Mohon tunggu...
Fauziah Kurniasari
Fauziah Kurniasari Mohon Tunggu... Penulis - Author/Health Humanities and Arts/Critical Theorist

Expanding new interest in Health and Medical Humanities, including its relevancy to Arts, Social Sciences, Anthropology, and Literature.

Selanjutnya

Tutup

KKN Pilihan

Monggo Pinarak

30 Juni 2024   23:51 Diperbarui: 30 Juni 2024   23:57 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KKN. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"Anu, saya tidak punya anak mahasiswa, Pak. Anak saya satu, masih SD. Mungkin bapak salah dengar." Kades Yudi menghentikan kalimatnya. Ia terpikir kenapa Yu War tidak juga datang. Panas sekali tenggorokannya tiba-tiba terasa. "Anak-anak mahasiswa yang ada di rumah saya sekarang cuma mahasiswa yang sedang KKN dari Surabaya. Cuma dua bulan kurang disini.

Sapto berpikir sejenak. "Mboten masalah. Saya mau minta tolong saja anak saya dititipkan disini dan bantu diurus sekolahnya. Saya nanti kirim uang ke bapak saja biar saya lebih tenang."

Kali ini Kades Yudi yang berpikir beberapa lama. Ia tidak mungkin menolak. Istrinya bisa marah, tapi bisa juga tidak. Ah, itu soal nanti. Yang penting iyakan saja dulu.

"Ya, sudah. Pertama-tama saya mohon maaf, Pak Sapto. Saya sudah lalai memerhatikan kebutuhan anak bapak. Benar seharusnya warga dan perangkat desa ada yang inisiatif sekolahkan Wati. Saya akan bantu Wati sekolah."

"Beruntung saya belum mati. Kalau sudah, Wati ini akan di gubuk sampi mati." Sapto menyilangkan kaki kirinya ke atas kakinya yang kanan. "Saya tahu. Keluarga mantan Kades itu yang buat anak saya sendirian seperti sekarang. Sampai-sampai, anak saya kayak orang bisu." Sapto melirik ke anak gadisnya. Yang dilirik makin menundukkan kepala.

"Baik, Pak. Baik. Setelah ini Wati akan tinggal disini. Saya akan minta mahasiswa-mahasiswa KKN disini untuk bantu ajarin Wati setiap hari. Lagi pula anak-anak itu juga nggak ada kerjaan." Ujar Kades Yudi mulai kembali ke nada bicaranya yang biasa.

Di dapur Yu War sudah tidak gemetaran. Tangannya mulai berani meraih pecahan-pecahan kaca gelas. Indra sudah duduk lagi. Tri masih pegang sapu---sebenarnya ia cuma lupa sedang memegang sapu. Bayi Wulan sudah terdengar tidak menangis. Asti dan Bu Sri sudah mengintip lagi walau tak ada juga yang berhasil diintip.

Sapto masih menyilangkan kakinya. Wati masih saja menundukkan kepalanya. Tepat ketika Sapto mencoba membenarkan posisi duduknya karena merasa tak biasa duduk terlalu nyaman di sofa, Kades Yudi masuk ke kamar tamu dan meminta Tri dan Indra untuk membantunya sesuai permintaan Sapto. Tanpa menolak, keduanya segera menyanggupi permintaan itu.

Di ruang tamu Sapto sedang memijat-mijat tangan anak gadisnya. Sambil berkata panjang lebar dengan nada berbisik-bisik ia sampaikan pada anaknya untuk jangan takut dan menurut apa katanya.

"Wati harus berani. Bapak akan bawa Wati kalau sudah punya tempat tinggal di Surabaya. Wati tenang, Bapak nggak akan ninggalin kayak Ibu. Kalau Bapak nggak balik, Bapak pasti mati. Tapi kalaupun Bapak mati, Bapak sekarang bisa tenang karena Wati nggak sendiri. Kades Yudi orang baik, Bapak udah cari tahu dari orang lapas."

Wati tanpa bersuara hanya mengangguk-angguk. Sapto tersenyum penuh syukur. Walau tanpa pendidikan, ternyata anaknya tumbuh menjadi gadis yang masih waras di antara orang-orang yang tak waras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten KKN Selengkapnya
Lihat KKN Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun