"Ibu saya sendiri juga tak lama meninggal setelah saya dipenjara. Bapak tahu dimana kuburannya?"
Kades Yudi menggeleng. Sapto tersenyum sambil mengikik kecil. Kekehannya entah mengapa, mengerikan sekali baginya. Kades Yudi hampir-hampir reflek mengangkat kakinya melihat senyuman ngeri laki-laki itu yang ia tak yakin alasan dibaliknya.
"Saya ingin membalas semuanya." Suara Sapto melantang lagi. Kades Yudi mengangkat kaki-kakinya setinggi sepuluh senti. Dari arah dapur, Yu War menjatuhkan gelas. Tanpa diketahui siapapun, tangannya gemetaran. Sementara Tri dalam selangkah cepatnya, sudah menggenggam sapu di tangannya. Indra sudah menutup bukunya yang ternyata adalah sebuah novel dewasa. Hormon birahinya berubah menjadi hormon adrenalin yang sedang bersiap mengikuti apa yang diperintah otaknya sebentar lagi.
"Saya ingin ke kuburan ibu saya. Wati akan antar saya. Setelah itu saya antar lagi Wati kemari." Kata-kata Sapto begitu lugas. Disampaikannya tanpa jeda seperti sebuah hafalan.
"U...untuk apa?" Tanya Kades Yudi. "Maksud saya, ada yang bisa saya bantu, Wati?" Kades Yudi menoleh ke arah Wati. Ia tak tahan ditatap lekat-lekat begitu oleh Sapto. Pria itu tidaklah bertubuh besar atau lebih besar darinya. Tapi entah mengapa seperti memiliki kemampuan intimidasi yang mirip-mirip dengan sang istri.
"Anak saya, mau saya sekolahkan. Dia tidak tamat SD apalagi SMP, SMA." Jawab Sapto. "Saya saja tamat SMP. Di lapas masih dapat pula bimbingan keterampilan gratis. Anak saya, siapa yang sekolahkan? Tidak ada yang peduli."
Kades Yudi melotot. Ia baru saja menyadari sesuatu. Orang-orang seperti Sapto ini memang berbahaya. Lebih bahaya dari pembunuh. Pantas saja ditakuti kehadirannya.
"Saya, mau titipkan anak saya. Saya mau cari kerja buat sekolahkan anak saya. Disini tidak ada yang mau kasih kerja saya, kan? Nanti takut saya bunuh katanya. Padahal saya cuma bunuh binatang."
Kades Yudi masih melotot. Yu War masih gemetaran. Tri masih memegang sapu, dan Indra disampingnya sudah berubah posisi duduk jadi berdiri. Hanya Asti dan Bu Sri di rumah sebelah yang sedang mondar-mandir ikut sibuk menenangkan bayi Wulan yang tiba-tiba menangis tak mau berhenti.
"Saya dengar bapak punya putri seorang mahasiswa. Saya, minta tolong atas kelalaian warga bapak mengabaikan putri saya. Tolong anak bapak ajari anak saya selama saya titipkan disini. Saya akan bayar biaya makan dan tinggal anak saya. Juga biaya anak bapak ajarin anak saya. Jika bapak masih mau beri anak saya sembako gratis seperti selama dua tahun ini, anggap saja, saya berhutang itu sampai saya dapat uang."
Sapto menggulung kedua lengan kemejanya. Kades Yudi menurunkan kaki-kakinya yang sedari tadi ia tumpangkan di udara. Ia sangat ingin menolak. Tapi tidak juga bisa menolak. Benar juga seharusnya Wati adalah tanggung jawabnya selama ini. Dari kebutuhan makannya, begitupun pendidikannya. Tapi yang terakhir itu, bagaimana bisa lupa.