Saat itulah kami mencoba mengajaknya bicara. Tentu, kami lebih dahulu mendengarkan dia berkisah. Barulah kami memberi pengarahan. Tak jarang ada pula cerita lucu yang dia lontarkan.
"Tau gak bu pernah to ada tukang kayu lagi motong pohon deket pondok, wah itu jadi tontonan. Pas pohon berhasil tumbang kita semua tepuk tangan."
Masya Allah, antara geli dan haru. Ternyata hal sederhana seperti itu bisa juga jadi istimewa di mata mereka.
"Hmmm ikut bahagia ketika tukang kayu berhasil mengeksekusi pohon. Kelihatannya sepele, namun secara tidak sadar Mas dan teman-teman sekaligus belajar. Menghargai hal sederhana. Apalagi jika bisa menolongnya. Tentu lebih istimewa lagi ya."
Tak hanya itu, pastinya banyak yang perlu dibenahi. Semisal bagaimana dia merapikan lemari baju.
"Aku kadang gak punya waktu, sementara aku taruh dulu sebisaku bu. Tapi ibu tenang aja kalau pas selo lemari aku beresin kok."
Juga perihal membersihkan peralatan pribadinya. Botol minum misalnya, kapan dibersihkan atau bahkan tak pernah dibersihkan.
"Kemarin aku lupa bawa sikat jadi cuma aku kocok-kocok aja pake air bu, lha bingung mau bersihin botolnya pake apaan?"
Begitulah jika anak laki-laki terlebih masuk masa transisi terkadang lengah mengeksekusi kondisi. Bahkan peralatan pribadi masih menjadi PR untuk dibenahi.
"Besok ibu carikan sikat, Mas yang rajin bersihkan ya biar gak bau dan minumnya tetap sehat. Pejuang itu harus rajin jaga kebersihan. Mas ngerti kan?"
Dan, tentu masih banyak lagi. Intinya kami harus bersabar untuk bicara dari hati ke hati. Bukan lagi sebagai anak usia dini melainkan sahabat yang siap duduk bersama.