"Ah, ayo kita ambil piring dulu! Sudah laper nih aku." Indra si mahasiswa Hukum memang pandai menghasut rupanya. Dua kawannya yang sebenarnya belum juga lapar mau tak mau mengikuti saja ajakannya.
Di dapur yang acak-acakan terlihat Wulan---yang juga terlihat acak-acakan---menggendong bayinya sambil mengulek beberapa cabai. Ah, repot sekali perempuan itu. Melihat ketiga muda-mudi itu datang, ia lekas-lekas menyodorkan sewadah besar berisi sayur lodeh kepada salah satunya. "Suwun, mbak." Kata Tri begitu menerimanya.
"Besok jangan kemana-mana. Napi yang kalian bicarakan tadi, dia nggak bahaya. Tapi..." Belum selesai meneruskan kalimatnya, anak yang digendongnya menangis. Buru-buru mantu Bu Sri itu menaruh ulekan dan mencuci tangannya di keran.
"Tapi, opo mbak?" Tanya Tri dan Asti hampir bersamaan yang membuat mereka sama terkejutnya dan saling bertatapan.
"Aduh, lupa." Digoyangkan badan kecil si bayi ke kanan ke kiri dengan irama yang tetap. "Wes, pokoknya, besok nggak usah kemana-mana. Kalian nanti juga tau sendiri. Apalagi Mas Tri, Mas Indra nginepnya di rumah Kades Yudi. Mbak Asti juga nanti malem, Ibuk mesthi cerita tanpa diminta." Wulan mengangkat cobek dengan tangan kanannya. Tangan satunya masih memegang bagian bawah kepala si bayi. Disodorkannya cobek ke pemuda yang satu lagi. Lekas ketiganya mengikuti Wulan ke luar dapur. Wulan bergegas menidurkan bayinya di kamar membiarkan tiga muda-mudi itu makan duluan tanpanya. Bisa-bisanya masakan perempuan yang selalu tampak kerepotan itu masih saja enak.
Ketiganya makan saja siang itu seperti lupa apa yang harus dibicarakan sebelumnya. Tanpa kesepakatan yang diucap lantang, mereka seperti menurut saja apa kata Wulan. Kita lihat saja besok hari apa yang dimaksud perempuan itu.
---
Keesokan harinya Tri dan Indra diam saja di kamar. Tri melirik-lirik sudut kamar dan membayangkan sapu kamar yang mungkin bisa ia jadikan senjata kalau kalau ada apa-apa. Indra cuek saja membaca buku berjudul Kumpulan Cerpen Mimpi Basah yang, sebelum berangkat KKN, disuruh pacarnya untuk dibawanya serta buku itu. Sementara Asti, ia sedang belajar membantu Wulan memasak padahal ia sama sekali tidak pernah tertarik untuk memasak. Tapi ternyata memasak lebih mudah daripada dititipi bayinya.
Di siang bolong hari itu, tepat selepas para laki-laki pulang dari masjid untuk sholat Zuhur, seorang pria yang sejak lama dibicarakan, datang ke rumah Kades Yudi. Kades Yudi yang baru saja mencomot pisang goreng di meja makan, berdecak hatinya bergembira. Tahu kiranya ia pastilah suara asing yang tak dikenalnya itu adalah orang yang dinantinya berhari-hari ini. Akhirnya dapat juga bertemu dengan orang itu.
Bergegaslah ia menuju pintu depan. Di sana, di teras rumahnya, seorang pria dengan tubuh lebih pendek darinya, tak juga lebih gemuk, dengan rambut yang amat rapinya, menundukkan kepalanya dengan pandangan sayu. Bajunya yang rapi mengeluarkan aroma melati gambir, yang pastilah ia duga berasal dari parfum yang sama yang berasal dari aroma sang anak gadis yang ikut menemaninya datang.
"Walaikumsalam. Monggo pak, pinarak." Sopan sekali Kades Yudi menyambut sang pria dan anak gadisnya.