Mohon tunggu...
Habib Alfarisi
Habib Alfarisi Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti

Politik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rezim Internasional, Konsep Dasar, Pengertian dan Studi Kasus

20 Januari 2020   23:34 Diperbarui: 20 Januari 2020   23:43 25007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

1.1 Konsep Dasar dan Pengertian Rezim Internasional

Rezim Internasional merupakan salah satu konep yang penting dalam studi Hubungan Internasional. Mungkin kalian sebelumnya sudah mendengar kata ini di salah satu buku Hubungan Internasional. Pada pembahasan kali ini, penulis akan menulis secara lengkap pengertian serta konsep dasar serta studi kasus dari rezim internasional, yang menjadi salah satu fondasi terjadinya hubungan internasional di dunia.

Rezim internasional menurut bahasa, terbagi atas dua kata "Rezim" dan "Internasional". Internasional dapat diartikan sebagai antar bangsa, sementara kata rezim merupakan kata bahasa Indonesia yang diadaptasi dari bahasa Inggris yaitu "Regime", yang berarti berkuasa atau kekuasaan. Kata Regime sendiri berasal dari bahasa Latin "Regimen" dan "Regnare", yang berarti kekuasaan dan berkuasa.

Rezim kemudian dapat diartikan sebagai suatu benda abstrak yang disebut kekuasaan yang terdapat pada antar negara di dunia, yang disusun sedemikian rupa oleh para pembuat keputusan guna mencapai kepentingan bersama. Rezim Internasional biasanya disusun secara bersama sama untuk membahas isu tertentu serta menyelesaikan permaasalahan dari isu tersebut guna mencapai kepentingan nasional bersama, karena isu atau masalah tersebut dipandang sebagai ancaman terhadap setiap negara yang ikut serta dalam pengesahan rezim tersebut.

Rezim internasional merupakan sesuatu yang sangat diperlukan dalam pemerintahan dunia pada jaman sekarang, karena selain membawa stabilitas, rezim juga dapat membawa perdamaian serta persaudaraan antara umat manusia. Rezim internasional biasanya diklasifikasikan menurut isunya masing masing. Misalnya Protokol Kyoto yang ditujukan untuk masalah pengurangan gas rumah kaca pada tahun 2012 yang berperan besar dalam bidang lingkungan. Kemudian pada bidang persenjataan ada rezim yang mengatur tentang penarikan total senjata nuklir yang dibuat pada 1960-an. Tipe-tipe rezim akan dibahas secara lengkap pada bagian berikut artikel ini.

Dapat dikatakan rezim internasional merupakan suatu benda abstrak yang berwujud kekuatan atau kekuasaan yang kemudian menghasilkan suatu norma atau peraturan yang disahkan atau dilegitimasi oleh para pembuat yang terlibat guna mencapai suatu kepentingan bersama dari sekelompok negara yang bersangkutan. Rezim internasional hanya berupa norma yang mengatur isu dan mencari penyelesaian dari permasalahan terbatas dari satu bidang kehidupan saja misalnya di bidang lingkungan maupun persenjataan.

Rezim diperlukan terutama pada era hubungan internasional sekarang, karena rezim membantu menyelesaikan permasalahan internasional secara tertata dan kooperatif. Hubungan internasional era kontemporer bukan hanya soal peperangan atau ekspansionisme suatu negara. Isu tersebut sudah usang dan negara-negara di dunia lebih fokus menciptakan lingkungan yang damai serta kooperatif. Isu hubungan internasional sudah berkembang yang semulanya hanya membahas soal militer dsb dan sekarang lingkungan, transportasi serta teknologi menjadi isu yang patut dipertimbangkan, karena inovasi pada era sekarang tidak terbatas dan rezim internasional merupakan instrumen yang bisa dimanfaatkan guna mengarahkan inovasi tersebut agar tidak membahayakan atau mengancam keselamatan umat manusia.

2.1 Rezim Internasional Menurut para Ahli

Beberapa ahli mempelajari dan kemudian memberikan definisi mengenai arti dari rezim internasional sendiri. Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai rezim internasional dari sudut pandang ahli.

Menurut Krasner sendiri dalam buku Rezim dan Organisasi Internasional bahwasannya rezim internasional merupakan tempat bertemunya segala ekspektasi atau harapan dari setiap aktor dan rezim merupakan instrumen untuk mewujudkan hal tersebut (Hennnida, 2015). Krasner mendefinisikan rezim sebagai salah satu tempat untuk mewujudkan kepentingan bersama para aktor yang terlibat dari berbagai negara dan guna untuk menghadapi masalah bersama dengan hasil yang diharapkan dari terbentuknya rezim tersebut. Krasner juga menambahkan bahwa rezim internasional sendiri merupakan variabel sela yang berdiri antara variabel bebas dan variabel terikat (Hennida, 2015). Yang dimaksud oleh Krasner adalah variabel bebas merupakan power atau kekuatan yang ada dalam rezim tersebut sementara variabel terikat merupakan hasil yang diharapkan oleh para aktor pencetus rezim. Rezim Internasional dapat dikatakan sebagai instrumen terencana yang ditetapkan oleh para aktor guna menghadapi masalah bersama dengan hasil yang diharapkan antara para aktor.

Sedangkan Ruggie (1982) berpendapat bahwasannya rezim merupakan perilaku negara-negara yang berinstitusi (Hennida, 2015). Maksudnya adalah negara pasti akan membentuk rezim guna menghadapi masalah bersama dengan bentuk institusi.

Young dalam buku Rezim dan Organisasi Internasional menyebutkan bahwa rezim internasional merupakan institusi yang mengatur mengenai kegiatan-kegiatan tertentu (Hennida, 2015). Rezim Internasional yang dimaksudkan oleh Young adalah rezim yang bertugas untuk mengatur standarisasi tingkah laku tertentu sehingga diketahui di titik mana ekspektasi dari para aktor yang terlibat dalam Rezim Internasional akan bertemu. Young menambahkan bahwasannya Rezim Internasional dapat mengatur secara eksplisit maupun tidak secara eksplisit. Rezim Internasional menurut beliau dapat bersifat resmi atau tidak resmi. Yang dimaksudkan adalah rezim internasional dapat menjadi atau mencakup sebuah organisasi internasional atau sebatas rezim saja. Lain kata Rezim internasional dapat berdiri dengan atau tanpa organisasi internasional.

Robert O Keohane menjelaskan bahwasannnya Rezim internasional dapat dipandang sebagai bentuk kerjasama antara negara negara di dunia (Hennida, 2015). Rezim merupakan instrumen kerjasama yang dipergunakan oleh negara negara untuk mendapatkan tujuannya masing-masing. Keohane menambahkan bahwasannya tidak semua rezim dapat dikatakan sebagai bentuk kerjasama antara negara negara di dunia, melainkan kerjasama dapat terjadi tanpa harus dilandasi oleh rezim internasional. Kerjasama antara negara dapat terjadi karena asas saling butuh atau kepentingan yang sama. Negara tidak harus membentuk rezim atau hubungan yang terinsitusional untuk melakukan kerjasama, oleh karena itu tidak semua rezim dapat digolongkan sebagai bentuk kerjasama antara negara di dunia.

Rezim merupakan suatu bentuk kerjasama yang terinstitusional serta terorganisir yang hanya menempatkan negara sebagai aktor utamanya. Rezim internasional juga merupakan tempat bertemunya ekspektasi-ekspektasi tiap negara yang terlibat dan kemudian ekspektasi tersebut disusun serta dimusyawarahkan sedemikian rupa guna mencapai kepentingan bersama melalui apa yang disebut dengan rezim internasional. Rezim internasional memang merupakan bentuk kerjasama antara negara negara di dunia, tetapi tidak semua kerjasama di dunia merupakan sebuah rezim, karena kerjasama dapat terjadi tanpa memerlukan kehadiran rezim internasional.

Rezim internasional hadir sebagai paying bersama yang menaungi para negara dan berjalan bersama melewati konstelasi politik internasional yang tidak menentu dan sampai kepada tempat tujuan yang disebut sebagai pemecahan masalah bersama yang dialami oleh negara negara yang terlibat dalam rezim internasional. Rezim internasional dapat berdiri tanpa adanya organisasi internasional, namun juga dapat berdiri bersamaaan dengan organisasi internasional. Rezim internasional berfungsi sebagai norma yang mengatur segala jenis interaksi negara yang terlibat sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.

3.1 Pendekatan Rezim Internasional

Pendekatan terahadap Rezim Internasional menurut Hannida (2015) terbagi atas 3 jenis yaitu:

  • Pendekatan Realis
  • Pendekatan Neo Liberal
  • Pendekatan Konstruktivis

Pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci mengenai pendekatan yang digunakan dalam studi Rezim Internasional. Pendekatan sangat diperlukan dalam studi Rezim Internasional, karena pendekatan menjadi asumsi dasar serta pandangan apa yang harus diperhatikan dan sampai tahap mana rezim internasional tersebut berfungsi. Pendekatan tersebut umumnya memandang rezim internasional sebagai tempat bertemunya ekspektasi para kator yang terlibat, namun perbedaan utamanya adlaah bagaimana ketiga pendekatan tersebut memandang rezim internasional.

  • Pendekatan Realis

Pendekatan ini didasari pada paham realisme dalam studi Hubungan Internasional. Paham realis beranggapan bahwa situasi internasional merupakanb situasi anarki di mana negara negara bebas bertindak untuk mengejar kepentingan masing-masing. Situasi internasional dianggap berbahaya sehingga setiap negara di dunia harus melindungi dirinya masing masing dengan meningkatkan keamanan mereka, karena situasi internasional kapan saja dapat memicu sebuah perang. Situasi internasional dipandang sebagai Zero Sum Game, di mana negara berusaha memaksimalkan keuntungan dirinya sendiri dengan merugikan atau mengalahkan negara lain.

Berdasarkan anggapan tersebut, realis berannggapan bahwasannya rezim internasional merupakan rezim yang dibentuk berdasarkan power negara negara yang ikut serta di dalamnya. Realis beranggapan bahwa pembagian kekuasaan di rezim internasional harus bersifat horizontal daripada vertical. Mengapa horizontal? Pembagian kekuasaan secara horizontal dipandang oleh Realis merupakan kondisi ideal di mana negara-negara mendapatkan kekuasaan yang sama dengan negara-negara lain yang ikut serta dalam rezim internasional.

Permasalahan rezim internasional terjadi jika kekuatan atau power yang terdapat dalam rezim internasional terbagi secara vertical. Mengapa pembagian kekuasaan atau power secara vertikal dapat menyebabkan kekacauan? Realis memandang bahwasannya pembagian power atau kekuasaan secara vertikal akan menyebabkan kekuasaan terbagi tidak merata. Hal tersebut dapat dipandang serta dikatakan bahwasannya akan terdapat negara yang lebih berkuasa serta negara lemah. Negara yang berkuasa akan memanfaatkan negara yang lemah demi kepentingannya sendiri, sehingga negara-negara lemah yang hanya mendapatkan sedikit power atau kekuatan dari distribusi power yang ada, menjadi "budak" dari negara-negara yang lebih kuat yang mendapatkan kekuatan atau power yang lebih besar.

Hal tersebut akan menjadikan rezim internasional sebagai pemuas kebutuhan negara-negara yang kuat saja daripada semua negara yang terlibat dalam rezim tersebut. Hal tersebut tentu harus dihindari. Realis memandang bahwasannya wajar bagi negara-negara di dunia untuk membentuk rezim internasional, tetapi rezim tersebut harus mampu menyediakan pemuas kebutuhan tiap negara yang terlibat, karena rezim internasional menurut realis terbentuk atas dua hal yaitu karena adanya sesuatu yang ingin dicapai bersama atau Dilemma of Common Interest dan sesuatu yang ingin dihindari secara bersama sama atau Dilemma of Common Aversion.

Dilemma of Common Interest atau Dilema Kepentingan Bersama diartikan secara harfiah, merupakan salah satu dari dua penyebab mengapa rezim internasional menurut pandangan realisme terbentuk. Dilemma of Common Interest dapat dicapai oleh negara negara di dunia dengan melakukan kolaborasi. Menurut realis, Dilemma of Common Interest rentan terhadap pembagian kekuasaan secara vertikal sehingga rentan terhadap kekacauan di rezim internasional. Dilemma of Common Interest rentan terhadap Prisoner's Dilemma di mana negara-negara mengalami paksaan demi mencapai tujuan bersama.

Dilemma of Common Aversion merupakan bentuk keuda dari pembentukan rezim internasional. Dilemma of Common Aversion dibentuk berdasarkan keinginan negara untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan bersama seperti ancaman militer dari musuh bersama dan sebagainya, oleh karena itu, rezim internasional dibentuk sebagai wujud perlindungan diri masing masing negara dari penyerangan yang kemungkinan yang akan dilakukan oleh negara musuh bersama.

Dilemma of Common Aversion dipandang oleh realis merupakan bentuk yang lebih stabil daripada Dilemma of Common Interest, karena bentuk ini memiliki distribusi kekuatan atau power secara horizontal dan negara-negara memiliki kekuatan atau power yang relative lebih setara dengan negara negara lain. Sehingga tidak ada negara lemah maupun negara kuat. Kedudukan negara dalam rezim internasional dipandang sama sama lemah maupun sama sama kuat, maka dari itu dibentuk suatu rezim internasional guna menghindari sesuatu yang tidak diinginkan bersama. Dilemma of Common Aversion dilakukan secara kooperatif daripada kolaboratif seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maka daripada itu, dapat dikatakan bahwasannya bentuk ini lebih stabil daripada Dilemma of Common Interest.

Pendekatan realis dapat dikatakan lebih menekankan peran distribusi power atau kekuatan yang ada dalam rezim internasional, karena power dipandang sebagai pilar utama dari sebuah rezim internasional. Bangunan tidak akan bisa berdiri dengan kokoh jika tidak memiliki pilar yang seimbang dan dapat menopang atap dari bangunan tersebut. Oleh karena itu, negara-negara harus memerhatikan konstruksi dari rezim internasional yang mereka hasilkan, guna mencegah agar bangunan rezim internasional tidak runtuh dalam waktu sekejap, malah merupakan kewajiban dari setiap negara untuk melindungi bangunan yang mereka bangun dari segala ancaman. 

  • Pendekatan Neo-Liberal

Pendekatan Neo-Liberal didasari pada paham Neo Liberal oleh Kennet Waltz dalam bukunya Theory of International Politics. Paham neoliberalisme merupakan perbaikan atau penerus dari paham liberalisme. Paham Neo Liberalisme beranggapan bahwa negara melakukan kerjasama demi memaksimalkan keuntungan pribadi atau keuntungan absolutnya sendiri. Kerjasama dengan neara lain merupakan hal yang mutlak yang harus dilakukan guna memenuhi kepentingan nasional. Berbeda dengan anggapan Realis yang beranggapan bahwasannya situasi internasional merupakan anarkis, pandangan neoliberalis beranggapan bahwasannya situasi internasional merupakan lading kerjasama bagi tiap negara untuk memaksimalkan keuntungan absolut. Oleh karena itu, situasi damai sangat diperlukan untuk menciptakan kemakmuran dari tiap tiap negara.

Jika realisme berfokus kepada distribusi kekuatan atau power yang ada dalam suatu rezim internasional, maka neoliberalisme berasumsi dan memusatkan perhatiannya kepada distribusi keuntungan dan kerjasama. Menurut realisme dan juga neoliberalisme negara dipandang sebagai aktor rasional yang akan mengejar kepentingan masing masing dan rezim internasional dipandang sebagai salah satu alat pemuas kebutuhan negara tersebut guna mencapai kepentingan dan keuntungan absolut mereka. Negara masing masing bersaing guna mencapai kepentingan masing masing.

Jika realisme berpadangan bahwasannya rezim internasional dapat menjadi Zerio Sum Game di mana satu pihak keluar menjadi pemenang dan penguasa, maka neoliberalisme beranggapan bahwasannya rezim internasional haruslah bersifat Prisoner's Dilemma, di mana negara negara dituntut bekerjasama guna memenuhi kepentingan bersama, walaupun negara-negara harus dipaksa sekalipun untuk melakukan kerjasama. Hal tersebut kembali ke asumsi dasar neoliberalisme bahwa negara-negara akan menggunakan serta memanfaatkan rezim internasional untuk memaksimalkan keuntungan absolutnya masing masing.

Jika realis berfokus kepada isu keamanan, maka neoliberalisme lebih berfokus kepada rezim internasional yang benar benar ditujukan untuk perdamaian, salah satunya adalah rezim internasional yang mengatur mengenai perdagangan seperti WTO. World Trade Organization atau disingkat WTO merupakan perwujudan nyata dari pendekatan neoliberalisme.

 Keohane (1987) dalam Hennida mengkritik pandangan realisme mengenai rezim internasional (Hennida, 2015). Keohane mengkritik bahwasannya realisme tidak dapat menjelaskan kejatuhan hegemoni masih tetap membawa stabilitas kepada rezim internasional. Hal tersebut sesuai dengan fakta bahwasannya pada tahun 1970-an Amerika Serikat mengalami penurunan yang sangat besar terutama soal hegemoni pasca kekalahannya di Vietnam. Padahal menurut asumsi realisme bahwasannya jika negara yang memiliki hegemoni yang besar dalam suatu rezim atau organisasi internasional dan jika negara tersebut jatuh dan hancur, maka organisasi atau rezim internasional yang dipimpin oleh negara tersebut akan ikut hancur dengan negara tersebut.

Hansclever dalam Hennida menjelaskan bahwasannya karena neoliberalisme bertumpu kepada aktor rasional, dapat dijelaskan melalui teori rasionalitas (Hennida, 2015). Beliau menambahkan bahwasannya teori rasionalitas dapat dijelaskan melalui dua sudut pandang yaitu Kontraktualisme dan Situasi-Strutkuralis. Teori ini dikembangkan dari anggapan dasar ekonomi yaiut mengenai prinsip ekonomi: memaksimalkan pemasukan serta meminimalisir pengeluaran. Kedua teori tersebut menjelaskan mengenai kerjasama yang dilakukan oleh para aktor yang terlibat dalam rezim internasional menurut sudut pandang neoliberalisme.

Teori Kontraktualisme menjelaskan mengenai para aktor yang bekerjasama di situasi internasional yang mirip seperti Prisoner's Dilemma. Teori ini hanya sebatas menjelaskan kerjasama yang dilakukan oleh aktor. Sementara teori Situasi-Struktruralis menjelaskan lebih jauh daripada teori yang sebelumnya dijelaskan. Teori ini menjelaskan mengenai motivasi para aktor dalam melakukan kerjasama serta pembentukan rezim internasional serta keuntungan apa yang dapat dihasilkan oleh para aktor dalam melakukan kerjasama serta pembentukan rezim internasional.

Pendekatan neoliberalisme merupakan pendekatan yang memusatkan perhatiannya kepada keuntungan absolut yang dimiliki oleh tiap tiap negara. Negara memang fokus kepada penciptaan perdamaian di dunia, tetapi tidak juga melupakan keuntungan pribadi mereka yang bisa didapat melalui kerjasama internasional serta pembentukan rezim internasional. Rezim Internasional bekerja seperti Prisoner's Dilemma yang berlawanan dengan asumsi realis bahwasannnya rezim internasional bekerja seperti Zero Sum Game. Neoliberalis lebih menekankan kepada aspek diplomasi, kerjasama serta keuntungan sedangkan realisme lebih menekankan kepada aspek keamanan tiap negara. Realisme dan Neoliberalisme sama sama memandang bahwa negara merupakan aktor rasional yang berusaha untuk memuaskan dirinya dalam rezim internasional.

  • Pendekatan Konstruktivis

Pendekatan Konstruktivis merupakan pendekatan yang sangat berbeda dari dua pendekatan yang sebelumnya sudah dijelaskan. Pendekatan ini beranggapan bahwa semua yang ada di dunia sosial, termasuk rezim internasional merupaka konstruksi sosial atau suatu benda atau hal yang dibangun atau dibuat maupun dihasilkan oleh masyrakat itu sendiri, berdasarkan pengetahuan, pengalaman, budaya, bahasa serta ideologi masing-masing.

Pendekatan ini beranggapan bahwa setiap aktor memiliki motivasi masing masing dalam melakukan interaksinya dengan aktor yang lainnya pula. Motivasi tersebut tersusun atas pengetahuan, pengalaman serta ideologi masing masing aktor. Lain kata pendekatan konstruktivis menekankan kepada analisis pengetahuan, pengalaman serta ideologi tanpa melupakan faktor sosial lainnya seperti bahasa, agama dan sebagainya. Pendekatan ini beranggapan bahwasannya negara dibentuk oleh masyrakat berdasarkan kepentingan tertentu dan begitu juga pembentukan rezim internasional. Politik global dan politik domestic merupakan kesatuan yang inheren sehingga tidak dapat dipisahkan dari satu sama lain.  Pendekatan ini juga beranggapan bahwasannya pengetahuan menjadi kunci dari terjadinya hubungan manusia. Pengalaman serta pengetahuan menjadi guru utama bagi manusia untuk melakukan interaksi sebaik-baiknya dengan para manusia lainnya guna saling memenuhi kebutuhan masing-masing.

Hasenclever dalam Hennida menjelaskan bahwasannya pendekatan konstruktivis menekankan kepada aspek pengetahuan (Hennida, 2015). Hasenclever menjelaskan bahwasannya pendekatan konstruktivis menekankan kepada aspek kognitif dari para aktor. Aspek kognitif itu seperti ideologi, agama dan sebagainya.

Pendekatan ini mengkritik dua pendekatan sebelumnya dengan menyatakan bahwasannya tidak ada yang disebut dengan objektivitas sosial. Hubungan antara manusia termasuk hubungan internasional merupakan intersubjektif sosial. Pelaku atau subjek merupakan sesuatu hal yang tersusun atas pengetahuan, pengalaman serta kebudayaann yang unik dan tidak bisa diperbandingkan dengan satu sama lain, oleh karena itu untuk memahami hubungan internasional, harus diperlukan berbagai pemahaman mengenai aspek aspek kognitif para aktor yang melakukan tindakannya dalam ranah internasional. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Hasenclever dalam Hennida bahwasannya aktor dalam hubungan internasional terutama dalam rezim internasional melakukan tindakan kausal yaitu ada sebab dan ada akibat (Hennida, 2015).

Pendekatan ini terbagi atas dua yaitu konstruktivis lemah serta konstruktivis kuat. Konstruktivis lemah hanya sebatas membahas ideologi dan kepercayaan yang dianut oleh seseorang dalam interaksinya dengan tokoh lainnya juga. Konstruktivis lemah tidak membahas secara lengkap mengenai penyebab serta bagaimana tokoh tersebut bertindak dalam hubungannya. Dikatakan pendekatan jenis ini lemah, karena pendekatan jenis ini hanya sebatas membahas latar belakang ideologi serta kepercayaan yang dianut oleh seseorang tanpa menghiraukan hal lain seperti tindakan yang dilakukannya.

Lain dengan halnya dengan pendekatan konstruktivis kuat, yang tidak hanya sebatas membahas ideologi dan kepercayaan yang dianut oleh seseorang, melainkan pendekatan ini juga membahas mengenai alur informasi yang sampai ke seseorang sehingga memotivasinya melakukan sesuatu atau sebuah kebijakan atau sebuah langkah dalam rezim internasional.

Pendekatan konstruktivis merupakan pendekatan yang berbasis terhadap analisis pengetahuan, pengalaman serta budaya yang dimiliki oleh seseorang. Pendekatan ini dinilai oleh penulis merupakan pendekatan yang lebih kompleks daripada pendekatan realis dan neoliberal. Pendekatan ini menekankan kepada intersubjektivitas sosial bahwasannya hubungan internasional dibentuk berdasarkan intersubjektivitas dan bukan objektivitas. Pendekatan ini sama seperti teori kritis lainnya yang mengkritik pendekatan realis dan neoliberal, bahwasannya tidak di dunia internasional tidak ada yang Namanya objektivitas melainkan intersubjektivitas. Pendekatan ini terbagi atas dua jenis yaitu pendekatan konstruktivisme lemah yang hanya sebatas membahas ideologi serta kepercayaan seseorang sementara pendekatan konstruktivisme kuat juga membahas sebab-akibat dari tindakan seseorang.

4.1 Mengapa Rezim Internasional Dibutuhkan?

            Rezim internasional merupakan bentuk nyata dari interaksi antara negara-negara di dunia yang semakin meningkat semakin jaman. Adanya rezim internasional menandakan adanya kebutuhan negara-negara di dunia yang semakin banyak dan tidak dapat dipenuhi sendiri dan juga berguna untuk menjamin rasa aman antara negara-negara yang terlibat. Lantas dari wacana tersebut muncullah sebuah pertanyaan "apakah rezim benar benar dibutuhkan dan mengapa?". Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan menjelaskan bahwa fungsi utama dari rezim internasional sendiri adalah untuk menerapkan standard tingkah laku antara negara-negara di dunia.

Penerapan standard tingkah laku bisa berupa norma dan aturan tertentu yang disepakati oleh negara-negara di dunia untuk mencapai sesuatu yang diinginkan atau untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan bersama-sama. Penerapan standard tingkah laku dapat dilihat melalui kehadiran International Civil Aviation Organization atau disingkat ICAO. Organisasi sekaligus rezim internasional tersebut berfungsi untuk mengatur keselamatan penerbangan sipil dan guna mencegah kecelakaan dalam dunia penerbangan. Organisasi sekaligus rezim internasional ini mengatur mengenai perlengkapan yang harus dipenuhi oleh maskapai sebelum bisa beroperasi dengan baik dan aman.

            Keberadaan rezim internasional menurut pendekatan realis merupakan jawaban dari kegelisahan negara-negara mengenai keamanan negaranya. Dengan membentuk rezim internasional dengan negara-negara yang memiliki pandangan yang sama, negara yang tergabung dengan rezim internasional, akan memiliki kekuatan yang lebih baik dalam menghadapi ancaman bersama. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa keberadaan rezim internasional menurut analisis realis sangat diperlukan guna mencegah sesuatu yang tidak diinginkan bersama sama, dan oleh karena itu keberadaan rezim internasional wajar bagi negara negara di dunia untuk mengamankan dirinya masing-masing dari ancaman. Bisa jadi ancaman tersebut datang dari kelompok yang memusuhi negara tersebut atau negara musuh bersama, atau bahkan mengenai senjata nuklir. Contoh dari rezim menurut analisis realis ini adalah Pakta Warsawa, yang bertujuan untuk mengurangi pengaruh liberalisme di Eropa Timur dan dibentuk oleh Uni Soviet. Contoh lainnya adalah Non-Proliferation Nuclear Treaty, yang mewajibkan tiap negara untuk melucuti senjata nuklirnya masing-masing.

            Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dapat dianalisis melalui pendekatan neoliberalisme. Seperti yang sudah dijelaskan bahwasannya pendekatan neoliberalisme menekankan kepada keuntungan absolut yang dimiliki oleh negara. Dan oleh karena itu, negara berjuang melalui rezim internasional guna memenuhi kepentingan nasional. Perbedaannya dengan realis adalah jika realis hanya berfokus kepada isu keamanan dan militer, maka pendekatan ini memiliki perspektif lebih luas daripada sekedar mengurus keamanan suatu negara.

Pendekatan ini berfokus kepada ekonomi, sosial dan sebagainya dan berfungsi untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi tiap insan. WTO atau World Trade Organization dapat dipandang sebagai organisasi internasional dan juga rezim internasional. Dapat dikatakan begitu karena WTO memiliki keanggotaan yang jelas serta WTO merupakan Lembaga yang bertanggung jawab dalam mengeluarkan aturan perdagangan internasional yang harus dipatuhi oleh setiap negara yang tergabung dalam WTO. Organisasi perdagangan internasional ini sendiri dibentuk pada tahun 1944 dan dulunya bernama GATT atau General Agreement on Tariff and Trades. Kemudian pada Uruguay Round pada tahun 1995, GATT berubah menjadi WTO.

WTO menetapkan Dollar Amerika Serikat sebagai mata uang internasional dan sah dipakai di perdagangan bebas di seluruh belahan dunia. Melalui perdagangan internasional, negara berusaha memaksimalkan keuntungannya dengan menjual produknya ke luar negeri dengan harga yang lebih murah daripada penjualan dalam negeri sendiri seperti yang dilakukan oleh Jepang dan sebagainya. Amerika Serikat sejak awal pendirian GATT sudah melakukan usaha yang sangat signifikan dengan menetapkan mata uang negaranya yaitu Dollar sebagai mata uang perdagangan internasional. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa negara-negara di dunia melalui rezim internasional dan juga organisasi internasional berjuang mendapatkan keuntungan absolutnya dengan tetap menjaga hubungan baik dengan negara-negara lain.

Dapat disimpulkan bahwa kebutuhan akan rezim internasional dewasa sekarang merupakan fakta yang tidak bisa dihindarkan dan tidak dibantahkan, mengingat interaksi intenrasional sudah meningkat dan tidak pernah mencapai tingkat setinggi ini sebelumnya, sehingga negara-negara di dunia membutuhkan satu sama lain untuk tetap bertahan hidup. Hal tersebut dibuktikkan dengan terbukanya Rusia terhadap dunia internasional semenjak diselenggarakan piala dunia di Rusia pada tahun 2018, yang semulanya Rusia merupakan negara yang tertutup dan fokus kepada pengembangan militer, walaupun bukan berarti Rusia tidak lagi fokus dengan pengembangan militernya.

5.1 Studi Kasus

Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan studi kasus mengenai rezim internasional. Studi kasus akan berfokus kepada tindakan yang dilakukan oleh aktor dan rezim internasional yang terlibat dalam konflik antara aktor serta hal hal yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk menyelesaikan masalah tersebut.

5.1.2 Klaim Cina atas Laut Natuna

Pada awal Januari 2020, Cina secara sepihak mengklaim Natuna, yang masih merupakan salah satu wilayah kedaulatan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982 (detik.com, 2020). Cina mengklaim Natuna berdasarkan fakta sejarah bahwasannya semenjak dahulu, nelayan Cina sudah berlayar ke sana. Namun klaim Cina tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan malah melanggar ketetapan rezim internasional yang mengatur soal kelautan yaitu UNCLOS.  

            Laut Natuna yang diklaim oleh Cina merupakan wilayah Indonesia yang sah berdasarkan UNCLOS dan merupakan wilayah ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dapat dikatakan bahwasannya Indonesia memiliki hak penuh atas wilayahnya dan berhak mengeksploitasi segala bentuk sumber daya alam yang tersedia di laut Natuna. Cina tidak memiliki akses sama sekali terhadap wilayah Indonesia dan segala aktivitas yang dilakukan Cina di laut Natuna merupakan ilegal. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia langsung mengambil langkah tegas dengan mengirim TNI ke laut Natuna (detik.com, 2020). Dikirimnya TNI untuk menjaga agar Cina tidak memasuki wilayah Indonesia secara ilegal dan untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia dari tindakan ilegal Cina.

            Situasi tegang tersebut membuat Indonesia mengirim 4 jet tempur F-16 ke Laut Natuna pada 7 Januari 2020 (CNN, 2020). Hal tersebut dilakukan demi menjaga kedaulatan wilayah Indonesia dan tidak bertujuan untuk memprovokasi pihak tertentu. Situasi yang tegang pada akhirnya berakhir pada 18 Januari 2020 di saat pemerintah Cina mulai lunak terhadap sikap pemerintah Indonesia yang mendekati pemerintah Cina secara diplomatik (CNBC, 2020).

Hal tersebut dikarenakan kedua pemerintahan dari kedua negara yaitu Cina dan Indonesia tidak ingin berlarut secara lama lama dalam konflik tersebut, mengingat Cina merupakan partner strategis Indonesia terutama dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Indonesia tentu tidak mau kehilangan peran Cina dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Begitu juga Indonesia di mata Cina yang merupakan ladang investasi Cina. Konflik antara kedua negara yang terus berlangsung tentu akan berefek kepada hubungan diplomatik kedua negara.

Adanya rezim internasional terutama yang mengatur soal hukum kelautan yaitu UNCLOS atau United Nation on Law of the Sea yang dibentuk pada tahun 1982 tidak menjamin secara keseluruhan bahwasannya konflik perebutan wilayah laut akan sirna, melainkan hadirnya rezim internasional seperti UNCLOS bertujuan untuk melindungi negara dari konflik yang berkepanjangan dan dapat merusak perdamaian serta hubungan negara tersebut dengan negara lain. Konflik antara Cina dan Indonesia dapat diselesaikan dengan adanya itikad baik kedua negara dan juga dengan hadirnya UNCLOS.

Peran UNCLOS hanyalah sebatas untuk menetapkan wilayah kelautan yang dapat diklaim oleh suatu negara berdasarkan wilayah daratannya. Menjaga serta melindunginya merupakan tanggung jawab negara masing-masing. Oleh karena itu dapat dikatakan Indonesia sudah dapat menunaikan tanggung jawabnya dengan baik dengan melakukan pendekatan secara diplomatik untuk mencegah konflik yang berkelanjutan dengan partner strategisnya yaitu Cina. Indonesia tidak ingin kehilangan Cina dan sebaliknya akibat konflik tersebut.

Analisis ini menimbulkan pertanyaan lain yaitu "Mengapa Cina ingin mengklaim Natuna yang notabenenya merupakan wilayah Indonesia?". Hal tersebut tentu dapat dianalisis dengan pendekatan konstruktivisme. Penulis menegaskan bahwasannya pendekatan Konstruktivisme merupakan pendekatan yang menekankan kepada unsur kognitif suatu negara seperti ideologi, kepercayaan, budaya serta arus informasi yang masuk ke negara tersebut.

Menurut buku yang ditulis Sukawarsini Djelantik disebutkan bahwasannya Laut Cina Selatan (Natuna berada dalam wilayah Laut Cina Selatan) merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam (Djelantik, 2015). Sumber daya alam tersebut termasuk ikan yang berlimpah dan yang paling penting adalah minyak. Cina berusaha untuk mendapatkan Laut Cina Selatan sepenuhnya untuk menguasai sumber daya alam yang ada di sana berdasarkan informasi yang mereka terima, walaupun secara tidak langsung langkah yang diambil oleh pemerintah Cina dikeatahui akan mendapatkan tentangan dari banyak negara. Namun langkah tersebut tetaplah diambil oleh Cina dan diikuti oleh para pasukannya.

Cina merupakan negara yang memiliki paham Konfusianisme. Paham Konfusianisme memiliki prinsip untuk mematuhi orang tua dan tidak memperbolehkan seseorang untuk membangkang orang tuanya sendiri. Jika tidak, maka terdapat hukuman yang keras bagi mereka yang durhaka terhadap orang tuanya sendiri. Orang Cina sendiri sudah menganggap bahwa negara seperti orang tua sendiri. Maka daripada itu, pasukan Cina dipastikan loyal terhadap para pemimpin negaranya dan menganggap negaranya harus Berjaya. Oleh karena itu, Cina selalu dengan percaya diri untuk melakukan langkah-langkah yang kontroversial seperti klaim atas Laut Cina Selatan.

Selain daripada hal tersebut, pandangan realisme menyebutkan bahwa langkah yang dilakukan Cina berkaitan dengan hegemoninya di Asia Tenggara guna mengalahkan Amerika Serikat sebagai negara Super Power dan berusaha menggantikan AS. Cina sedang gencar gencarnya melakukan industrialisasi terutama di bidang militer. Agar menjamin keamanannya, Cina memerlukan sumber daya alam yang lebih banyak guna menggantikan AS sebagai negara super power.

Walaupun Cina mengetahui dengan jelas bahwasannya tindakannya akan melanggar prinsip UNCLOS, langkah tersebut tetap saja dilakukan. Perlu ditegaskan bahwa rezim internasional hanyalah sebatas norma dan negara tidak wajib mematuhinya. Negara masih memegang kekuasaan tertinggi atas dirinya dan pasti mengetahui secara detil agar bisa bertahan hidup dari segala bentuk ancaman yang mungkin terjadi di masa depan. Walaupun Cina gagal dalam mendapatkan klaimnya, Cina telah menunjukkan kepada dunia bahwasannya terdapat "A New Rising Super Power", bahwasannya Cina telah terbangun dari tidurnya yang Panjang dan naga tersebut sedang terbang menuju langit walaupun banyak yang menghalanginya.

Analisis Neoliberalisme mengatakan bahwasannya Cina berusaha untuk memaksimalkan keuntungannya di Laut Cina Selatan dengan menggunakan celah klaim atas sejarah di Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan merupakan laut paling strategis dan menguntungkan, terutama wilayah Natuna. Laut ini menjadi perairan paling padat di dunia, karena dilewati beribu-ribu kapal tiap tahunnya (Associated Press, ROBIN McDOWELL, July 21, 2011.). Hal tersebut memotivasi Cina untuk menggunakan celah yang ada di rezim internasional untuk keuntungan pribadi, yaitu untuk menambah pemasukan pribadi Cina dengan menjadi penguasa tunggal di wilayah tersebut.

5.1 Non-Nuclear Proliferation Treaty dan Iran

Non-Nuclear Proliferation Treaty atau Perjanjian untuk tidak mengembangkan nuklir merupakan perjanjian yang ditujukan untuk menjaga perkembangan senjata nuklir di dunia internasional, yang dibentuk pada tahun 1965 sampai 1968 di Jenewa, Swiss (mimirbook.com). Perjanjian ini merupakan usaha dunia untuk menjaga umat manusia dari kepunahan massal akibat nuklir. Seperti yang diketahui bahwasannya nuklir merupakan senjata yang paling mematikan yang pernah diciptakan oleh manusia. Dalam hiutngan menit, dapat menghabisi semua nyawa dalam satu kota. Tentu penggunaan senjata nuklir yang berkelanjutan akan membahayakan bagi umat manusia sendiri, terlebih setelah apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap Jepang pada pengeboman Hiroshima dan Nagasaki untuk mengakhiri Perang Dunia II.

Perjanjian ini awalanya diikuti oleh 19 negara saja, namun pada tahun 2010 191 negara meratifikasi perjanjian ini dan setuju untuk tidak mengembangkan senjata nuklir (mimirbook.com). Perjanjian ini hanya membatasi kepemilikan senjata nuklir kepada 5 negara saja yaitu Prancis, Rusia, Inggris, Amerika Serikat dan Cina sebagai 5 dewan keamanan tetap PBB yang bertanggung jawab menjaga perdamaian di dunia (mimirbook.com).

Dilansir dari situs kementrian luar negeri Republik Indonesia bahwasannya perjanjian ini memiliki 3 bagian, yaitu:

  • Non Proliferasi

Merupakan bagian yang mewajibkan untuk menghentikan segala jenis pengembangan senjata nuklir. Penghentian pengembangan senjata nuklir dianggap merupakan langkah yang aman untuk mencegah perang kembali terjadi. bagian ini juga hanya membatasi kepemilikan senjata nuklir kepada 5 negara saja yaitu Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia dan Cina selaku dewan keamanan PBB dengan catatan bahwa kelima negara tersebut tidak dipebolehkan untuk mentransfer teknologi ke negara yang tidak diperbolehkan mengembangkan senjata nuklir.

  • Perlucutan

Merupakan bagian yang menjelaskan mengenai usaha yang harus dilakukan oleh dewan keamanan PBB untuk membujuk negara lain selain mereka untuk melucuti segala jenis senjata nuklir yang dimiliki. Langkah untuk membujuk mereka agar melucuti senjata dilakukan secara damai dan diplomatis untuk menjamin rasa aman dan nyaman tiap negara di dunia.

  • Penggunaan Nuklir untuk Tujuan Damai

Bagian ini menjelaskan mengenai penggunaan nuklir hanya untuk tujuan damai. Nuklir boleh dipergunakan, tetapi hanya untuk tujuan damai seperti untuk pembangkit listrik tenaga nuklir dan sebagainya.

5.1.1 Pembatalan Non-Proliferasi Nuklir oleh Iran

            Iran merupakan negara yang terletak di Kawasan Timur Tengah dan merupakan salah satu dari negara Islam. Iran sendiri awalnya negara sekuler di bawah pemerintahan Reza Pahlevi sampai tahun 1978. Pada tahun 1978, Iran melakukan revolusi besar-besaran dipimpin oleh Ayatullah Khomeini. Semenjak saat itu, Iran menjadi negara yang selalu menentang hegemoni Amerika Serikat. Namun pada tahun 2010 Iran menjadi salah satu negara dari 191 negara yang ikut meratifikasi perjanjian non proliferasi nuklir.

            Pada tahun 2015, dilakukan perjanjian khusus dilakukan dengan Iran untuk tidak mengembangkan senjata nuklir. Iran diketahui melanggar perjanjian tersebut(bbc, 2019). Amerika Serikat menuduh Iran telah melakukan penimbunan uranium melebih standard yang telah ditetapkan sebelumnya, namun Iran membantah bahwasannya uranium akan digunakan untuk tujuan damai, yaitu untuk pembangkit listrik tenaga nuklir dan bukan untuk pengembangan senjata nuklir seperti prasangka Amerika Serikat kepada Iran.

            Tetapi peristiwa naas menimpa Iran pada 3 Januari 2020. Jendral Qassem Al-Suleimani terbunuh dalam sebuah insiden yang disebabkan oleh Amerika Serikat (Cnn, 2020). Jendral Qassem Al-Suleimani sendiri merupakan orang yang paling berpengaruh nomor dua di Iran dan merupakan jendral yang sangat dimusuhi oleh Amerika Serikat, karena dianggap membahayakan posisi Amerika Serikat di Timur Tengah. Oleh karena itu, Amerika Serikat melancarkan sebuah operasi untuk menghabisi nyawa sang jendral dengan menggunakan sebuah Drone dan kemudian berhasil.

            Akibat dari peristiwa tesebut, Iran akan menuntut balas dendam terhadap perlakuan Amerika Serikat. Tindakan Amerika Serikat tersebut memicu Iran untuk melanggar perjanjian non proliferasi nuklir yang dibuat pada tahun 2015 secara terang terangan (BBC, 2020). Iran diketahui mengembangkan senjata nuklir untuk menghadapi AS dan melepaskan amarahnya akibat tindakan yang dilakukan oleh AS.

            Internet sempat dihebohkan dengan langkah yang diambil oleh Iran sendiri. Bahkan hashtag World War 3 menjadi trending, mengingat posisi Iran berlawanan dengan Amerika Serikat. Bahkan Iran melakukan serangan rudal ke pangkalan militer AS di Iraq dan mengklaim telah menewaskan 80 tentara AS (CNN, 2020).

            Namun seiring waktu, drama Iran dan Amerika Serikat mereda. Iran bahkan mengatakan bahwa Iran siap untuk melakukan negosiasi non-proliferasi nuklir ulang dengan Amerika Serikat dan negara dewan keamanan PBB lainnya (Tempo, 2020). Iran juga menambahkan bahwasannya hal tersebut sangat bergantung kepada itikad dan niat baik masing masing negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut dan meminta agar Amerika Serikat tidak menuduh Iran sembarangan dalam mengembangkan senjata nuklir. Lain kata Iran meminta kepercayaan penuh dari Amerika Serikat dan negara lainnya mengenai non-proliferasi nuklir di negaranya.

            Konflik yang terjadi antara Iran dan Amerika Serikat memiliki sisi positif dan negatif tersendiri. Banyak orang yang berspekulasi akan terjadi perang hebat antara Amerika Serikat, tetapi kenyataan berkata lain. Iran yang awalnya terlihat sangat ingin melampiaskan amarahnya ke Amerika Serikat, malah menjadi lunak akhir akhir ini dan malah mengatakan akan melakukan perjanjian ulang dengan Amerika Serikat.

            Yang dilakukan Iran dengan melanggar perjanjian nuklir dengan Amerika Serikat menurut pendekatan realis adalah murni bentuk perlindungan diri dan sebagai reaksi atas serangan Amerika Serikat yang menewaskan jendral tertinggi mereka. Namun, karena Iran menyadari bahwasannya Iran tidak memiliki distribusi power atau kekuatan yang tidak seimbang dengan Amerika Serikat bahwasannya Iran tertinggal sangat jauh dengan Amerika Serikat, maka keputusan yang terbaik yang bisa diambil Iran adalah untuk menerima apa yang terjadi dengan lapang dada agar dapat menjaga kelangsungan kehidupan negaranya.

            Sekali lagi rezim internasional hanyalah sebatas norma. Memang dapat dikatakan bahwa rezim internasional merupakan tempat berkumpulnya segala jenis aspirasi, keinginan dan rencana dari tiap negara, namun rezim internasional masih bersifat lemah jika negara tidak berkomitmen terhadap perjanjian yang dibuat.

Referensi

Buku                           :

Hennida, Citra.2015.Rezim dan Organisasi Internasional:Interaksi Negara, Kedaulatan dan Institusi Multilateral.Malang:Intrans Publishing

Indrawan, Jerry.2019.Pengantar Studi Keamanan.Malang:Intrans Publishing

Djelantik, Sukawarsini.2015.Asia Pasifik: Konflik, Kerjasma dan Relasi antar Kawasan.Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Internet                       :

https://www.bbc.com/indonesia/dunia-48899345

https://mimirbook.com/id/282c82fbef1

https://internasional.kompas.com/read/2019/08/03/12311881/mengenal-inf-perjanjian-yang-bertujuan-mengurangi-nuklir-as-dan-rusia?page=all

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200107144232-20-463137/natuna-masih-panas-tni-kirim-4-jet-tempur-f-16

https://news.detik.com/berita/d-4846276/china-klaim-natuna-ini-8-sikap-ri

https://www.cnbcindonesia.com/news/20200118190216-4-131014/sempat-tegang-begini-cerita-ri-melunakkan-china-di-natuna

https://dunia.tempo.co/read/1297386/iran-terbuka-untuk-negosiasi-ulang-perjanjian-nuklir

           

           


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun