Kata ibu aku terlahir prematur, hanya enam setengah bulan dalam kandungan. Bayi kecil yang berwujud gumpalan darah dan daging tak bersuara. Semula bidan mengira tak bernyawa, tapi ternyata hidup. Â Para tetangga yang menyaksikan pesimis aku bisa jadi manusia. Di luar dugaan sedikit demi sedikit aku bertumbuh menjadi bayi yang kemudian tangisnya terdengar sampai radius belasan meter. Ibu tentu saja tak putus menyambung doa agar buah hatinya bisa hidup normal. Seiring waktu, teruslah aku bertumbuh. Nyatanya, kaki kiriku tidak sempurna, kurang bertenaga. Berjalanku agak pincang.
Semasa aku kelas lima bapak merantau ke Korea Selatan dan bekerja sebagai buruh pabrik. Bapak merupakan orang pertama di desa kami yang bekerja di sana. Aku sepenuhnya dalam asuhan ibu. Memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya kukira merupakan cara ibu menyayangiku. Mungkin itu cara yang salah bagi sebagian orang, tapi tidak bagi ibu.
Yang penting salatnya dijaga. Itu yang ibuku wanti-wanti kepadaku. Aku boleh main ke mana saja dan pulang kapan saja. Biasanya setelah salat isya aku pergi dan pulang dini hari, tidak masalah. Aku nyaman bergaul dengan anak-anak yang usianya di atas usiaku. Mereka anak-anak putus sekolah. Ibu megenal mereka satu per satu. Ibu kerap memberi mereka uang jajan sehingga mereka baik terhadapku. Pergaulan dengan mereka berlangsung sampai aku lulus SMA.
Bapak pulang ketika Korea Selatan mengalami krisis moneter. Setelah keadaan membaik bapak kembali ke sana. Kiriman uang dari bapak lancar diterima ibu. Secara ekonomi keluarga kami terbilang makmur. Aku diterima kuliah di perguruan tinggi negeri di Semarang. Biaya kuliahku tercukupi. Sebagian uang kiriman bapak yang terkumpul dibelikan tanah. Â
Setelah sekian lama jadi TKI bapak pulang untuk tidak kembali. Uang yang bapak bawa terbilang banyak. Bapak mencoba mencari peruntungan dengan membuka usaha tambak udang. Namun sayang, gagal panen. Bapak merugi dan bangkrut.
Sisa uang bapak masih ada. Atas saran seorang tetangga, bapak memulai usaha berjualan garam menggunakan sepeda motor. Garam kemasan dibeli dari pabrik, bapak mengedarkannya ke warung-warung. Usaha bapak lancar. Bapak termasuk orang kedua yang berjualan garam dengan sepeda motor, kebanyakan pedagang lain menggunakan sepeda ontel. Pesanan yang bapak terima mengalami peningkatan.
Selanjutnya bapak ingin naik tingkat. Untuk membesarkan usahanya bapak menjual aset berupa tanah yang pernah dibelinya. Bapak jadi pengepul. Â Barang dagangannya berubah menjadi garam briket (berbentuk bata). Bapak mendapatkannya dari warga petani garam. Pesanan pertama mencapai satu ton, berikutnya terus meningkat sampai sepuluh ton. Usaha bapak mengalami kemajuan. Wilayah pengirimannya meliputi kawasan Cirebon, Karawang, Bekasi dan Tangerang.
Meningkatnya penghasilan meningkat pulalah kesejahteraan keluarga kami. Kendati dalam hal keuangan tercukupi tapi aku tidak boros. Ibu pernah mengingatkan, seberapa pun uang yang aku terima itu hasil keringat bapak. Aku harus menghargainya. Jika belum bisa menghasilkan uang maka harus bisa berhemat. Â
Untuk kepentingan operasional usahanya bapak membeli tiga unit mobil bak terbuka dengan cara kredit. Usaha bapak bertambah maju karena pengiriman barang dagangan terbantu. Untuk menambah modal bapak mengajukan pinjaman dana ke bank. Bapak dibantu oleh tujuh orang karyawan. Mengetahui keberhasilan bapak, hampir tiap hari ada tamu yang datang hanya untuk meminjam uang. Sebagai anak pengusaha sukses aku pun dihargai banyak orang dengan sikap ramah yang berlebihan. Â Â
Tahun ketiga ketika cicilan mobil belum lunas muncullah kebijakan pemerintah yakni adanya impor garam. Harga garam impor lebih murah dari garam lokal. Meskipuu rasanya agak pahit Akibatnya garam lokal kalah saing. Bapak kehilangan pelanggan. Dalam waktu yang relatif singkat usaha bapak terus melorot lalu bangkrut, uang habis, utang banyak. Tiga unit kendaraan yang belum lunas ditarik pihak daeler.
Kalau ditanya kenapa aku tidak pernah punya pacar? Selain tampangku pas-pasan juga mungkin karena aku lebih sibuk dengan buku-buku bacaan. Kebiasaan sejak SMA terbawa hingga aku jadi mahasiswa di perguruan tinggi negeri. Â Dengan segala keterbatasan dan mungkin sedikit kelebihan pada diriku aku yakin bercita-cita menjadi guru.
Kini hidup di perantauan dan menjadi guru honor aku terus berjibaku dengan kekurangan uang. Setiap bulan, sebagian gajiku yang tak seberapa harus aku kirim untuk biaya kuliah adikku. Andai saja keadaan berkecukupan bapak dan ibu tidak berharap bantuan dari aku. Sebenarnya untuk biaya hidup sendiri dan membayar kontrakan gajiku bisa aku cukup-cukupkan. Namun aku masih bersyukur karena bisa membantu meringkan beban orang tua. Kondisi seperti itu berimbas kepada jalinan cintaku dengan Vidia.
Gerimis malam Minggu mengiringi keberangkatanku ke kediaman Vidia di kompleks perumahan Harapan Kita. Tak seperti biasa, sikapnya dingin, sedingin udara malam itu. Basa-basiku tak berhasil mencairkan kebekuan suasana. Seolah dia tak sudi menerima kehadiranku. Aku salah tingkah.
"Apa yang ingin kau katakan, katakanlah!" tegasku.
Dia enggan bicara.
"Sebutlah satu kesalahanku."
"Capek."
Aku diam, berusaha memahami keadaannya. "Aku juga capek kalau kau diam."
Emosinya terpancing, nada bicaranya meninggi. "He Mas, kau tahu berapa usiaku bukan, dan berapa usiamu? Bukan remaja lagi. Bukan waktunya bermain-main. Penjajakan kita sudah cukup. Menunggu sampai jadi pegawai negeri, sampai kapan. Teman-teman seusiaku di kampung sudah punya anak dua. Ketika orang-orang bertanya kapan kawin, aku sebel Mas, sebel. Rasanya jatuh harga diriku!"
Kendati dia berusaha menunjukkan kemarahan tapi aku melihatnya seperti sedang minta dimanja. Vidia memang menggemaskan. Beruntunglah aku dapat melunakkan hatinya. Sejujurnya, aku pun ingin segera menikahinya. "Terus..."
"Kamu tidak berniat serius."
"Kalau serius, apa yang harus aku lakukan?"
"Datanglah orang tuamu ke sini, melamar, atau walau pun tak membawa apa-apa minimal ada bahasanya."
"Sabar yah, insyaallah dalam waktu dekat."
"Insyaallah melulu."
"Ini pasti. Akan secepatnya aku bicarakan dengan ibu."
"Terima kasih. Sebentar yah, aku buatkan kopi." Dia berlalu.
Rasanya terlalu lama jika menunggu waktu pulang ke Cirebon. Esok harinya aku menelepon ibu. Tentu saja ibu yang aku telepon karena ibulah yang dipasrahi bapak berbagai urusan keluarga. Mengenai hubunganku dengan Vidia kerap aku bisarakan dengan ibu. Aku mengutarakan keinginanku. Aku diminta ibu agar sabar. Di ujung percakapan ibu mengingatkan agar segera mengirim uang setelah gajian nanti. Percakapan singkat dengan ibu menyisakan rasa penasaran sehingga aku sangat berharap ibu segera datang ke kontrakanku. Entah apa yang akan disampaikan ibu jika dihadapkan dengan ayah Vidia. Â Â
Sejujurnya aku sudah bosan dengan pertanyaan basa-basi dari teman-teman Kapan kawin? Seolah mereka tidak tahu bahwa untuk menikah dan  berumah tangga dibutuhkan berbagai persiapan yang tidak mungkin aku penuhi saat ini barulah mereka mengerti.
Tak ada janji manis yang kuberikan kepada Vidia. Aku tidak berani. Kukira Vidia akan menerima aku apa adanya sehingga aku berani berkata, "Kita bisa memulai hidup bersama mulai dari nol." Kuharap dia setuju. Ternyata tidak. Katanya aku harus punya tabungan, sedangkan saldo tabunganku tidak bisa diharapkan. Setiap ada uang gaji masuk langsung habis untuk membayar sewa kontrakan dan utang-utang bekas makan setelah mengirim kepada ibu dan adik. Kadang-kadang aku makan dari belas kasihan teeman-teman yang memahami.
***
Aku menjemput ibu di terminal Poris dan pada akhirnya sampai juga ibu di kontrakanku untuk pertama kalinya. Kupikir, kejutan apa yang akan ibu berikan? Ternyata ibu menangis. "Zis jangan dulu kawin. Tunggu sampai adikmu selesai kuliah. Kalau kamu sekarang menikah siapa yang akan membiayai kuliahnya, juga bantu-bantu keuangan ibumu ini. Keadaan bapak sampai saat ini belum bisa diharapkan."
Peran bapak tidak lagi bisa diharapkan. Setiap hari pergi pagi pulang malam, bahkan sering tak pulang. Pernah sekali waktu aku mendapati bapak sedang duduk sendiri di gubuk pemakaman kampung, mungkin sedang merenungi diri sekaligus menghindari penagih utang. Â Bapak seperti kehilangan kewarasan akibat kebanyakan utang, terlebih rumah yang ditempati telah disegel bank. Pokoknya untuk sementara tak ada yang bisa diharapkan dari bapak. Bapak sering membuat ibu malu karena sering mambuat utang baru. Ketika aku berada di rumah tugasku membantu ibu menyambut setiap tamu yang datang menagih utang. Teman-teman bapak yang dulu sering datang hanya untuk mengobrol sambil ngopi tak seoramg pun muncul.
Aku mengira ibu minta diantar ke rumah Vidia untuk sekalian bertemu dengan calon besan. Ternyata tidak, ibu minta bertemu dengan Vidia di kontrakanku. Aku dimintanya menjemput Vidia. Tak sampai hati jika aku membantah keinginan ibu. Terpaksa aku meminta pengertian Vidia agar bersedia memenuhi permintaan ibu. Untung Vidia tak keberatan.
Ternyata di luar dugaanku, ibu mencerikatan hal yang sebenarnya. Ibu setuju kami menikah tapi tidak dalam waktu dekat karena aku masih membiayai kuliah adik sekitar satu setengah tahun lagi. Dimintanya dengan sangat agar Vidia bersabar. Tak ada ekspresi penolakan pada raut wajah Vidia, yang ada kepatuhan dan kepasrahan. Di mata ibu Vidia merupakan calon mantu yang berbudi mulia. Kukira dia pandai menyembunyikan hal sebenarnya yang menjadi ganjalan dalam hatinya. Ibu pulang dengan perasaan tenang karena dikiranya masalahku reda. Aku yakin Vidia berpura-pura. Dia pandai menyimpan gejolak dalam hatinya.
Hari berganti, keragukan terhadap ketulusan cinta Vidia meningkat. Meskipun sejujurnya aku amat mencintainya tapi apalah daya ibarat malam masih sore. Menanti fajar terbit hanya akan menambah penderitaannya. Lagi pula menikah dengan aku bukan solusi bagi hidupnya yang berharap masa depannya seterang sinar matahari  pagi. Menyadari hal itu aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan cinta dengan Vidia. Kumohonkan maaf beribu maaf atas segala kesalahanku. "Cukuplah kita saling bersaudara," kataku.
Vidia dapat memahami dan menerima keputusanku. Matanya meleleh. Batinku kehilangan kebahagiaan dalam beberapa hari. Tak kukatakan hal itu kepada ibu. Ketika ibu menanyakan kabarku, kukatakan bahwa aku baik-baik saja. Menjelang tanggal gajian ibu mengingatkan agar aku tidak lupa mentransfer uang ke rekening adik.
Dalam tempo beberapa bulan saja aku mendapat kabar dari seorang teman bahwa Vidia telah menikah dengan pemuda yang masih ada hubungan kerabat. Aku kaget. Kupikir, mengapa dia tidak mengabari aku, tapi apa pula perlunya dia mengabari aku. Mungkin itu keputusan yang baik. Berlalulah sudah cerita tentang Vidia. Hal terindah dengan sendirinya telah tersimpan dalam memori. Dia telah ada yang memiliki dengan kehidupan sendiri.
Kapan kawin? Pertanyaan itu masih diucapkan oleh rekan-rekan kerjaku. Aku tak kuasa membungkam mulut siapa pun. "Insyaallah dalam waktu dekat," jawabku sembarang. Jawaban itu memicu pertanyaan berikutnya hingga menjadi obrolan panjang di ruang guru. Menyusul kabar baik dari ibu yang membuat aku nyaris tidak percaya.
Melalui sambungan telepon ibu meminta agar aku segera melamar Vidia. "Untuk biaya kawin dan beli sepeda motor seken mudah-mudahan cukup Zis."
Berat rasanya mulutku untuk mengatakan hal yang sebenarnya. "Ibu punya uang dari mana?"
"Pokoknya ada-lah!"
 Aku ragu dan khawatir ibu mengalami gangguan kejiwaan. "Ibu sehat?" Â
"Sehat walafiat Zis."
"Duitnya untuk bayar utang-utang bapak saja Bu."
"Cukup Zis. Sebagiannya untuk biaya kamu kawin dan biaya wisuda adikmu."
Aku masih belum yakin akan kebenaran bahwa ibu punya cukup uang. Sesuai rencana sebelumnya aku pun pulang ke Cirebon. Saat bapak tak ada di rumah aku minta ibu menunjukkan bukti bahwa ibu punya uang dan menjelaskan asal-usulnya. Ibu menunjukkan buku rekening BRI. Saldonya lumayan fantastis untuk ukuran keadaan keluarga kami dan keadaanku sebagai guru honorer di rantau.
Tentang asal usul uang itu ibu bercerita cukup panjang. Singkatnya begini, semasa hidupnya kedua orang tua ibu mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid melalui sebuah yayasan. Namun setelah pihak yayasan hendak memulai pembangunannya masyarakat sekitarnya menolak. Terbengkalailah lahannya hingga hampir tiga puluh tahun. Â Belakangan ada pihak perusahaan (PT) yang ingin membelinya konon akan dibangun pabrik konveksi. Terjadilah sengketa yang melibatkan pihak yayasan, ketua RT dan RW setempat, dan ahli waris orang tua ibu yang diwakili oleh kakak kedua ibu. Entahlah bagaimana cerita detilnya, tapi hasilnya lahan yang sepertinya cukup luas itu dikembalikan kepada ahli waris. Terjadilah transaksi antara kakak ibu dengan pihak PT. Ujung-ujungnya ibu pun kebagian durian runtuh. Ibu senang bukan kepalang.
Bapak belum diberi tahu. Inu ngin membuat kejutan. Ibu mengajakku melamar Vidia. Kukatakan bahwa Vidia telah menjadi istri orang. Ibu mendadak syok. Wajahnya mengeriput menahan tangis. Matanya berlinang-linang. Disekanya air mata dengan dengan punggung tangannya. Dengan nada lirih, ibu meminta maaf. Kendati disergap rasa sedih aku berusaha tegar dan menenangkan ibu.
Ibu menyemangati agar aku segera  mencari calon istri yang aku cocok, dana tersedia. Namun aku justru yang meminta ibu mencarikan jodoh untukku. Sungguh! Siapa pun yang ibu pilihkan aku akan menerimanya, gadis atau janda.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H