"Dia terlalu tua untukku, Fi. Bayangkan, sembilan tahun di atasku!"
"Rasulullah dan Siti Aisyah berbeda tiga puluh-"
"I know!" potong Rahma histeris. Syukurnya saat itu suasana kantor sedang sepi. "Aku sudah mencoba seperti yang kau usulkan. Salat istikharah, memohon petunjuk Allah, berdoa... lalu...," Rahma menggeleng dengan raut wajah sedih ,"aku juga tidak tahu mengapa, Fi, hatiku justru menjadi tidak tenang."
"Sungguh?"
"Ya, semakin lama justru semakin tidak terasa nyaman." Angguk Rahma.
"Karena Gilang?" tebak Arfi. "Karena namanya ada dalam hatimu?"
"Aku tidak tahu." Rahma menggeleng lemah. "Tapi, kalau hanya karena Gilang, aku sudah menerima siapapun yang melamarku sejak ia menolakku."
Arfi ternganga. "Ka-kamu... kau mengatakan isi hatimu kepada Gilang? Kapan...??" tanyanya terkejut. Dadanya tiba-tiba saja berdebar kencang.
"Dua bulan yang lalu, via WA. Ia bilang terima kasih dan meminta maaf padaku... dan ia juga mengatakan ingin tetap menjalin silaturahmi denganku sebagai saudara seiman. Baik sekali ya, dia?" Rahma tersenyum.
"Tapi... kenapa...?" tanya Arfi lagi. "Kau tidak malu mengatakannya...?"
"Tidak," geleng Rahma mantap. "Aku mengungkapkan isi hatiku kepadanya bukan sekedar agar aku bisa berpacaran dan bersenang-senang dengannya. Tapi untuk sesuatu yang serius dan insya Allah, semoga, dirahmati-Nya. Sayang aku ditolak... hm... mungkin karena aku tidak cukup baik untuk seseorang seperti dia."