“Iya Nek.” Agus segera berlalu.
“ Jangan lupa doakan juga anyaman tudung nenek agar segera dibayar oleh Si Sapri.”
“Baik Nek.”
Mak Angkrih kembali fokus pada pekerjaannya.
Mak Angkrih kini sebagai perempuan tertua di antara beberapa warga Sukaminder yang masih menganyam rangka tudung sebagai mata pencahariannya. Selain orang-orang yang seusianya rata-rata telah tutup usia, juga keadaan lingkungan telah banyak berubah. Sejak pesawahan di timur kampungnya dibebaskan perusahaan pengembang dan kini menjadi kompleks perumahan dia tak lagi turun ke sawah sebagai buruh tani. Para petani pun pensiun. Mak Angkrih masih tetap menganyam rangka tudung, pekerjaan yang digelutinya sejak kecil. Kebun bambu yang sebelumnya mencapai hampir setengah luas kampung kini tinggal beberapa rumpun saja. Kebun bambu telah menjelma rumah-rumah. Diperkirakan rumpun bambu yang tersisa akan punah sampai dia tutup usia.
Seiring dengan itu sebagian besar kaum perempuan pun memilih pensiun dari pekerjaan menganyam tudung. Baik kaum laki-laki maupun perempuan yang semula bertani kemudian beralih pekerjaan. Ada yang jadi pedagang, tukang ojek, tukang becak, pengangkut sampah, bahkan tukang parkir di pasar. Beberapa orang perempuan ada yang menyambi sebagai tukang urut dengan pemakai jasa utamanya warga kompleks perumahan dan sekitarnya. Di antara kaum perempuan yang masih muda dan tenaganya masih kuat banyak juga yang menjadi pembantu rumah tangga atau hanya sebagai buruh cuci dan menyetrika secara lepas. Sebagian besar anak-anaknya yang lulus SMP dan SMA memilih bekerja di pabrik. Sedikit sekali yang mengenyam pendidikan tinggi meskipun sesungguhnya dana dari penjualan sawah lebih dari cukup untuk sekadar membiayai kuliah sampai jadi sarjana. Sementara itu, Mak Angkrih menginginkan Agus, cucu semata wayangnya selepas SMA nanti bisa kuliah meskipun dia menyadari kondisinya masih jauh panggang dari api. Namun sedikit harta simpanannya berupa perhiasan emas siap untuk dikorbankan.
“Hari gini masih nganyam tudung!” canda seorang perempuan muda pada suatu siang.
“Apalah yang bisa kuanyam selain tudung, Marni?” Mak Angkrih senyum-senyum seraya menyuir-nyuir bilahan bambu bahan anyaman tudung.
Marni pun tersenyum pula. “Kapan tengkulak datang lagi Mak?”
“Yang mana, Si Sapri? Entahlah. Mungkin dia berhenti dagang tudungnya. Kabarnya dia usaha jual-beli sepeda motor bekas.”
“Wah hebat, Mak?”