Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Multitafsir Kata "Kesepian" Karena Teknologi Digital 2045, Merujuk Pernyataan Ibu Sri Mulyani

17 Desember 2021   03:37 Diperbarui: 17 Desember 2021   23:17 2947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi , Sumber : brahmalokaorbust.com

Update : Baca Juga nanti di artikel bersambungnya klik saja di sini

 

Langsung saja deh,

Saya mulai dari sumbernya dulu ya, kutipan dari ucapan Menteri Keuangan Srimulyani, salah satunya saya temukan pada situs inews.id (12/12/2021) dibawah judul "Infografis Sri Mulyani Prediksi Ancaman Perkembangan Teknologi Digital"

Dalam pemberitaan tersebut, saya ambil beberapa pernyataannya sebagai pengantar agar jelas yang dimaksudkan beliau.

Menurut Sri Mulyani ia khawatir pada tahun 2045 banyak orang yang kesepian karena gak masuk ke 3D virtual dan orang tersebut akan left out di dunia reality.

Lebih lanjut menuru beliau, selain mereka yang gak mampu beradaptasi akan tertinggal dan kesepian, perkembangan teknologi digital juga mengancam industri perbankan yang menyediakan jasa layanan teller.  

"Saya melihat teknologi digital akan growing luar biasa. Karena generasi muda terbiasa hidup dengan digital, jadi buat mereka pergi ke bank gak lagi (bertemu langsung) dengan teller. Itu striking very fast by 2045,"

Dia menuturkan, fenomena ini sudah terjadi di negara-negara kawasan Eropa. Bahkan, di sana jika ingin dilayani teller harus membayar mahal.  "Bahkan saya dengar di Eropa pergi ke bank mau dilayani personal bayar mahal sekali," ujar Sri Mulyani.

Oleh karenanya lankah antisipasi yang ditawarkan adalah peran pemerintah dan industri terus menyiapkan kebijakan dalam memproteksi dan kecepatan digital ke depan

Jadi yang nanti kesepian siapa? Individu atau Masyarakat umum yang "gaptek"? Layanan Langsung/konvensional Pemerintah atau Swasta (misalnya perbankan) atau sektor lain? Atau siapa (bukan individu saja, bisa dalam artian luas misalnya unit, kelompok dll)? 

Sebenarnya saya paham sekali yang dimaksud Bu Sri, kalo mau dibahas dalam prespektif beliau akan panjang dan dapat dijelaskan dalam bagian tersendiri. Tapi saya rasa pernyataan ini dapat menimbulkan multitafsir. Bener gak? Kalau salah. Berati saya yang tersesat. Ndak masalah, wajar sesekali tergelincir.  

Coba saja googling, justru masalah yang mengemuka adalah pengaruh internet atau teknologi digital, tentu didalamnya media sosial menimbulkan permasalahan sosial, regangnya atau menurunya kualitas hubungan sosial masyarakat atau individu disebabkan hal ini, dan memiliki dampak tersendiri dalam kehidupan sosial masyarakat secara umum.

Ok! Pernyataan kata "Kesepian" yang diungkapkan Ibu Sri, sekali lagi menurut saya bisa jadi multitafsir.  Bisa karena gak dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi kemudian menjadi "kesepian" (ini harus diartikan yang benar sesuai konteks) atau justeru karena perkembangan teknologi  membuat hubungan kehidupan sosial kita dalam dunia nyata terasa kesepian. Ini adalah dua hal yang berbeda.  Dari sudut pandang mana kita menilai.

**

Saya soroti saja dari sudut pandang saya pribadi yang pertama dulu  ya, agar sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam topik pilihan kompasiana. Yaitu, tentang kata "Kesepian" dalam pemahaman yang menyebabkan kehidupan sosial untuk terhubung dengan orang lain secara nyata menjadi timpang dan menyebakan kesepian. Salah ataupun benar, adalah pendapat saya. Anda boleh berbeda kok. Bebas! Dan saya hargai perbedaan itu

Inilah mengapa internet membuat kita lebih kesepian dari sebelumnya,  Sentuhan ironis yang kejam di media sosial adalah bahwa kita merasa kurang terhubung secara sosial daripada sebelumnya. Ini fakta bukan?

Selama beberapa dekade terakhir, kemampuan kita untuk terhubung dengan orang-orang di seluruh dunia telah meledak. Awalnya, Memang internet memungkinkan kita untuk mengobrol, bergabung dalam group, milist, atau mengirim email kepada siapa pun di dunia. Apalagi setelah penemuan ponsel memungkinkan kita untuk berbicara dengan orang-orang ketika kita jauh dari meja kerja dan di luar rumah.

Kemudian, jejaring sosial memungkinkan kita untuk terhubung dengan tetangga, teman masa kecil, teman kuliah, dan rekan kerja kami dengan mengklik tombol. Terakhir, smartphone membuat lebih mudah dari sebelumnya untuk terhubung dengan siapa pun yang kita inginkan sepanjang waktu.

Jadi kita akan berpikir bahwa kita akan merasa baik dalam kehidupan sosial kita, kan? Lagi pula, gak pernah dalam sejarah alam semesta berkomunikasi dengan orang-orang begitu sederhana dan mudah diakses.

Sayangnya, bagaimanapun, internet gak membantu kita merasa lebih baik terhubung dengan siapa pun. Studi menunjukkan hampir separuh dari kita merasa kesepian dan terisolasi . Inilah mengapa kita merasa kurang terhubung dari sebelumnya selama era digital

Hubungan Yang Timbul Lebih Dangkal

Anda gak dapat membentuk hubungan yang berarti dengan seseorang kecuali anda berbicara tentang berbagai masalah nyata. Namun gak demikian yang terjadi di media sosial.

Ada banyak tekanan untuk membuat hidup kita terlihat lebih baik daripada yang sebenarnya di media sosial. Jadi, alih-alih membagikan apa yang sebenarnya terjadi,  kita cenderung membicarakan pencapaian terakhir kita, liburan yang luar biasa, atau menikmati makanan yang terbaik.

Kebutuhan untuk menjaga perasaan bahwa segala sesuatunya sempurna sering kali meluas ke kehidupan nyata dan membuat hubungan menjadi dangkal. Tanpa koneksi yang berarti, kita mungkin merasa kesepian bahkan ketika kita dikelilingi oleh banyak orang.

Memperhatikan "Layar" Mengganggu Kemampuan Kita Untuk Membaca Isyarat Sosial.

Kita tahu bahwa waktu layar pada perangkat kita mengganggu kemampuan anak-anak untuk membaca isyarat sosial. Bahkan ada penelitian yang menemukan bahwa anak-anak menjadi lebih baik dalam membaca emosi orang lain setelah hanya lima hari jauh dari perangkat digital mereka.

Sepertinya waktu yang dihabiskan untuk memplototin layar juga berdampak pada kecerdasan sosial orang dewasa. Bagaimanapun, berkomunikasi dengan emoji jauh berbeda dari berkomunikasi secara tatap muka bukan?

Kita dapat mengetahui banyak hal tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan seseorang jika kita dapat membaca isyarat wajah dan gerakan non-verbal mereka. Tetapi Anda gak akan mendapatkannya jika wajah anda terkubur di balik layar. Jika Anda telah menghabiskan begitu banyak waktu menggunakan perangkat digital seolah-olah anda anda menumpulkan kemampuan anda untuk membaca orang lain.

Penekanannya Adalah Pada Kuantitas Hubungan, Bukan Kualitas.

Rata-rata pengguna Facebook memiliki 338 teman menurut perkiraan saya yang pernah saya baca dari satu penilitian. Namun yang jelas, rasanya memiliki ratusan teman di media sosial menurut kita gak membuat kita merasa kesepian.

Faktanya, beberapa penelitian menunjukkan semakin banyak koneksi yang anda miliki, semakin besar kemungkinan anda akan stres. Ini sebagian karena fakta bahwa anda mungkin gak sama dapat berkomunikasi  dengan baik ketika berbicara dengan nenek anda dibandingkan cara yang sama seperti anda berbicara dengan mantan teman kuliah anda.

Bukan kuantitas hubungan yang penting - itu kualitas. Memiliki lima teman sejati di dunia nyata lebih baik untuk kesehatan mental kitaa daripada memiliki 500 koneksi pertemanan di media sosial.

Kecanduan Smartphone Mengganggu Interaksi Tatap Muka

Berapa kali anda melihat di sekeliling anda di sebuah restoran, untuk melihat suatu keluarga atau pasangan mengabaikan satu sama lain karena mereka menatap smartphone mereka? Dan berapa kali anda berbicara dengan seseorang yang merespons pesan teks atau email saat anda berada di tengah kalimat?  Rasanya gimana coba?

Menut studi yang pernah saya baca, tapi dirata-ratain saja deh, menunjukkan bahwa setiap orang yang memiliki perangkat cangih akan  memeriksa ponsel mereka, rata-rata, antara 35 dan 74 kali per hari. Orang yang lebih muda cenderung lebih sering memeriksa ponsel mereka.

Ironisnya, banyak orang yang scrolling media sosial untuk melihat apa yang dilakukan orang lain, daripada memperhatikan orang yang berada tepat di depannya. Anda gak dapat memiliki interaksi tatap muka yang berkualitas saat anda terganggu oleh ponsel anda setiap beberapa menit.

Pekerjaan Jarak Jauh Dapat Meningkatkan Isolasi Diri.

Ya, bener ini pengalaman saya dan yang saya rasakan. Setelah memasuki usia 40 Tahun, yang seharusnya oleh kebanyakan orang memulai kemapanan hidup (Life Begins at 40) pada usia tersebut. Sekarang katanya udah kuno istilah itu. Entah darimana pemahamannya, mungkin karena saat ini kemapanan hidup sudah dimulai sejak dini dan mencapai puncaknya lebih dini pula. 

Pada saat memasuki usia tersebut saya justeru meinggalkan pekerjaan rutin yang menuju kemapanan menurut mitos itu, tapi justeru bagi saya membosankan. Oleh karea itu, saya memilih pekerjaan mandiri menjadi konsultan lepas dan melayani client saya lebih banyak melalui perangkat digital. 

Sedangkan untuk pekerjaannya sendiri baik analisa keputusan, analisis keuangan, studi data kelayakan, pra audit, masalah teknologi, perancangan system, system analyst, analyst Invetasi dan Keuangan, Proyeksi Bisnis, Bussiness Plan dan segala tete bengek terkait dengan keilmuan saya.  Semua itu dikerjakan kebanyakan dari rumah . Selain memang ada waktunya sesuai kontrak membutuhkan kehadiran saya di kantor atau lapangan untuk study kelayakan atau kebutuhan lainnya.

Kalau ingin bertanya, ya chat atau telepon, atau ajakin untuk conference. Semuanya saya putuskan untuk mengerjakan sebagian besar pekerjaan client saya dari mana saja, termasuk dari rumah, cafe atau tempat yang saya rasa nyaman dan mendukung saya bekerja. Ya sendiri, tanpa orang lain. Tentu tetap dilengkapi dengan harus menjining ransel yang cukup berat dengan seperangkat peralatan yang diperlukan jika dikerjakan di luar rumah.

Tapi ya harus diakui, persyaratan untuk visiting harus saya penuhi, baik meeting, study lapangan, presentasi dan memecahkan masalah bersama bila saya dibutuhkan kehadirannya.

Jadi ketika Work From Home (WFH) saat pandemi covid-19, saya udah gak kaget lagi. Karena udah lama melakukannya. 

Jika ditanya pendapatannya bagaimana? Ya malah meningkat, bisa lebih dari satu client. Kalau kerjaan kantor, bossnya ya paling itu doang. Kalau kerjaan sampingan juga bakal tersita waktunya. Jadi pilihan ini menurut saya saat itu yang terbaik, santai mau mengerjakan di rumah sambil sarungan pun bisa. Tapi semua target pekerjaan diselesaikan tepat pada waktunya dan harus memuaskan client tentu saja sesuai kontrak dan kebutuhan mereka.

Tapi ada juga catatanya, ada waktu tertentu yang saya harus stand by didepan laptop atau pc seharian seperti orang kerja kantoran. Tapi beda rasanya, terasa bebas gak diplototin bos, atau diganggu teman. Rasanya  nyaman. Coba dibayangkan saja.

Tapi dampaknya? Inikah kehdipuan yang seharusnya saya jalani, sekalipun kadang hang out juga dengan kolega atau teman. 

Inilah, Internet telah meningkatkan kemampuan kita untuk bekerja dari jarak jauh. Hal ini bisa dinilai baik untuk kesehatan mental kita dalam beberapa hal seperti dengan mengurangi waktu perjalanan kita.

Tapi, kerja jarak jauh juga berarti mengurangi persahabatan dengan rekan kerja saya juga. Dan ini harus diakui. Berkomunikasi melalui email atau panggilan telepon sesekali gak sama dengan bertemu di sekitar pendingin air. hahaha

Terkadang, rekan kerja saya atau client lah paling memahami apa yang saya alami setiap hari. Bagi banyak individu, apakah mereka pengusaha atau karyawan jarak jauh, pekerjaan bisa sangat mengasingkan karena teman dan anggota keluarga lainnya gak benar-benar memahami apa yang mereka lakukan sepanjang hari. Bener?

Memerangi Kesepian

Ironisnya, dibutuhkan usaha ekstra untuk tetap terhubung secara sosial di era media sosial. Tetapi penting untuk melakukannya karena kesepian dapat berdampak buruk bagi kesehatan fisik anda serta kesejahteraan emosional anda.

Harusnya bersikaplah proaktif dalam memerangi kesepian. Mungkin sulit untuk menghubungi saya atau anda ketika kita merasa gak enak, tetapi mengundang seseorang untuk bertemu untuk minum kopi atau bergabung dengan organisasi yang akan membantu kita berinteraksi dengan orang lain secara teratur bisa baik untuk kita sebenarnya. Menurut beberapa penelitian yang saya baca, hal ini bahkan mungkin membantu kita hidup lebih lama. Aduh!! Ini bagian yang serem

Demikian dulu seri pertama dari topik pilihan kali ini, saya memang sengaja menyiapkan beberapa tulisan terkait hal ini, dan sulit untuk digabungkan menjadi satu karena ada bagian yang kurang yambung dan pasti bakalan panjang. Ya.. bener, dan tentunya orang belum tentu membaca. Anda benar!

Sekian dulu ya, nanti nyambung lagi....

Semoga jadi perenungan apa sebenarnya yang diamksudkan dengan kata "Kesepian" yang dimaksud oleh Menteri Keuangan kita dalam prespektif saya yang mungkin berbeda dari maksud sebenarnya dari ibu menteri.,

Tapi saya rasa tepat saatnya untuk berbicara soal kesepian secara hubungan sosial secara nyata.

Udah ah

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun