak saat itu, keduanya silih semakin gencar mendatangkan calon demi calon yang terus-menerus ditolak oleh Rahma.

"Aku sudah salat istikharah, Fi, tapi hatiku belum mantap." Isak Rahma di bahu Arfi, satu pagi setelah Rahma menolak calon ke tujuh sehari sebelumnya. "Aku juga tidak mengerti kenapa... padahal aku sudah tidak memikirkan Gilang lagi...."

Hingga beberapa hari silam, Rahma tiba di kantor dengan wajah sangat kusut. Sepanjang hari, gadis itu banyak terlihat melamun dan tidak gembira seperti biasanya.

Dari mejanya, Arfi menerka-nerka apa yang telah dialami Rahma di rumah. namun, belum juga sempat menanyakan lebih lanjut, sebuah kabar mengejutkan datang ke handphonenya.

Sore harinya sepulang kerja, sebuah pesan dari Rahma datang. Gadis itu mengabarkan bahwa ia kini tengah dirawat di rumah sakit. Kecelakaan saat hendak menyebrang jalan menjadi penyebabnya. Sebuah sepeda motor menabrak tanpa sengaja hingga Rahma jatuh membentur trotoar dan pingsan. Keruan saja, Arfi bergegas menengok sahabatnya itu.

***

"Tulang kakiku patah. Dahiku dijahit tujuh jahitan," jawab Rahma menjelaskan.

"Kamu melamun ya waktu menyebrangi jalan?" tanya Arfi lugas. Rahma nyengir.

"Kok tahu?"

"Aku bisa menebaknya, Rahma."

"Sebenarnya aku tidak mau melamun, tapi...," Rahma menghela nafas panjang ,"aku sedang berpikir harus mengatakan apa lagi kepada Ayah dan Ibu. Rasanya, lama-lama aku tidak kuat juga...."

"Jangan menyerah, Rahma," ucap Arfi sambil menggenggam tangan Rahma.

"Bagaimana lagi...," Rahma tersenyum lemah. "Lihatlah keadaanku. Kalau seperti ini... siapa pun tidak akan pernah mencintaiku ya, Fi?" tanyanya lirih ," kurasa aku harus mengakhiri doaku sampai di sini.

Arfi menatap Rahma iba. Genggamannya kian erat di jemari Rahma.

"Jangan berhenti berdoa... mungkin nanti malam Allah akan mengabulkan doamu, besok, atau lusa... hanya jangan berhenti berdoa, Rahma."

Rahma tersenyum sambil menatap Arfi. Matanya terasa kian berat dan panas oleh air mata, duka, dan rasa putus asa.

Saat keluar dari rumah sakit, hujan turun menyergap. Arfi terpaksa berlari-lari menuju halte yang terletak di luar pagar rumah sakit. Sore menjelang malam itu suasana di halte sepi. Hanya ada beberapa orang pegawai yang juga terjebak hujan menunggu kendaraan umum datang.

Sambil duduk di kursi dan mengeringkan pakaiannya yang basah, Arfi mengambil handphone dari dalam tas tangannya. Ia mengetik cepat-cepat. Air matanya menetes perlahan saat memencet tuts demi tuts telepon dan menekan tanda pengiriman pesan.

"Allah... ridhoi langkah hamba...." desahnya sambil menatap langit.

Pada saat yang sama, di belahan lain Jakarta, sebuah handphone lain berbunyi pelan. Pemiliknya, Gilang, mengangkat handphone itu lalu membaca pesan yang baru saja masuk ke dalamnya.

"Assalamualaikum. Gilang, aku ingin memberi jawaban atas pertanyaanmu. Mohon maaf sebesar-besarnya... aku tidak bisa menerima permintaanmu. Ada seseorang yang mencintaimu, kau tahu siapa. Kalau kau sungguh-sungguh hendak menikah karena Allah, kau bisa memilihnya sebagai pendampingmu. Karena ia begitu tulus mencintaimu... dan ia begitu menggantungkan cintanya pada Allah. Aku mohon, pertimbangkan saranku ini baik-baik. Terima kasih. Wassalamualaikum. (Arfi)"

Gilang menghela nafasnya. Ia sudah menduga pada akhirnya Arfi akan memberi jawaban tersebut. Namun sedikit pun ia tidak merasa kecewa. Entah mengapa, sejak beberapa hari belakang ini, ada rasa rindu lain menyelinap ke dalam hatinya. Rasa rindu pada Rahma, sosok yang baru dikenalnya beberapa saat lalu namun berani mengungkapkan isi hatinya dengan jujur.

"Rabb, mudahkan jalanku," desah Gilang.

***

Rumah Sakit, keesokan harinya.

Di dalam hatinya, Rahma masih mencintai Gilang. Namun rasa cinta itu disimpannya kian rapi dan tersembunyi. Tinggal seutas harapan yang masih ia gantungkan erat di jari-jemari Tuhannya.  

Gadis itu belum tahu, bahwa beberapa jam ke depan, Gilang akan tiba di depan pintu kamar rumah sakitnya. Ya, Gilang akan datang untuk menemui kedua orangtua Rahma, dan melamar gadis itu untuknya.

[Penulis memiliki blog personal di vanidiana.com sebagai tempat berbagi ide, pengalaman, dan cerita sehari-hari]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun