Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Perang Badar: The Decisive War (4)

23 Maret 2023   17:19 Diperbarui: 23 Maret 2023   17:30 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 3

Keputusan Penting

.

.

Abdullah bin Jahsy menunggu Sa'ad bin Abi Waqash menormalkan napasnya. Dahinya mengernyit, tidak mengerti kecelakaan apa yang menimpa Sa'ad bin Abi Waqash.

           

"Celaka, ya Amirul Mukimini. Celaka!" Setelah napasnya reda, Sa'ad bin Abi Waqash baru bisa bicara.

"Apa maksudmu, Sa'ad?" tanya Abdullah bin Jahsy penasaran.

"Rupanya kami tidak mengikat tali unta dengan kuat. Unta yang kami naiki tidak ada di tempatnya. Lepas, entah kemana," jawab Sa'ad bin Abi Waqash.

"Kau, satu unta bersama siapa?"

"Seunta denganku!" jawab Utbah bin Ghazwan yang juga terengah-engah menyusul Sa'ad bin Abi Waqash.

"Kami sudah mencarinya ke lembah sana, juga ke kaki bukit itu. Unta itu tetap tidak kami temukan." Sa'ad bin Abi Waqash menambah penjelasan.

Abdullah bin Jahsy terdiam beberapa saat, dan setelah yakin dengan keputusan yang dipikirkannya, dia berkata, "Kalau begitu, kalian harus mencari unta itu sampai ketemu. Setelah ketemu, kalian berdua langsung pulang, kembali ke Madinah. Tidak perlu menyusul ke Nikhlah."

Sa'ad bin Abi Waqqash dan Utbah bin Ghazwan saling tatap. Tentu saja mereka kecewa karena tidak bisa ikut misi mencegat kafilah Quraisy. Namun, karena Abdullah bin jahsy memerintahkannya begitu, mereka pun mematuhinya.

"Sami'na wa atho'na*, ya Amirul Mukminin," kata Sa'ad dan Utbah berbarengan.

Sa'ad bin Abi Waqqash dan Utbah bin Ghazwan pun memisahkan diri dari pasukan untuk mencari unta mereka yang hilang. Sementara pasukan bergerak menuju arah matahari terbenam.

***

Menjelang Isya, pasukan sampai di Nikhlah. Abdullah bin Jahsy menginstruksikan pasukannya untuk istirahat sekalian melaksanakan salat.

"Setelah salat nanti, ada yang harus kita bicarakan," ujar Abdullah bin Jahsy, menutup instruksi yang disampaikannya. "Dan kau, Abu Hudzaifah, setelah salat berangkatlah. Selidiki, di mana posisi rombongan Quraisy sekarang."

"Baik, ya Amirul Mukminin!" Abu Hudzaifah yang ditunjuk mengangguk, tanda siap melaksanakan instruksi.

Setelah semua selesai melaksanakan salat, mereka pun segera mengelilingi Abdullah bin Jahsy. Ketegangan mulai menghinggapi mereka, mendekati saatnya mereka melaksanakan misi yang diperintahkan Rasulullah SAW. Angin malam yang menyeruak di antara pohon-pohon kurma tidak mampu mendinginkan tubuh mereka yang menghangat karena tegang.

"Sebagaimana pesan Rasulullah yang sudah kalian dengar, di sinilah kita harus mencegat kafilah dagang Quraisy." Abdullah bin Jahsy memulai pembicaraan setelah sebelumnya mengedarkan pandangan ke semua sahabatnya. "Kita harus menyusun strategi agar misi kita ini berhasil."

"Dalam suratnya Rasulullah memerintahkan kita untuk mencegat. Apakah itu berarti kita harus menyerang mereka?" Ukkasyah bin Mishan menanggapi.

Abdullah bin Jahsy tidak segera menjawab. Sambil mengelus janggutnya dia terlihat sedang berpikir. Setelah beberapa jenak, "Itulah, saya membutuhkan pendapat kalian dalam menerjemahkan instruksi Rasulullah tersebut."

"Saya kira tidak mungkin kita hanya mencegat, tentu yang dimaksudkan Rasulullah adalah kita merebut barang bawaan mereka. Sebagaimana misi-misi yang dilakukan pasukan sariyyah sebelum kita." Waqid bin Abdullah mengemukakan pendapatnya.

"Maksudmu kita harus menyerang mereka?" tanya Rabiah bin Amir.

"Tentu saja. Untuk merebut barang bawaan mereka, kita tidak cukup hanya dengan mencegat mereka. Apalagi kalau kemudian mereka melakukan perlawanan. Tentu kita harus siap menyerang mereka," tegas Waqid bin Abdullah.

"Bagaimana, ada pendapat yang lain?" tanya Abdullah bin Jahsy kembali mengelus jenggot.

"Aku setuju pendapat Waqid. Seperti pasukan-pasukan sebelum kita, termasuk pasukan yang dipimpin oleh Rasulullah sendiri, juga melakukan penyerangan pada kafilah Quraisy," ujar Ukkasyah bin Mihshan.

"Betul! Tapi kita tetap harus memperhitungkan. Kekuatan kita cuma sepuluh orang, setelah Sa'ad dan Utbah tidak ikut," papar Khalid bin al-Bukair.

Suasana memanas semakin menyelimuti mereka. Tensi ketegangan pun bertambah. Perhitungan harus segera dilakukan supaya misi berhasil dengan kondisi pasukan yang minimal.

"Insya Allah, dengan semangat jihad yang kita miliki, kekuatan lawan sebesar apa pun, akan kita hadapi. Namun, betul kata Khalid, kita harus membuat perhitungan tepat. Bagaimana dengan pasukan yang sedikit ini kita berhasil merebut barang bawaan mereka." Abdullah bin Jahsy memperkuat argumen Khalid bin al-Bukair.

"Kalau begitu kita harus melakukannya dengan tiba-tiba, cepat dan serentak. Jangan memberi peluang mereka melakukan perlawanan," ujar Ukkasyah.

Malam bergulir semakin mendekati puncak. Angin semakin keras menggoyang pepohonan kurma. Daun-daunnya bergoyang tak beraturan, seolah mengerti sebentar lagi akan ada pertempuran.

Abdullah bin jahsy hendak berbicara ketika tiba-tiba Abu Hudzaifah datang dengan tergopoh-gopoh.

"Bagaimana, Abu Hudzaifah. Apakah kau melihat mereka?" tanya Abdullah bin Jahsy.

Abu Hudzaifah tidak menjawab. Dia hanya mengangkat tangan kanannya, meminta waktu untuk mengatur napasnya yang tersengal. Keringat terlihat mengucur di kedua pipinya, tanda Abu Hudzaifah telah berlari jauh.

"Mereka sedang berjalan ke arah sini. Kira-kira setengah jam lagi mereka akan lewat." Setelah napasnya mereda Abu Hudzaifah memberikan informasinya.

"Setengah jam lagi?" Ukkasyah bin Mihshan kaget.

           

"Bagaimana, ya Abdullah. Apa keputusanmu? Apakah kita menyerang mereka?" tanya Khalid bin al-Bukair.

Abdullah bin Jahsy merasakan permukaan wajahnya menebal. Keputusan harus segera diambil. Kemudian, "Baik! kita lakukan serangan secara mendadak. Secepat mungkin kita harus bisa melumpuhkan mereka. Sekarang semua bersiap."

Sesaat semuanya akan bergerak, tiba-tiba Waqid bin Abdullah berbicara, "Tunggu! Ada hal penting yang harus aku peringatkan."

Tentu saja semua kaget. Semua bertanya-tanya, gerangan apa yang penting yang dimaksud Waqid bin Abdullah?

"Apa itu, Waqid?" tanya Suhail bin Baidha tak sabar melepas kepenasaran.

"Maaf sebelumnya, kita harus memastikan, mala mini apakah masih bulan Rajab atau sudah memasuki bulan Sya'ban. Perhitunganku malam ini adalah malam terakhir bulan Rajab. Tapi perhitunganku bisa saja salah." Waqid bin Abdullah menjelaskan sambil memandang ke arah Abdullah bin Jahsy, yang mengernyitkan kening tanda belum mengerti.

"Memangnya kenapa, wahai Waqid?" tanya Ukkasyah bin Mihshan, yang belum paham apa dimaksud Waqid bin Abdullah.

"Kalau malam ini masih bulan Rajab. Kita tidak boleh melakukan penyerangan, apalagi kalau sampai terjadi korban. Kalian tentu ingat, Rajab adalah bulan yang telah diharamkan Allah untuk melakukan perbuatan keji*. Termasuk berperang. Dan, semua mengetahuinya, bukan hanya kita yang Muslim," jelas Waqid bin Abdullah.

Ketegangan semakin menjadi. Semua saling berpandangan. Semuanya tidak menyadari, tentu kecuali Waqid bin Abdullah. Dan ini bukan perkara sepele. Melakukan penyerangan berarti melanggar kesepakatan tidak tertulis.

"Bagaimana, Abdullah?" Ukkasyah tidak sabar mendengar keputusan Sang Komandan.

"Apa kita cukup mengintai saja?" Khalid bin al-Bukair memberi alternatif.

Abdullah bin Jahsy belum menetapkan keputusannya. Tatapannya kosong. Seolah sedang memandang jauh ke depan, melewati wajah-wajah sahabatnya.

"Menurutku kita harus mengambil risiko!" Abu Hudzaifah sedikit berteriak menyanggah pendapat Khalid. "Mereka sebentar lagi lewat. Kira-kira setengah jam lagi. Kalau hanya mengintai, tentu misi kita tidak berhasil." 

Abdullah bin Jahsy semakin bimbang. Sembilan pasang mata menatap wajahnya, menunggu keputusan apa yang akan diambilnya. Galau, bagai berada di persimpangan jalan di mana kedua pilihan sama-sama penting. Kalau berbelok kiri akan menyelamatkan anaknya sementara istrinya celaka. Sedangkan kalau berbelok ke kanan sebaliknya, akan menyelamatkan istrinya dan anaknya yang celaka.

Punggungnya seraya dirayapi ribuan semut, isi kepala seolah diperas. Bagaimanapun keputusan harus segera diambil. Waktu terus bergulir menyertai kafilah Quraisy yang semakin mendekat.

"Bagaimana, Abdullah?" Ukkasyah bertanya pelan, antara tidak sabar dan menghargai Sang Pemimpin yang sedang berpikir.

"Baiklah! Bagaimanapun resiko harus diambil, serta berharap perhitungan Khalid salah. Kita tetap sergap mereka. Namun, usahakan jangan sampai ada korban jiwa." Akhirnya Abdullah bin Jahsy mengambil keputusan.

"Allahu Akbar!" Ukkasyah menyambut keputusan Abdullah bin Jahsy.

Abdullah bin Jahsy segera menempelkan telunjuk di mulut, memperingatkan supaya tidak ribut. Khawatir terdengar oleh orang-orang Quraisy.

"Sekarang mari kita bersiap-siap. Ambil posisi masing-masing yang memudahkan kita bisa menyerang mereka secepat mungkin. Jangan memberi kesempatan mereka untuk melakukan perlawanan." Abdullah bin Jahsy memberikan istruksi terakhir.

~~~

*Sami'na wa atho'na artinya kami mendengar dan ta'at.

*Ada 4 bulan yang diharamkan melakukan perbuatan keji di dalamnya, yaitu Muharram, Rajab, Dzul Hijah, dan Dzulqadah. Hal ini terdapat dalam surat at-Taubah ayat ke-36.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun