Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menjadi bagian dari penyebar kebaikan

BEKAS ORANG GANTENG, Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta yang Tertahan: Jangan Tanya Kapan Kawin

14 Oktober 2023   10:17 Diperbarui: 14 Oktober 2023   10:30 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dokumen pribadi Usman

"Sehat walafiat Zis."

"Duitnya untuk bayar utang-utang bapak saja Bu."

"Cukup Zis. Sebagiannya untuk biaya kamu kawin dan biaya wisuda adikmu."

Aku masih belum yakin akan kebenaran bahwa ibu punya cukup uang. Sesuai rencana sebelumnya aku pun pulang ke Cirebon. Saat bapak tak ada di rumah aku minta ibu menunjukkan bukti bahwa ibu punya uang dan menjelaskan asal-usulnya. Ibu menunjukkan buku rekening BRI. Saldonya lumayan fantastis untuk ukuran keadaan keluarga kami dan keadaanku sebagai guru honorer di rantau.

Tentang asal usul uang itu ibu bercerita cukup panjang. Singkatnya begini, semasa hidupnya kedua orang tua ibu mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid melalui sebuah yayasan. Namun setelah pihak yayasan hendak memulai pembangunannya masyarakat sekitarnya menolak. Terbengkalailah lahannya hingga hampir tiga puluh tahun.  Belakangan ada pihak perusahaan (PT) yang ingin membelinya konon akan dibangun pabrik konveksi. Terjadilah sengketa yang melibatkan pihak yayasan, ketua RT dan RW setempat, dan ahli waris orang tua ibu yang diwakili oleh kakak kedua ibu. Entahlah bagaimana cerita detilnya, tapi hasilnya lahan yang sepertinya cukup luas itu dikembalikan kepada ahli waris. Terjadilah transaksi antara kakak ibu dengan pihak PT. Ujung-ujungnya ibu pun kebagian durian runtuh. Ibu senang bukan kepalang.

Bapak belum diberi tahu. Inu ngin membuat kejutan. Ibu mengajakku melamar Vidia. Kukatakan bahwa Vidia telah menjadi istri orang. Ibu mendadak syok. Wajahnya mengeriput menahan tangis. Matanya berlinang-linang. Disekanya air mata dengan dengan punggung tangannya. Dengan nada lirih, ibu meminta maaf. Kendati disergap rasa sedih aku berusaha tegar dan menenangkan ibu.

Ibu menyemangati agar aku segera  mencari calon istri yang aku cocok, dana tersedia. Namun aku justru yang meminta ibu mencarikan jodoh untukku. Sungguh! Siapa pun yang ibu pilihkan aku akan menerimanya, gadis atau janda.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun