Mohon tunggu...
Abdisita Sandhyasosi
Abdisita Sandhyasosi Mohon Tunggu... Psikolog - Penulis buku solo "5 Kunci Sukses Hidup" dan sekitar 25 buku antologi

Alumni psikologi Unair Surabaya. Ibu lima anak. Tinggal di Bondowoso. Pernah menjadi guru di Pesantren Al Ishlah, konsultan psikologi dan terapis bekam di Bondowoso. Hobi membaca dan menulis dengan konten motivasi Islam, kesehatan dan tanaman serta psikologi terutama psikologi pendidikan dan perkembangan. Juga hobi berkebun seperti alpukat, pisang, jambu kristal, kacang tanah, jagung manis dan aneka jenis buah dan sayur yang lain. Motto: Rumahku Mihrabku Kantorku. Quote: "Sesungguhnya hidup di dunia ini adalah kesibukan untuk memantaskan diri menjadi hamba yang dicintai-Nya".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warung Emak Endul

27 Februari 2024   09:51 Diperbarui: 27 Februari 2024   10:18 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Jamil. Aku tinggal bersama keluargaku di sebuah rumah type 36 di kompleks perumahan Pancoran Bondowoso. Menurut buku yang aku baca, kotaku Bondowoso termasuk dataran tinggi. Sehingga ketika musim hujan tidak mungkin mengalami banjir. Tetapi, kenyataannya musibah banjir masih sering terjadi di sini.

Suatu siang ketika Ibu dan Kak Hamidah mengobrol di teras rumah, aku bertanya kepada Ibu, "Ibu, kenapa di sini masih terjadi banjir? Bukankah di sini dataran tinggi?"

Ibu mengangkat bahu, "Mana Ibu tahu, Jamil."

"Sudah takdir-Nya barangkali." Kak Hamidah menyahut.

"Memang sudah takdir-Nya. Tetapi, hal itu tidak lepas dari perbuatan manusia." Aku berargumen..

"Benar, Jamil. Boleh jadi musibah itu terjadi karena ulah manusia." Ibu mendukung argumenku.

Aku mencibir ke arah Kak Hamidah.

"Kalau memang karena ulah manusia, kamu mau apa?" Tantang Kak Hamidah.

"Jamil, coba selidiki apa yang menjadi penyebabnya. Apakah karena masih banyak warga desa yang kurang peduli pada lingkungannya atau apa." Ibu memberiku saran.

"Mungkin banyak warga yang membuang sampah sembarangan terutama di sungai.  Sehingga sungai meluap." Aku menyampaikan argumenku. 

"Selidiki dulu faktanya di lapangan. Baru kau mengambil kesimpulan." Ibu berkata dengan ekspresi serius.

ucapan Ibu itu membuat aku semakin penasaran. Aku betul-betul ingin menyelidiki apa yang menyebabkan daerahku yang ada di lereng gunung tertimpa musibah banjir.

"Baik, Ibu. Aku akan meninjau ke lokasi sekarang." Aku berkata sambil mengambil sepedaku gunungku yang ada di teras.

"Jurnalis nih ye," seru Kak Hamidah.

Aku memonyongkan mulutku ke arah Kak Hamidah. Ibu hanya tersenyum melihatku. Lalu aku pamit kepada Ibu.

"Bu, aku berangkat." Aku berkata sambil menuntun sepeda gunungku ke luar dari teras.

"Hati-hati Jamil." Ibu berpesan kepadaku sambil berjalan ke arahku.

"Iya , Bu. Insya Allah!" Aku menyahut. Kemudian aku mencium tangan Ibu.

Ibu mencium pipiku. Kanan dan kiri.

"Fii amanillah! Semoga selalu dalam lindungan-Nya." Ibu mengucapkan doa.

"Aamiin Yaa Robb." Setelah mengamini doa Ibu, aku mengucapkan salam. "Assalamu 'alaikum!"

"Wa 'alaikum salam." ibu an Kak Hamidah menyahut serempak.

Aku menaiki sepeda gunungku. Kemudian aku mengayuh sepeda ke arah barat menuju sebuah desa yang lokasinya di atas dan sering  mengalami musibah banjir.

Jalan yang kulewati semakin menanjak. Aku menyusuri jalan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku melihat kondisi selokan dan anak sungai yang ada di sepanjang jalan desa. Selidik punya selidik ternyata aku masih banyak warga desa yang kurang peduli lingkungan. Mereka masih suka membuang sampah sembarangan. Sehinhha sampah plastik seperti bungkus deterjen, mie instan dan makanan ringan bertebaran di mana-mana. Di halaman rumah, sungai dan selokan. Bahkan ada selokan yang penuh dengan sampah. 

Aku juga melihat beberapa selokan  di depan rumah warga tertutup oleh tanah. Mungkin warganya tidak pernah mengeruk selokannya.  Sehingga lama-lama selokannya tertutup sampah yang bercampur tanah.

Aku berhenti di tepi sungai di dekat warung Emak endul. Aku melihat tiga anak perempuan berdiri di depan Warung Emak Endul.  Mungkin usia mereka sebaya denganku. Mereka sedang asyik mengobrol.  Setiap Anak memegang satu bungkus makanan ringan sambil mengunyaj makanan mereka masing-masing. 

Anak berbaju motif batik madura memegang satu bungkus kacang atom. Anak berkaos ungu memegang satu bungkul sempol. Anak berbaju motif kotak-kotak warna biru memegang wafer nabati. 

Tak lama kemudian salah satu dari mereka membuang bungkus kacang atom ke sungai di depan warung Emak Endul. Melihat itu aku pun menegurnya. "Hei, jangan membuang sampah di sungai!"

Serta merta anak perempuan itu menoleh ke arahku dan berkata dengan ketus, "Memangnya sungai ini milik kakekmu?"

Anak berkaos ungu menimpali sambil membuang bungkus sempol, "Jangan sok tahu. Di sini daerah gunung. Tidak mungkin terjadi banjir." 

"Enak saja melarang-larang orang buang sampah. Memangnya kamu petugas kebersihan?" Anak berbaju kotak-kotak warna biru menimpali sambil membuang bungkus nabati.

Seorang perempuan paro baya--pemilik Warung Emak Endul--ke luar dari warung dan berkata lantang sambil memandangku sinis, "Orang-orang di sini sudah biasa membuang sampah di sungai. Memangnya kamu mau menampung  sampah-sampah di sini?"

Aku hanya tersenyum kecut menanggapinya.

Hujan mendadak turun. Aku segera menaiki sepeda gunungku dan bergegas meninggalkan tempat itu. Setelah bersepeda sejauh kira-kira 100 meter, hujan semakin lebat. Aku berhenti di depan Masjid Al-Yakin dan cepat-cepat turun dari sepeda. LAlu aku berteduh di teras Masjid AL-Yakin.

Adzan Zuhur berkumandang. Aku segera mengambil wudhu dan menunaikan salat Zuhur berjama'ah di Masjid Al-Yakin. 

Beberapa menit berlalu. Aku sudah selesai salat Asar dan membaca dzikir petang. Hujan belum reda. Sungai di depan masjid meluap. Tetapi, airnya tidak sampai memasuki masjid karena lantai masjid lebih tinggi dari halaman masjid. Tiba-tiba dari arah barat banjir bandang datang.  Ia menerjang jalan di depan masjid. Menerjang Warung Emak Endul. Pemilik Warung Emak pun menjerit histeris karena warungnya hanyut kena terjang banjir. Innalillahi wa inna ilaihi ro'jiun. Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.

Cerita 02

Bws, 260224

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun