Mohon tunggu...
Abdisita Sandhyasosi
Abdisita Sandhyasosi Mohon Tunggu... Psikolog - Penulis buku solo "5 Kunci Sukses Hidup" dan sekitar 25 buku antologi

Alumni psikologi Unair Surabaya. Ibu lima anak. Tinggal di Bondowoso. Pernah menjadi guru di Pesantren Al Ishlah, konsultan psikologi dan terapis bekam di Bondowoso. Hobi membaca dan menulis dengan konten motivasi Islam, kesehatan dan tanaman serta psikologi terutama psikologi pendidikan dan perkembangan. Juga hobi berkebun seperti alpukat, pisang, jambu kristal, kacang tanah, jagung manis dan aneka jenis buah dan sayur yang lain. Motto: Rumahku Mihrabku Kantorku. Quote: "Sesungguhnya hidup di dunia ini adalah kesibukan untuk memantaskan diri menjadi hamba yang dicintai-Nya".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Warung Emak Endul

27 Februari 2024   09:51 Diperbarui: 27 Februari 2024   10:18 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menaiki sepeda gunungku. Kemudian aku mengayuh sepeda ke arah barat menuju sebuah desa yang lokasinya di atas dan sering  mengalami musibah banjir.

Jalan yang kulewati semakin menanjak. Aku menyusuri jalan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku melihat kondisi selokan dan anak sungai yang ada di sepanjang jalan desa. Selidik punya selidik ternyata aku masih banyak warga desa yang kurang peduli lingkungan. Mereka masih suka membuang sampah sembarangan. Sehinhha sampah plastik seperti bungkus deterjen, mie instan dan makanan ringan bertebaran di mana-mana. Di halaman rumah, sungai dan selokan. Bahkan ada selokan yang penuh dengan sampah. 

Aku juga melihat beberapa selokan  di depan rumah warga tertutup oleh tanah. Mungkin warganya tidak pernah mengeruk selokannya.  Sehingga lama-lama selokannya tertutup sampah yang bercampur tanah.

Aku berhenti di tepi sungai di dekat warung Emak endul. Aku melihat tiga anak perempuan berdiri di depan Warung Emak Endul.  Mungkin usia mereka sebaya denganku. Mereka sedang asyik mengobrol.  Setiap Anak memegang satu bungkus makanan ringan sambil mengunyaj makanan mereka masing-masing. 

Anak berbaju motif batik madura memegang satu bungkus kacang atom. Anak berkaos ungu memegang satu bungkul sempol. Anak berbaju motif kotak-kotak warna biru memegang wafer nabati. 

Tak lama kemudian salah satu dari mereka membuang bungkus kacang atom ke sungai di depan warung Emak Endul. Melihat itu aku pun menegurnya. "Hei, jangan membuang sampah di sungai!"

Serta merta anak perempuan itu menoleh ke arahku dan berkata dengan ketus, "Memangnya sungai ini milik kakekmu?"

Anak berkaos ungu menimpali sambil membuang bungkus sempol, "Jangan sok tahu. Di sini daerah gunung. Tidak mungkin terjadi banjir." 

"Enak saja melarang-larang orang buang sampah. Memangnya kamu petugas kebersihan?" Anak berbaju kotak-kotak warna biru menimpali sambil membuang bungkus nabati.

Seorang perempuan paro baya--pemilik Warung Emak Endul--ke luar dari warung dan berkata lantang sambil memandangku sinis, "Orang-orang di sini sudah biasa membuang sampah di sungai. Memangnya kamu mau menampung  sampah-sampah di sini?"

Aku hanya tersenyum kecut menanggapinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun