Biaya tersebut pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Meksipun ada opsi pengiriman melalui laut, waktu perjalanan yang ditempuh akan semakin lama. Selain itu, biayanya bisa lebih tinggi dari logistik udara karena infrastrukturnya masih terbatas.Â
Perusahaan harus menyediakan transportasi lanjutan melalui darat. Di sektor ritel, tingginya biaya pengiriman bisa menekan permintaan masyarakat, terutama pada produk yang dijual melalui market place. Karena mahalnya biaya ongkos kirim konsumen jadi menunda untuk membeli.
Beragam Opini yang Dikemukakan tentang Penyebab Mahalnya Tiket "Terbang"
Beragam pendapat telah banyak dikemukakan tentang penyebab naiknya tarif tiket pesawat baik dari kalangan pemerintah, pihak maskapai, analis ekonomi, asosiasi perusahaan penerbangan dan pihak lain yang terkait dengan pengelolaan moda transportasi udara.
Presiden Joko Widodo menuding tingginya harga avtur disebabkan monopoli oleh Pertamina sebagai faktor utama. "Kalau ini diteruskan ya nanti pengaruhnya ke apa? Ke harga tiket pesawat karena harga avtur itu menyangkut 40 persen dari cost yang ada di tiket pesawat," ucap Jokowi, seperti dilansir laman resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. (https://tirto.id/avtur-jadi-biang-keladi-mahalnya-tiket-pesawat-tepatkah-dgQB). Namun, apakah pernyataan Jokowi akurat?
 Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner, Komaidi Notonegoro, harga avtur Indonesia masih kompetitif sehingga tidak tepat menyalahkan Pertamina atas tingginya harga tiket pesawat Apalagi jika Jokowi mendorong Pertamina untuk menurunkan harga Avtur (tirto.id). Apalagi Pertamina mengalami penurunan laba dari Rp.26,8 triliun menjadi Rp5 triliun pada kuartal III/2018.Â
Sementara itu Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA), I Gusti Ngurah Ari Askhara Danadiputra mengatakan bahwa harga avtur memang tidak berdampak mutlak pada kenaikan harga tiket. Pasalnya biaya sewa operasional lain seperti sewa pesawat, perawatan dan lain-lain memang menjadi lebih tinggi di tengah nilai tukar dolar Amerika Serikat.Â
Setidaknya ada dua hal yang terdampak dari lemahnya posisi rupiah terhadap dolar AS: Avtur yang mengalami kenaikan 125 persen dan biaya leasing pesawat yang menggunakan dolar Amerika. Biaya leasing pesawat memakan porsi sekitar 20 persen dari pengeluaran maskapai.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics Finance (INDEF) ,Didik J. Rachbini , mengaitkan mahalnya tiket pesawat dengan kembali hidupnya praktek kartel yang sebelumnya mati suri. Hal itu seperti terlihat dari mekanisme harga-harga yang disinkronisasi secara duopoli oleh pelaku usaha.Â
Sementara itu, Ekonom Senior INDEF lainnya Nawir Messi berpendapat, mahalnya tarif tiket pesawat disebabkan oleh masih terjadinya penyesuaian-penyesuaian harga yang menyebabkan hilangnya kompetisi di pasar maskapai domestik. Hal ini dapat dilihat pada kecenderungan pola perubahan harga penerbangan. Yakni, ketika satu maskapai menaikkan harga, maskapai lain mengikuti. Sebaliknya, jika satu maskapai menurunkan, yang lainnya akan ikut turun.
Sehingga, harga tidak pernah stabil. Inilah yang kemudian berupaya disimpulkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU menyebut masih mengumpulkan bukti terkait dugaan persaingan usaha yang tak sehat dalam penentuan harga tiket pesawat. Sebab, industri pesawat saat ini bersifat duopoli atau penguasaan pasar oleh dua perusahaan. Seperti diketahui bahwa bisnis penerbangan dalam negeri dikuasi oleh dua grup perusahaan yakni Garuda Indonesia Grup dan Lion Air Grup.
Garuda Indonesia membawahi Citilink Indonesia dan Sriwijaya Air sedangkan Lion Air Group memiliki beberapa anak usaha seperti Batik Air, Wings Air, Thai Lion Air, dan Malindo Air. Timbul dugaan bahwa dua perusahaan penerbangan ini memiliki kesepakatan mengenai harga yang beredar.