Kalau ditanya kenapa aku tidak pernah punya pacar? Selain tampangku pas-pasan juga mungkin karena aku lebih sibuk dengan buku-buku bacaan. Kebiasaan sejak SMA terbawa hingga aku jadi mahasiswa di perguruan tinggi negeri. Â Dengan segala keterbatasan dan mungkin sedikit kelebihan pada diriku aku yakin bercita-cita menjadi guru.
Kini hidup di perantauan dan menjadi guru honor aku terus berjibaku dengan kekurangan uang. Setiap bulan, sebagian gajiku yang tak seberapa harus aku kirim untuk biaya kuliah adikku. Andai saja keadaan berkecukupan bapak dan ibu tidak berharap bantuan dari aku. Sebenarnya untuk biaya hidup sendiri dan membayar kontrakan gajiku bisa aku cukup-cukupkan. Namun aku masih bersyukur karena bisa membantu meringkan beban orang tua. Kondisi seperti itu berimbas kepada jalinan cintaku dengan Vidia.
Gerimis malam Minggu mengiringi keberangkatanku ke kediaman Vidia di kompleks perumahan Harapan Kita. Tak seperti biasa, sikapnya dingin, sedingin udara malam itu. Basa-basiku tak berhasil mencairkan kebekuan suasana. Seolah dia tak sudi menerima kehadiranku. Aku salah tingkah.
"Apa yang ingin kau katakan, katakanlah!" tegasku.
Dia enggan bicara.
"Sebutlah satu kesalahanku."
"Capek."
Aku diam, berusaha memahami keadaannya. "Aku juga capek kalau kau diam."
Emosinya terpancing, nada bicaranya meninggi. "He Mas, kau tahu berapa usiaku bukan, dan berapa usiamu? Bukan remaja lagi. Bukan waktunya bermain-main. Penjajakan kita sudah cukup. Menunggu sampai jadi pegawai negeri, sampai kapan. Teman-teman seusiaku di kampung sudah punya anak dua. Ketika orang-orang bertanya kapan kawin, aku sebel Mas, sebel. Rasanya jatuh harga diriku!"
Kendati dia berusaha menunjukkan kemarahan tapi aku melihatnya seperti sedang minta dimanja. Vidia memang menggemaskan. Beruntunglah aku dapat melunakkan hatinya. Sejujurnya, aku pun ingin segera menikahinya. "Terus..."
"Kamu tidak berniat serius."