Memikirkan itu, Jonan memacu mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Di perempatan yang menuju jalan utama, Jonan membelokkan mobil ke kanan, melewati jalan yang melewati kampus anaknya memang cukup memutar dan lebih jauh daripada melewati jalan utama. Namun, dengan suasana jalan yang sepi dibanding kondisi jalan utama, akan membuatnya lebih cepat sampai di rumah dan kembali ke kantor.
***
Terburu-buru Jonan masuk rumah, bahkan dia tidak merasa perlu harus membuka sepatu. Langsung menghampiri PC dan betul saja, benda kecil seukuran jempol tangan itu tertancap di sana.
Sebagaimana saat tadi menuju rumah, balik ke kantor Jonan juga memacu mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Jam di dashboar menunjukkan pukul 8.10 dan itu membuatnya tambah panik.
Melewati pertigaan dekat kampus Hendrik, Jonan menerobos lampu merah setelah melihat ke sekililing dan ke kaca spion dan memastikan tidak ada yang memperhatikan. Pentingnya dia harus segera sampai di kantor, membuatnya merasa dibolehkan melanggar lalu lintas.
Tanpa mengurangi kecepatan saat menerobos lampu merah, dan saat itu pula entah dari mana, tiba-tiba ada sekuter di depannya. Tak sempat menginjak pedal rem, tak ayal mobilnya menabrak sekuter itu sampai pengemudinya terlempar sejauh empat meter.
Jonan tidak bermaksud berhenti. Bayangan kemarahan bosnya dan ketakutan dipecat, membuatnya tak acuh dengan kondisi si pengemudi sekuter. Terlihat darah di sekitar tubuh si pengemudi sekuter yang masih terbaring, saat Jonan melewatinya. Kondisi jalan yang sepi membuatnya agak tenang, walaupun debar jantungnya tetap tidak bisa memungkiri rasa bersalahnya.
***
"Luar biasa! Saya senang dengan capaian yang diraih kantor ini selama enam bulan terakhir. Selamat ... selamat!" Bos dari kantor pusat menyalami Pak Hary dengan muka memancarkan kepuasan.
"Terima kasih, Pak! Semua ini atas support dari kantor pusat juga," balas Pak Hary merendah.
"Oh ya, siapa tadi yang presentasi? Jonan ya nama Anda?" tanya Bos kantor pusat pada Jonan.