Lalu, Kades Yudi keluar beriringan Tri dan Indra keluar menuju ruang tamu. "Pak Sapto, Wati. Kenalkan, ini Indra dan Tri. Mereka mahasiswa dari Surabaya. Nanti Wati akan dibantu belajar sama mereka."
Mata Sapto melotot menatap kedua pemuda itu bergantian. Yang ditatap tak kalah mendelik ngeri ditatap demikian menakutkannya. Tak tahu apa salah mereka, keduanya saling bertatapan dan memeriksa penampilan satu sama lain. Kades Yudi tak kalah ngeri. Ia bersiap-siap lari ke arah dapur. Tidak enak rasanya di hati. Apa yang salah?
Sapto berdiri dari duduknya. Ia seperti sedang menahan-nahan sesuatu meledak dari ubun-ubun kepalanya. "Maaf, saya tidak jadi nitipkan Wati. Saya bawa saja dia ke Surabaya sama saya." Sapto berteriak sambil menarik tangan anak gadisnya yang akhirnya mendongakkan kepalanya untuk pertama kali.
Wajah sendunya yang entah mengapa terasa begitu cocok dengan garis-garis wajahnya yang manis. Poni panjang yang jatuh hingga ke bawah alis walau berantakan seperti berhasil melengkapi kelembutan  sorot matanya yang pilu, membuat wajahnya tampak begitu murni. Gadis itu, gadis yang dibawa ayahnya untuk menuntut keadilan itu, gemetaran begitu hebat. Nafasnya seketika sesak menggulung jantungnya yang hampir-hampir tak ada ruang untuk berdetak. Bayangan di kepalanya berkelebat kembali ke masa lima belas tahun lalu dimana disaksikannya kejadian yang sejak saat itu, membuatnya bermimpi buruk setiap malam. Teriakan sang ayah membuatnya kembali seperti bermimpi walau ia tahu benar sedang terjaga.
"Saya tidak sudi meninggalkan putri saya tinggal dengan binatang-binatang yang tak jelas asal-usulnya." Begitulah teriakan Sapto terakhir terdengar di desa itu. Begitu pula dengan sesak nafas dan tunduk pilu sang putri yang tak lagi menghantui gubuk tua dengan melati gambir tumbuh memenuhu halaman mereka. Segera sang ayah membawa serta anaknya tanpa alasan yang tidak siapapun tahu pasti. Hanya bisa menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi.
Di dapur, Yu War masih membersihkan sisa-sisa pecahan gelas. Dibuangnya teh yang telah dibuat namun tak jadi disajikan. Tangannya sudah tidak gemetaran. Tapi nafasnya menjadi sesak dan tubuhnya melemas. Bayangannya kembali ke kejadian yang disaksikannya lima belas tahun lalu. Kejadian yang tak ada satupun yang tahu ia ikut menyaksikannya. Kejadian yang sejak saat itu membuatnya mual tiap kali harus bertemu dengan pria-pria tua dari kota. Dan juga kejadian yang sejak saat itu membuatnya rutin menyisihkan gajinya sebagai pesuruh untuk dibelikan sembako dan diberikan kepada seorang gadis yang ditinggal sang ayah yang menjadi korban ketidak adilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H