Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menjadi bagian dari penyebar kebaikan

BEKAS ORANG GANTENG, Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta yang Tertahan: Jangan Tanya Kapan Kawin

14 Oktober 2023   10:17 Diperbarui: 14 Oktober 2023   10:30 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dokumen pribadi Usman

Peran bapak tidak lagi bisa diharapkan. Setiap hari pergi pagi pulang malam, bahkan sering tak pulang. Pernah sekali waktu aku mendapati bapak sedang duduk sendiri di gubuk pemakaman kampung, mungkin sedang merenungi diri sekaligus menghindari penagih utang.  Bapak seperti kehilangan kewarasan akibat kebanyakan utang, terlebih rumah yang ditempati telah disegel bank. Pokoknya untuk sementara tak ada yang bisa diharapkan dari bapak. Bapak sering membuat ibu malu karena sering mambuat utang baru. Ketika aku berada di rumah tugasku membantu ibu menyambut setiap tamu yang datang menagih utang. Teman-teman bapak yang dulu sering datang hanya untuk mengobrol sambil ngopi tak seoramg pun muncul.

Aku mengira ibu minta diantar ke rumah Vidia untuk sekalian bertemu dengan calon besan. Ternyata tidak, ibu minta bertemu dengan Vidia di kontrakanku. Aku dimintanya menjemput Vidia. Tak sampai hati jika aku membantah keinginan ibu. Terpaksa aku meminta pengertian Vidia agar bersedia memenuhi permintaan ibu. Untung Vidia tak keberatan.

Ternyata di luar dugaanku, ibu mencerikatan hal yang sebenarnya. Ibu setuju kami menikah tapi tidak dalam waktu dekat karena aku masih membiayai kuliah adik sekitar satu setengah tahun lagi. Dimintanya dengan sangat agar Vidia bersabar. Tak ada ekspresi penolakan pada raut wajah Vidia, yang ada kepatuhan dan kepasrahan. Di mata ibu Vidia merupakan calon mantu yang berbudi mulia. Kukira dia pandai menyembunyikan hal sebenarnya yang menjadi ganjalan dalam hatinya. Ibu pulang dengan perasaan tenang karena dikiranya masalahku reda. Aku yakin Vidia berpura-pura. Dia pandai menyimpan gejolak dalam hatinya.

Hari berganti, keragukan terhadap ketulusan cinta Vidia meningkat. Meskipun sejujurnya aku amat mencintainya tapi apalah daya ibarat malam masih sore. Menanti fajar terbit hanya akan menambah penderitaannya. Lagi pula menikah dengan aku bukan solusi bagi hidupnya yang berharap masa depannya seterang sinar matahari  pagi. Menyadari hal itu aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan cinta dengan Vidia. Kumohonkan maaf beribu maaf atas segala kesalahanku. "Cukuplah kita saling bersaudara," kataku.

Vidia dapat memahami dan menerima keputusanku. Matanya meleleh. Batinku kehilangan kebahagiaan dalam beberapa hari. Tak kukatakan hal itu kepada ibu. Ketika ibu menanyakan kabarku, kukatakan bahwa aku baik-baik saja. Menjelang tanggal gajian ibu mengingatkan agar aku tidak lupa mentransfer uang ke rekening adik.

Dalam tempo beberapa bulan saja aku mendapat kabar dari seorang teman bahwa Vidia telah menikah dengan pemuda yang masih ada hubungan kerabat. Aku kaget. Kupikir, mengapa dia tidak mengabari aku, tapi apa pula perlunya dia mengabari aku. Mungkin itu keputusan yang baik. Berlalulah sudah cerita tentang Vidia. Hal terindah dengan sendirinya telah tersimpan dalam memori. Dia telah ada yang memiliki dengan kehidupan sendiri.

Kapan kawin? Pertanyaan itu masih diucapkan oleh rekan-rekan kerjaku. Aku tak kuasa membungkam mulut siapa pun. "Insyaallah dalam waktu dekat," jawabku sembarang. Jawaban itu memicu pertanyaan berikutnya hingga menjadi obrolan panjang di ruang guru. Menyusul kabar baik dari ibu yang membuat aku nyaris tidak percaya.

Melalui sambungan telepon ibu meminta agar aku segera melamar Vidia. "Untuk biaya kawin dan beli sepeda motor seken mudah-mudahan cukup Zis."

Berat rasanya mulutku untuk mengatakan hal yang sebenarnya. "Ibu punya uang dari mana?"

"Pokoknya ada-lah!"

 Aku ragu dan khawatir ibu mengalami gangguan kejiwaan. "Ibu sehat?"  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun