Mohon tunggu...
tresna dewi kharisma
tresna dewi kharisma Mohon Tunggu... Lainnya - pemerhati masalah keumatan

nothing worse than being ordinary

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Mengurai Benang Kusut Tingginya Tarif Terbang: Tata Ulang Basis Pengelolaan Transportasi dengan Syariah

15 Juli 2020   16:09 Diperbarui: 15 Juli 2020   16:16 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Di sisi lain, Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA) berdalih bahwa mereka tidak menaikkan harga. Yang mereka lakukan adalah menggeser atau menyesuaikan harga yang masih dalam rentang Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB) yang ditetapkan Kementerian Perhubungan. Meskipun pada kenyataannya, hal ini berpengaruh pada daya beli masyarakat yang menurun sebesar 27%. Jika pun ada maskapai yang untung, labanya akan sangat tipis.

Sementara Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, mengatakan kenaikan harga tiket pesawat masih berada di bawah tarif batas atas. Ia menilai, justru harga tiket pesawat tengah kembali ke level normal, lantaran beberapa tahun terakhir terjadi perang harga antar maskapai penerbangan. Begitu harganya normal jadi seolah-olah tinggi. (https://ekbis.sindonews.com/read/1369909/34/budi-karya-jelaskan-alasan-kenaikan-harga-tiket-pesawat-1547297563)

Kritik Terhadap Berbagai Jurus Menurunkan Harga Tiket Pesawat

Berbagai cara dilakukan maskapai dan pemerintah untuk meredam protes keras dari harga tiket pesawat yang mahal. Mulai dari promo, revisi tarif hingga diskon pajak.

Langkah Pemerintah secara ringkas bisa disimpulkan sebagai berikut:

  • Kemenhub merevisi aturan tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB) angkutan udara dengan menurunkan TBA di kisaran 12-16 persen (lihat di lampiran). Meski begitu, aturan yang mulai berlaku pada Mei 2019 tersebut ternyata tidak signifikan meredam polemik harga tiket pesawat. Masyarakat masih menilai harga tiket pesawat saat ini masih terbilang mahal. Langkah ini merupakan langkah reaktif yang dilakukan saat sudah terjadi kegaduhan di masyarakat, pasalnya 3 tahun setelah formulasi aturan TBA dan TBB belum pernah dievaluasi. Selain itu, dengan adanya penerapan aturan baru ini belum bisa menjamin secara praktik maskapai patuh. Faktanya semua maskapai telah menerapkan tarif tinggi, rata-rata di atas 100 persen dari tarif batas bawah. Karena itu turunnya TBA tidak akan mampu menggerus masih tingginya harga tiket pesawat dan tidak akan mampu mengembalikan fenomena tiket pesawat murah. Bahkan dengan adanya kebijakan ini berpeluang ditutupnya oleh makskapai rute penerbangan yang dianggap tidak menguntungkan atau setidaknya mengurangi jumlah frekwensi penerbangannya. Jika hal ini terjadi maka akses penerbangan banyak yang collaps, khususnya Indonesia bagian Timur, di remote area, sehingga Publik akan kesulitan mendapatkan akses penerbangan.
  • Mengundang maskapai asing masuk dalam kompetisi. Logika pemerintah jika banyak maskapai maka harga tiket akan murah karena tidak lagi terjadi  duopoli. Inilah kebijakan rezim kapitalis yang memperlakukan transportasi udara layaknya industri barang-barang komersil yang berharap harga turun karena persaingan pasar. Padahal ada konsekuensi besar di baik kebijakan ini. Pertama, kehadiran maskapai asing di Indonesia bisa jadi hanya melayani rute penerbangan yang populer dan menguntungkan (rute gemuk). maka pasar penerbangan akan dikuasai asing. Maskapai asing akan mengeksploitasi "langit" Nusantara. Kedua, maskapai asing tidak dapat disamakan dengan maskapai dalam negeri. Mereka didukung dengan kurs yang lebih kompetitif dari negara asalnya. Justru kehadiran maskapai asing justru malah dapat semakin menekan industri penerbangan nasional yang saat ini sudah banyak merugi. Ini tidak apple to apple antara maskapai asing dan dalam negeri. Struktur biaya maskapai kita dengan mereka beda.
  • Memberi diskon pajak kepada maskapai. Sebagian pengamat menilai diskon pajak ini akan mempengaruhi harga tiket agar turun. Beban pajak atas jasa sewa dan impor bisa mencapai 22,5 persen dari total biaya operasional maskapai. Langkah ini merupakan upaya otak atik biaya operasional  dan menggunakan kaidah "setidaknya". Walau diskon pajaknya bukan nol persen tapi setidaknya jika ada potongan pajak akan berpengaruh kepada penurunan biaya operasional maskapai. Ruh rezim kapitalis mustahil akan membebaskan pajak sepenuhnya karena mereka juga sebenarnya dilematis jika pajak terlalu besar potongannya atau bahkan dibebaskan bisa mendapatkan pemasukan dari mana lagi sementara utang kian melilit. Jika langkah ini fix diberlakukan, kemungkinan pemerintah akan mencari pos pemasukan lain untuk menutup potongan diskon pajak yang sudah diberikan. Bukan tidak mungkin kalau ujungnya rakyat yang akan diminta pungutan.
  •  Meminta Pertamina menurunkan harga avtur. Padahal menurut Pertamina harga tiket pesawat yang masih mahal tidak berkaitan dengan harga avtur. Alasannya, Pertamina telah menurunkan harga avtur sesuai dengan yang diperintahkan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Harga avtur yang dijualnya termasuk yang paling murah di Cengkareng. Lagipula Pertamina sendiri enggan menurunkannya kembali karena akan berdampak kepada laba perusahaan. Langkah ini menunjukkan betapa pemerintah dan Pertamina menghadapi buah simalakama. Pemerintah tidak bisa menaklukan Pertamina dalam menurunkan harga avtur karena Pertamina walau BUMN tapi hakikatnya bukan perusahaan milik negara yg sifatnya service oriented, namun profit oriented.

Adapun jurus yang dilakukan oleh maskapai adalah  dengan memberikan promo tiket. Hanya saja, euforia harga tiket promo tentunya tidak berlangsung lama. Belum lagi, jumlah kursi yang disediakan saat promo juga terbatas. Protes dari masyarakat akan harga tiket yang mahal tentu muncul kembali. kehadiran harga promo bukanlah solusi dalam menurunkan harga tiket pesawat yang mahal di Indonesia.

Menurut Direktur Indonesia Aviation Center, Arista Atmadjati, promo itu hanya sekadar gimmick (tipuan) dalam strategi marketing maskapai. Sudah segala terbatas. Promo itu juga muncul saat low season, di mana permintaan akan jasa angkutan udara itu tidak besar. Alhasil, efeknya juga tidak signifikan bagi masyarakat ( https://tirto.id/pelbagai-jurus-menurunkan-harga-tiket-pesawat-ecVr.) 

Hakikatnya berbagai jurus yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan maskapai sebenarnya hanya menunjukkan kedangkalan mereka akan akar masalah problem yang dihadapi. Mereka hanya fokus pada ekses penyebab, bukan penyebab masalah itu sendiri sehingga solusi yang dilakukan hanyalah tambal sulam dan reaktif karena tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.

Semakin rezim bersikap anti Islam, memusuhi aturan Islam, maka semua urusan akan semakin runyam, bagai benang kusut yang sulit terurai. Tidak terselesaikan. Dan rezim yang bersikap anti Islam pasti akan mencari narasi-narasi yang membohongi masyarakat karena dia sendiri tidak tahu secara persis bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah yang ada.

Biang Keladi  Meroketnya Tarif "Terbang"

Kisruh transportasi penerbangan yang terjadi akibat struktur kapitalisme hari ini adalah hal yang sangat menzolimi rakyat. Saling lempar tanggungjawab pun terjadi. Masing-masing instansi terkesan saling lempar bola tanggung jawab hingga menjadi lingkaran setan yang tak berujung. Pengabaian amanah ataupun pengkotak-kotakan tanggung jawab berujung pada terlantarnya pengurusan urusan rakyat.

Jokowi menghubungi Menteri Perhubungan (Menhub) untuk atasi harga tiket yang mahal. Menhub tak bisa mengurusi sendiri akhirnya mengadu ke Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian. Menhub mengaku pihaknya sudah cukup berupaya menurunkan harga tiket pesawat melalui aturan tarif batas atas dan bawah tapi harga tiket pesawat tak kunjung turun lalu  melempar persoalan pembentukan harga tiket pesawat ada di tangan Menteri BUMN, Rini Soemarno. 

Menteri Rini mengaku tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi dan menurunkan harga tiket pesawat (terutama Garuda Indonesia) sehingga persoalan dilempar balik kepada Menhub. Lalu Menhub karena merasa sudah melakukan pengaturan tarif batas atas yg bertujuan agar masyarakat tak mendapatkan harga tiket pesawat yang mahal dan tarif batas bawah guna mengatur persaingan korporasi penerbangan, maka apa yang terjadi adalah sebuah mekanisme pasar sehingga jangan dikatakan mahal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun