Mohon tunggu...
Qoni A Rosta
Qoni A Rosta Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Feby

18 November 2016   08:56 Diperbarui: 2 Desember 2016   08:48 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

    Jreng..... jreng..... “if this is my last night with you, hold me like i’m more than just a friend. Give me a memory i can use, take me by the hand while we do what lover do, it matters how this ends. Cause what if never love again?” lirik all i ask yang selalu Feby senandungkan ketika ada gitar bersandar sendiri seakan ingin Feby petik lalu diiringi nada-nada yang keluar dari kepakan bibir Feby. Sosok Feby bukanlah tipe remaja yang mudah luntur akan usahanya, dia memilliki ambisi yang tinggi atas apa yang di tuju, tingginya hanya sekitar 155cm, untuk style penampilannyapun sederhana, gaya rambutnya tak tampak karna setiap waktunya terbalut oleh kain, dan disisi lain kelebihan yang dimiliki sampai kawan terdekatnya memanggilnya “ciwis” maksudnya cerewet abis.

Tak jauh pendidikan yang masih baru saja menginjak semester tiga tahun ini disalah satu perguruan tinggi yang tak begitu bergengsi di jawa timur, tapi cita-cita yang tinggi untuk membahagiakan kedua orang tua yang saat ini juga masih berjuang mencari materi agar Feby bisa terus berkembang dalam dunia pendidikan seperti harapan-harapan yang telah ada. Dengan dukungan tinggi dari orang tua, Feby mampu melewati rintangan apa saja yang hadir disetiap langkah untuk menembus masa depannya entah kendala dalam perkuliahan, teman dan yang paling membosankan namun menantang adalah masalah hati yang tak pernah ada habisnya.

Kebahagiaan bagi Feby adalah disaat mampu membuat orang lain merasa ada akan terciptanya diri Feby sendiri, dan kesedihan bagi Feby adalah ketika tak lagi dianggapnya ada. Cukup sederhana untuk hal itu dengan bersikap selalu meminta maaf terlebih dahulu tak akan ternilai hina melainkan akan begitu tidak mulia jika masih berharap mereka-mereka yang meminta maaf. Dan cerita berakhir sampai disini, tenang saja semua belum berakhir coretan tadi hanya sedikit sejarah dari Feby.

------------------

“oke, fix you” kata itu tak pernah ternilai mapan dalam diri Feby, kata itu membuat sesuatu yang telah lalu, yang telah diusahakan ternilai rendah bahkan tidak ada sama sekali karena perlu dan perlu diubah dan harus direvisi lagi, jika demikian apa yang telah ada masih saja buruk tak tampak akan kebaikan yang ada. Jengkel terbesit saat kata itu terlontar entah melaui media lebih-lebih jika menggelegar langsung ditelinganya waww, its ammazing but, tak peduli akan apa yang terdengar keharusan saat keadaan seperti itu adalah perubahan karena didunia ini tidak ada yang kekal kecuali sebuah perubahan kata dosen filsafat umum seperti itu.

Dalam setiap apa yang akan diubah tidak akan mudah seperti membalik telapak tangan, tak mudah seperti menyeduh kopi disatnihgt bersama gebetan. Semua itu butuh usaha yang terus menerus harus terlakasana tidak dengan selang waktu seminggu, sebulan, setahunpun bukan batasan yang pasti karena yang akan dibangun adalah keyakinan dan kepercayaan bukan membagun gedung atau istana dalam hayalan melainkan sederhananya membangun gubuk dalam kenyataan.

Penguat yang terus mengalir dalam nadi adalah kebijakan pencipta yang mengatakan “setiap lika-liku akan diperuntukkan hanya kepada mereka-mereka yang mampu” dari kalimat tersebut tergugah akan dahsyatnya ambisi bahwa apa yang perlu dibenahi wajib dibenahi secepat mungkin jika ditanya sampai kapan? Jawabannya adalah sampai tidak ada lagi cerita yang tuhan peruntukan.

-----------------

“Feby?” “Hikam”

“maba?” “may be”

sampai pada kata itu tiba-tiba sosok lelaki tak diharap kehadirannya pergi dan tak berkata sedikitpun. “Feby...” mengejutkan, dari nada yang serak, merusak gendang, sampai pada tingkatan nada DO tinggi yang terasa menyakitkan sekali untuk didengar karena begitu keras sekawan memanggil dari arah yang lain berlari untuk menghampiri dan disambut dengan senyum bahagia dipagi itu. “tadi siapa Feb?” nyeletuk si cungkring (ika) dengan wajah yang menampakan ingin membuli kawan sebayanya. “nah, yakin nih hati bakal ditanya begituan”

“iya, siapa tuh abang namanya kakak..?”

“Hikam katanya”

“ha, Hikam? “

“biasa aja kakak, kamu kenal dia?”

“nggak kenal sih”

“lah terus maksud kamu apa, respone seperti denger kabar gak lulus sidang skripsi aja”

“yah, aku cuma berfikir mungkin dia Hikam yang akan menjadi Hakim”

(dengan wajah tanpa dosa dan sedikit tawa atas apa yang telah dipikirnya)

“oh God....”

serentak dari keempat kawan lainnya (Ainun, Wikke, Puput dan Vina)

“please deh kakak, gak usah mikir aneh-aneh ntar yang ada kamu malah mulai gak beresnya. Udah yuk ke kelas” Ika hanya tertawa.

Mereka adalah sekawan yang sedia mendengar cerita apa saja yang ada. Ainun, putih, lugu dan lucunya memiliki fisik paling lebih dari lainnya dan biasa dipanggil “ndut”. Wikke, tinggi kurang lebih 155cm, ciri khasnya memakai motor yang lebih besar dari dirinya. Puput, orang magetan yang sulit untuk makan, jika ditanya “put, makan?” jawaban yang sederhana “aku belum laper” harus sabar saat menghadapinya. Vina, good girl, perfect dan tidak ada cacat yang lainnya sepertinya begitu. Kesana kemari bersama, panas, hujan masih bersama tapi tak ada yang mengerti dari kebersamaan yang tercipta “apalah arti sebuah nama” selogan yang senantiasa menjati dirikan antar sesama.

--------------

Disisi lain Feby juga suka menulis, menulis apa saja yang sedang diinginkan dari cerita pendek, puisi dan kalimat-kalimat yang membuat para pembaca bawa perasaan. Pagi bukanlah waktu yang kekal akan keindahan sinar yang hadir untuk memberikan bahagia kepada mereka yang membutuhkan dan mampu menjadi kesedihan bagi mereka yang tidak mengharapkan kehadirannya meski pada akhirnya sinar pagi akan pulang dengan sendirinya lalu terganti oleh senja yang tak pernah dusta, akan selalu hadir sebagai waktu-waktu istimewa untuk bercerita tentang apa yang telah dirasa saat masih bertegur sapa sampai tak lagi jumpa bersama mereka-mereka yang selalu ada dan terus berjalan bersama disaat lara dan tawa saling ada dan tidak ada seperti fatamorgana.

“krik, krik” nada handphone disebelah Feby saat merebahkan diri dikamar, dilihatnya ika.

“Feb, aku sedih..”

“kenapa lagi ?” (send)

“uang buat makan sebulan hilang”

“hilang semua kah ?”

“ya nggak sih, setengahnya aja”

“yang ada digunakan dulu, nanti semisal habis, masih punya temen kan ?”

“ah, Feby selalu seperti itu. aku jadi gak enak sendiri”

“gak usah bawa perasaan gitu, gak usah sok malu kalo biasanya suka malu-maluin, wkwkwkwkkwk”

“Feby ah, begitu mulu udah tau temen susah malah diledekin, hiks hiks..”

“Bersyukurlah kepada Allah, jika kau bersyukur sesungguhnya kau bersyukur untuk dirimu sendiri, dan apabila kau tak bersyukur, maka sesungguhnya Alloh maha kaya lagi maha terpuji (surah luqman : 12) so, kakak ika sekarang bersyukur saja, apa yang alloh berikan meski berupa cobaan harus tetap diisyukuri tidak sekedar bersyukur saat mendapat rizki saja karena sudah jelas alloh maha kaya, jika hadir kepada pencipta selangkah saja, maka Dia akan hadir sribu langkah lebih banyak”

“duuuhhhh, kalo udah laporan sama si Ciwis satu ini, makjlep deh. Makasih ya kakak atas sarannya”

“hahaha, udah udah, sana  istirahat udah malem kakak, besok harus kuliah pagi”

“siap kakaka”

Seperti itulah Feby saat ada sekawannya lagi jatuh, tidak hanya Feby saja semua sama saat ada luka diantara mereka, saling menjadi penawar atas luka-luka yang diderita.

------------

Si Peci Putih

Angin sesekali menerpa helai rambut mu

Begitupun debu melekat disekitar mata mu

Lambai tanganmu tak berganti pesat

Hanya langkah yang terlihat

Jauh tak mudah didapat

Kau tak pintar berkata

Kau juga tak pintar menyapa

Kaupun tak pandai mencari mata

Dan akhirnya aku tau, kau terlalu pandai menyimpan rasa

Bibirmu kaku dan bisu membeku

Mampu membuat diri terus menggebu

Lisan tersenyum saat bertemu

Sebatas kata jika itu adalah rindu

Tertulis atas nama kasih

Berdayu layu tanpa pamrih

Benar kau Si Peci Putih

Penawar jelita perih

Jember, 10 November 2016 teruntuk jiwa yg sedang aku perjuangkan layaknya pahlawan dalam genggaman.

Simpan, Tayangkan + enter. Dimana puisi yang Feby tulis disalah satu web Kompasiana yang menjadi akun untuk dirinya dalam menulis berbagai pengetahuan dan pengalamannya.

Lagi-lagi sekawan itu sedang berkumpul dikantin sembari bercerita perihal apapun yang ada, tiba-tiba si Cungkring bersua,

“Feb, aku tadi lewat masjid depan pesantrenmu dulu pas masih Aliyah”

“trus..?”

“aku kelitan abang Hikam, pake peci putih udah kayak orang mau pergi haji aja, wkwkwk”

“ya ampun kakak maksudnya apa? Cuma sekali ketemu kemaren itu dan aku gak kenal”

“adududu, si ciwis langsung naik darah yah, wkwkwkkwkwk”

“kamu sih,,” (merengut)

“hahaha, yaudah gak usah dibahas”

Hening sekejap, si good girl memecah suasana,

“kamu yakin Feb, gak kenal sama tuh abang peci putih ?”

“nggak” (jawab simpel)

Sekawan yang lain merasa bahwa ada yang berbeda dari sikap Feby,

“inget lo ya Feb, transparansi itu perlu, bukan hanya pada prinsip anti korupsi saja, tapi diantara sekawanan juga perlu”

“sorry ya, sebenarnya aku tau sama tuh orang yang kalian panggil Abang, dia Gus ku pas masih dipesantren, yah aku kan bener gak kenal, Cuma sekedar tau saja. Dan aku juga sadar, kalian pasti baca di akun kompasianaku yang dimaksud itu siapa, aku minta maaf sudah berusaha untuk menyimpan hal tersebut, ya aku malulah dia Gus ku, dan tidak ada harapan buat aku, kemaren itu hanya sebuah sapa dan tak lebih hanya sekedar sebuah sapa. Dan terimakasih kalian sudah peka atas apa yang aku lakukan”

“bukannya waktu masih panjang Feb, kata mu. Apa lagi kuliahmu masih baru menginjak semester tiga ?”

“terlalu jauh Vin, aku tidak berusaha menyapanya dan tidak akan tau menau, karena diluar sana sudah banyak yang menginginkannya bahkan mengidamankan, dan terakhir informasi yang aku dengar beliau sudah punya calon”

“lalu, sampai kapan kamu hanya akan berkutat dengan tulisan dan tak mampu mengungkapkan ?”

“sampai tidak ada lagi cerita yang harus aku ceritakan dalam sebuah tulisan”

Semuanya memeluk Feby dan tidak pernah disangka sejauh itu, ternyata Feby mampu memendam atas apa yang terjadi dalam dirinya, semua yang terbaca adalah inspirasi dari sebuah rasa yang tak lain adalah cinta antar sesama manusia yang telah dianugrahkan oleh sang pencipta rasa.

_dibuat, 17 Nov 2016_

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun