Ya, sejak kami memutuskan menjadi wali santri, kami sudah bersiap menghadapi ini. Meski pada prakteknya kami masih terus mempelajari bagaimana mengikuti perkembangan anak saat tak selalu di sisi. Terlebih dia memasuki masa transisi.
Pondok pesantren, bukan karena tren, melainkan menjadi rumah kedua setelah melewati beberapa masa bersama orang tua.Â
Bagi kami pondok merupakan sebuah pilihan. Memutuskan melepas anak menjadi santri bukan tanpa pertimbangan.
Kesempatan ini dimanfaatkan sebagai pijakan pembelajaran. Selain landasan utama mencari ilmu agama, digunakan pula agar anak faham jikalau dia harus belajar hidup secara mandiri. Tak selamanya tergantung pada orang tua.
Lalu, bagaimana kami mengatur strategi dalam mendampingi buah hati saat tak selalu di sisi?
Memanfaatkan jadwal penelponan dengan durasi terbatas sebagai agenda rutin pendampingan yang tiada batas
Penelponan merupakan komunikasi dua arah secara virtual. Di pondok si sulung rutin dilakukan per dua pekan.Â
Ini menjadi momen yang ditunggu. Ya, saat jadwal penelponan santri tiba. Kami mencoba memanfaatkan momen ini dengan sebaik-baiknya.
Segala macam kegiatan kami kondisikan demi mendengar beragam celotehnya via telpon di hari yang telah ditentukan. Ini sangat penting, sebab secara psikologis kehadiran orang tua masih diperlukan pada pertumbuhannya. Dalam hal ini kuantitas bukan lagi penentu, yang terpenting adalah kualitas komunikasi.
Sehingga kami gunakan betul porsi penelponan ini sebagai bentuk pendampingan. Jika ada yang perlu dikoreksi maupun diseleksi kami langsung membicarakan secara terbuka.
Semisal saat dia meminta kepada kami beberapa jajanan. Jika kami rasa tak baik untuk kesehatan saat itu juga kami sampaikan. Mengenai bahayanya juga bagaimana solusinya.