"Ibuuu besok aku dikirim mie instant yang sudah digoreng yaa, huumm...." Suara si sulung terdengar berbisik dari ujung telpon yang begitu riuh dan berisik. Celetuk ala anak-anak, berusaha merajuk hati emak.
"Oh tidak bisa!!!" Jawabku tegas.
"Kan kemarin sudah ada noodle day bareng Ustadz, sudah cukuuup. Dibatasi ya...."
"Itu udah lama, beberapa minggu kemarin kan bu... Aku mau lagi."
"Gak bisa sering-sering dong Nak, dijeda agak lamaan...."
"Ya udah, kalo snack yang bunder-bunder pedes gimana Bu? Biar rame kriuk-kriuk."
"Hdeeeh apa lagi ituu, enteng di perut banyak zat pengawet juga."
Kami mencoba tak lengah, berusaha menyikapi. Ceramah pun dimulai. Menggunakan nada khas emak-emak, si sulung pun mendengarkan dan akhirnya menurunkan intonasi, bersiap menyerah.
"Iya deh bu diganti aja, gak apa-apa. Terserah ibu...."
"Naaah gitu dong anak sholihnya ibu. Besok dikirim buah aja yaa nak, silahkan dibagi-bagi...."
Huumm anak laki-laki kalau sudah mendengar omelan emak rupanya lebih memilih diam.Â
Daripada urusan semakin panjang, hihihi. Namun justru itulah yang kerap membuatnya rindu, omelan emaknya. Hehe.
Begitulah, keriuhan yang terjadi beberapa minggu lalu saat jadwal penelponan santri.Â
Kami memahami dia masih belum lulus menjadi sarjana anak-anak. Merajuk dan manja masih saja digunakan sebagai senjata.
Terkadang hati ini tak tega, namun kami harus tegas menghadapinya. Meski ada beberapa hal yang menjadi keinginannya namun kami tak bisa begitu saja memenuhi, harus kami seleksi, dengan alasan demi kesehatan. Sebagai orang tua kami harus tetap menyampaikan.
Termasuk saat meminta dibawakan mie instant yang telah dimasak. Juga jajanan, aneh-aneh yang terkadang sulit ditemukan. Aaiih ternyata dia hanya ikutan teman.
Jangan dengan dalih tak tega semua dikabulkan tanpa terlebih dahulu menyeleksi. Kami berusaha menghindari hal ini. Tentu semua demi kebaikannya. Terlebih dia tumbuh dan berkembang jauh dari orang tua.
Ini baru satu hal. Belum perkembangan psikologisnya. Lalu bagaimana menghadapi hal ini, saat tak selalu bisa mendampingi setiap perkembangan dari hari ke hari?
Anak-anak tetaplah anak-anak. Di manapun mereka berada jabatan nyentriknya masih mengikuti, kapten anak-anak.Â
Orang tua mencoba menghadapi ini dengan bijak. Walau terkadang harus menyikapi dengan segenap tindak.
Fase yang belum khatam dilewati ini menjadi warna tersendiri. Tak terkecuali dalam kehidupan sebagai seorang santri.
Ya, sejak kami memutuskan menjadi wali santri, kami sudah bersiap menghadapi ini. Meski pada prakteknya kami masih terus mempelajari bagaimana mengikuti perkembangan anak saat tak selalu di sisi. Terlebih dia memasuki masa transisi.
Pondok pesantren, bukan karena tren, melainkan menjadi rumah kedua setelah melewati beberapa masa bersama orang tua.Â
Bagi kami pondok merupakan sebuah pilihan. Memutuskan melepas anak menjadi santri bukan tanpa pertimbangan.
Kesempatan ini dimanfaatkan sebagai pijakan pembelajaran. Selain landasan utama mencari ilmu agama, digunakan pula agar anak faham jikalau dia harus belajar hidup secara mandiri. Tak selamanya tergantung pada orang tua.
Lalu, bagaimana kami mengatur strategi dalam mendampingi buah hati saat tak selalu di sisi?
Memanfaatkan jadwal penelponan dengan durasi terbatas sebagai agenda rutin pendampingan yang tiada batas
Penelponan merupakan komunikasi dua arah secara virtual. Di pondok si sulung rutin dilakukan per dua pekan.Â
Ini menjadi momen yang ditunggu. Ya, saat jadwal penelponan santri tiba. Kami mencoba memanfaatkan momen ini dengan sebaik-baiknya.
Segala macam kegiatan kami kondisikan demi mendengar beragam celotehnya via telpon di hari yang telah ditentukan. Ini sangat penting, sebab secara psikologis kehadiran orang tua masih diperlukan pada pertumbuhannya. Dalam hal ini kuantitas bukan lagi penentu, yang terpenting adalah kualitas komunikasi.
Sehingga kami gunakan betul porsi penelponan ini sebagai bentuk pendampingan. Jika ada yang perlu dikoreksi maupun diseleksi kami langsung membicarakan secara terbuka.
Semisal saat dia meminta kepada kami beberapa jajanan. Jika kami rasa tak baik untuk kesehatan saat itu juga kami sampaikan. Mengenai bahayanya juga bagaimana solusinya.
Untuk hal yang perlu kami batasi pun akan kami batasi. Tak melarang ya. Mengapa? Ini menghindari anak sembunyi-sembunyi.Â
Biasanya kami akan bilang padanya kalau kami membatasi pengiriman yang sekiranya tak baik untuk kesehatan jika terlalu sering dimakan. Seperti contoh tadi, mie instant.
Juga makanan yang mengandung banyak zat pengawet yang berbahaya. Serta riskan untuk tenggorokan sehingga rawan menimbulkan radang. Ini harus kami perhatikan betul. Sebab kami menyadari si sulung kami anak alergi sehingga dia pun harus kami persiapkan untuk menjaga diri secara mandiri.
Termasuk bagaimana mengenali dirinya, terkait apa yang harus dikonsumsi dan dihindari. Serta resiko jika dia melanggar apa yang telah kami sampaikan.
Momen penelponan ini kami gunakan pula untuk menanyakan bagaimana kabar, perkembangan belajar, serta sosialisasi dengan teman. Apakah menemui kendala, atau adakah yang belum dia ketahui caranya.
Si sulung biasanya akan menyampaikan apa yang dia alami. Sejauh ini dia lebih sering menggunakan nada berirama tenang dan dewasa, jurus yang kerap digunakan sehingga kami percaya bahwa di sana dia baik-baik saja. Alhamdulillah, kami percaya padanya.
Pada momen penelponan sebisa mungkin kami hindari perdebatan. Di samping harus melihat jam antrian.Â
Jika ada yang butuh dikoreksi maupun diseleksi, kami sampaikan dengan beragam trik pengertian. Tentu agar anak menerima tanpa merasa disalahkan.
Ini sangat penting guna menjaga hatinya agar tetap bersikap tenang. Hal tersebut bermanfaat pula agar terjaga konsentrasi untuk terus fokus terhadap pelajaran dan kegiatan santri. Kami menghindari pula untuk terlalu mengkhawatirkannya.Â
Si sulung kerap bilang, "Ibu dan bapak percaya sama aku ya."
Jika dia sudah bicara seperti itu, kami berusaha untuk memberi kepercayaan sebagai bentuk pembelajaran menjadi pribadi yang bertanggung jawab.Â
Mengingat usianya memasuki masa transisi sehingga perlu dukungan untuk meningkatkan percaya diri.
Kami berusaha untuk tidak memancing pertanyaan yang menyedihkan. Semisal, "Apakah kamu rindu rumah?" Atau, "Ibu sangat rindu padamu Nak."
Sebab ini sudah bisa dipastikan jawabannya adalah, "rindu". Sontak anak akan menangis dan ingin memeluk kita, atau sebaliknya.
Biasanya kami mengalihkan dengan lebih banyak memberinya motivasi.
"Mas yang semangat menghafal Al Qur'an ya. Bapak, ibu, adek-adek di rumah pun demikian, sama seperti mas di sana."
Dengan begitu anak tidak akan merasa berjuang seorang diri, sebab seluruh anggota keluarga ikut serta seperti dirinya. Menjadi pejuang.
Bagi kami ini merupakan kunci. Sebab semangat orang tua akan mengalir pada anak meski bukan lewat air. Motivasi orang tua pun akan terbagi pada anak meski tak selalu di sisi.
Menjadikan penelponan yang berdurasi terbatas sebagai pendampingan yang tiada batas. Semoga bisa menjadi bagian ikhtiar yang bermanfaat.
Libur kepulangan menjadi full time pendampingan, bukan memanjakan
Libur kepulangan adalah bonus istimewa bagi santri dan wali santri. Saat di mana bisa melepas kerinduan setelah sekian waktu tak di sisi. Di pondok si sulung, libur kepulangan dibagi per tiga bulan sekali.
Tiap santri mendapat kesempatan menjenguk orang tua selama dua pekan. Untuk rehat sejenak sembari melepas kerinduan, namun bukan memanjakan.
Sebagai catatan, si sulung tidak kami ijinkan menggunakan gadget secara sembarangan. Alhamdulillah dia sudah paham. Sebab hingga detik ini dia belum kami izinkan untuk memiliki Hp pribadi. Sehingga jika ada keperluan komunikasi dengan ustadz atau teman, memakai Hp kami, orang tuanya.
Si sulung tau, kami masih istiqomah memegang aturan penggunaan gadget di rumah, sehingga saat libur kepulangan dia tidak melayangkan protes atau keberatan. Alhamdulillah.
Jadi waktu yang digunakan betul-betul full time kami dampingi. Bermain bersama kedua adiknya, berbakti kepada orang tua, murajaah, istirahat, dan tiduuur.
Saat liburan tentu memberi peluang anak untuk mengungkapkan lebih banyak permintaan. Dengan dalih mumpung di rumah. Untuk sebagian hal yang sederhana barangkali tidak masalah. Namun kami lihat segi manfaatnya, kami menghindari hal yang berlebihan, jangan sampai berujung memanjakan.
Bagi kami ini perlu dilakukan, sebab jika kami melakukan aksi memanjakan apalagi secara berlebihan saat libur kepulangan, ketika saatnya kembali ke pondok dia akan lebih berat menyesuaikan.
Semua sesuai porsi dan kebutuhan, yang terpenting bisa diambil manfaatnya. Semisal, "Ibu aku mau jalan-jalan ya."
"Oke baiklah." Ini kami gunakan sebagai quality time bersama anggota keluarga secara lengkap.
"Mumpung Mamas pulang, kita naik kuda dekat rumah yuk."
Tak lupa selipkan pesan, untuk tetap gunakan waktu sebaik-baiknya. Sebab di pekan kedua sudah mulai ada setoran tahfidz secara online. Biasanya kami memberi kode kepadanya, "Mamas sudah besar silahkan atur waktu dengan baik ya."
Sehingga dia belajar bertanggung jawab atas tugas yang diberikan. Senantiasa mendahulukan kewajiban, bukan bersantai-santai namun kemrungsung (terburu-buru) kemudian.
Libur kepulangan saatnya kami gunakan pula untuk pendampingan secara full time. Berbicara dari hati ke hati. Kami pilih waktu yang tepat. Semisal saat kedua adiknya berangkat ke sekolah.
Saat itulah kami mencoba mengajaknya bicara. Tentu, kami lebih dahulu mendengarkan dia berkisah. Barulah kami memberi pengarahan. Tak jarang ada pula cerita lucu yang dia lontarkan.
"Tau gak bu pernah to ada tukang kayu lagi motong pohon deket pondok, wah itu jadi tontonan. Pas pohon berhasil tumbang kita semua tepuk tangan."
Masya Allah, antara geli dan haru. Ternyata hal sederhana seperti itu bisa juga jadi istimewa di mata mereka.
"Hmmm ikut bahagia ketika tukang kayu berhasil mengeksekusi pohon. Kelihatannya sepele, namun secara tidak sadar Mas dan teman-teman sekaligus belajar. Menghargai hal sederhana. Apalagi jika bisa menolongnya. Tentu lebih istimewa lagi ya."
Tak hanya itu, pastinya banyak yang perlu dibenahi. Semisal bagaimana dia merapikan lemari baju.
"Aku kadang gak punya waktu, sementara aku taruh dulu sebisaku bu. Tapi ibu tenang aja kalau pas selo lemari aku beresin kok."
Juga perihal membersihkan peralatan pribadinya. Botol minum misalnya, kapan dibersihkan atau bahkan tak pernah dibersihkan.
"Kemarin aku lupa bawa sikat jadi cuma aku kocok-kocok aja pake air bu, lha bingung mau bersihin botolnya pake apaan?"
Begitulah jika anak laki-laki terlebih masuk masa transisi terkadang lengah mengeksekusi kondisi. Bahkan peralatan pribadi masih menjadi PR untuk dibenahi.
"Besok ibu carikan sikat, Mas yang rajin bersihkan ya biar gak bau dan minumnya tetap sehat. Pejuang itu harus rajin jaga kebersihan. Mas ngerti kan?"
Dan, tentu masih banyak lagi. Intinya kami harus bersabar untuk bicara dari hati ke hati. Bukan lagi sebagai anak usia dini melainkan sahabat yang siap duduk bersama.
Sehingga libur kepulangan meski singkat namun bisa sarat manfaat jika digunakan dengan tepat. Harapannya, saat kembali ke pondok anak lebih semangat dan siap. In syaa Allah. Bismillah.
***
Begitulah kami menyiasati kondisi, ketika harus mendampingi buah hati saat tak selalu di sisi. Kiranya ini menjadi sarana belajar bersama. Tak hanya untuk anak, namun juga orang tua.
Barangkali merupakan fenomena yang tak biasa. Namun kami harus terbiasa menjalaninya. Mendampingi anak merupakan kewajiban kami sebagai orang tua. Apapun kondisinya.
Menjadikan pondok rumah kedua bagi buah hati merupakan pilihan. Kami sadar kami hanya manusia biasa, dalam kondisi apapun kami tetap memiliki keterbatasan dalam memberikan pendampingan. Satu yang kami percaya, di mana pun berada, tetaplah Allah sebaik-baik penjaga.
"Bu, sekalian aku mau tuker sprei ya...."
"Siap, syaratnya Mas selesaikan target dulu, oke."
Niek~
Jogjakarta, 24 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H