"Allah... ridhoi langkah hamba...." desahnya sambil menatap langit.
Pada saat yang sama, di belahan lain Jakarta, sebuah handphone lain berbunyi pelan. Pemiliknya, Gilang, mengangkat handphone itu lalu membaca pesan yang baru saja masuk ke dalamnya.
"Assalamualaikum. Gilang, aku ingin memberi jawaban atas pertanyaanmu. Mohon maaf sebesar-besarnya... aku tidak bisa menerima permintaanmu. Ada seseorang yang mencintaimu, kau tahu siapa. Kalau kau sungguh-sungguh hendak menikah karena Allah, kau bisa memilihnya sebagai pendampingmu. Karena ia begitu tulus mencintaimu... dan ia begitu menggantungkan cintanya pada Allah. Aku mohon, pertimbangkan saranku ini baik-baik. Terima kasih. Wassalamualaikum. (Arfi)"
Gilang menghela nafasnya. Ia sudah menduga pada akhirnya Arfi akan memberi jawaban tersebut. Namun sedikit pun ia tidak merasa kecewa. Entah mengapa, sejak beberapa hari belakang ini, ada rasa rindu lain menyelinap ke dalam hatinya. Rasa rindu pada Rahma, sosok yang baru dikenalnya beberapa saat lalu namun berani mengungkapkan isi hatinya dengan jujur.
"Rabb, mudahkan jalanku," desah Gilang.
***
Rumah Sakit, keesokan harinya.
Di dalam hatinya, Rahma masih mencintai Gilang. Namun rasa cinta itu disimpannya kian rapi dan tersembunyi. Tinggal seutas harapan yang masih ia gantungkan erat di jari-jemari Tuhannya. Â
Gadis itu belum tahu, bahwa beberapa jam ke depan, Gilang akan tiba di depan pintu kamar rumah sakitnya. Ya, Gilang akan datang untuk menemui kedua orangtua Rahma, dan melamar gadis itu untuknya.
[Penulis memiliki blog personal di vanidiana.com sebagai tempat berbagi ide, pengalaman, dan cerita sehari-hari]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H