Seorang ibu adalah sosok terhebat, terpintar dan ter-segalanya bagi putrinya. Namun penilaian itu akan sedikit bergeser ketika anak menginjak dewasa. Ketika realitas kehidupan berbicara lain pada zamannya.
Kata-kata ibuku adalah titah, perintah, yang tidak boleh dibantah, kalau tidak ingin membuat ibu marah. Karena ketika ibu marah, maka sebuah cubitan di lengan akan meninggalkan bekas memerah.
Aku sangat takut dan tidak ingin merasakan sakit itu, tetapi bukan berarti semua kata-kata ibu ku patuhi.Dalam diam ku, hanya menunggu waktu menuju usia dewasa agar bisa melakukan apa yang ku mau, yang ku suka.
"Nanti kalau sudah dewasa, kamu boleh memilih jalan hidupmu sendiri!" itu kata ibuku, yang ku artikan sebagai janji, yang harus ditepati.
Lalu, sejak menanjak remaja, aku mulai merasakan pertentangan nila -nilai yang ibu tanamkan berbeda dengan yang ku alami di dunia nyata.
Segalanya telah berubah, ibu bukan lagi segalanya bagiku. Bukan tokoh yang serba tahu dan paling pintar seperti anggapanku di masa kanak-kanak.
Mungkin memang ibu adalah perempuan paling pintar di desa kami, di zaman itu. Ia satu-satunya perempuan yang sekolah pendidikan guru di kota provinsi. Lalu secara otomatis mendapatkan ikatan dinas, menjadi pegawai negeri sipil. Menjadi kebanggaan keluarga besar dan dihormati oleh masyarakat sekitar.
Namun di kampus, aku menemukan ibu-ibu lain yang lebih genius, mereka orang -orang yang membuatku sadar, menjadi pegawai negeri di desa bukanlah hal yang istimewa. Perempuan juga bisa menjadi apa saja. Banyak pilihan sesuai minat kita.
Meskipun begitu, toh ibu masih menuntut ku untuk mematuhi perintah nya.Untuk kembali ke desa ketika aku sudah sarjana.
Tidak!
Aku membantah perintah ibu untuk pertama kalinya. Dan menagih janji ibu bahwa aku boleh memilih jalan hidupku sendiri, usiaku sudah cukup dewasa.
Akhirnya ibu tak memiliki kata lagi untuk menahan keinginan ku. Beliau hanya berpesan satu hal," Di mana pun kau berada, apapun yang kau lakukan, jangan pernah tinggalkan salat dan membaca kitab," ucapnya lirih diantara titik -titik bening yang membasahi pipinya, ketika melepas kepergianku.
Dan mulailah aku berkelana dari satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau yang lain menjelajahi wilayah negeri ini. Menuntaskan rasa ingin tahuku.
Bagaimana caraku?
Dalam rencanaku, aku akan bekerja dulu di kota tempatku meraih gelar sarjana. Sedikit demi sedikit aku menabung. Hidup berhemat namun tetap sehat, menghindari makanan instan dan siap saji yang mungkin mengandung zat-zat yang merusak kesehatan. Yang pasti, kesehatan adalah hal yang utama bagiku.
Satu tahun, dua tahun, maksimal tiga tahun, aku akan berhenti bekerja dan menuju ke kota lain, untuk merasakan bagaimana hidup di kota itu, bagaimana kehidupan masyarakat di situ, dst dst.
Prinsipku sederhana saja, kujalankan pesan ibu untuk tidak meninggalkan salat dan membaca kitab. Pondasi ini sudah ibu tanamkan dalam, di lubuk hatiku.
Aku yakin dan percaya, Tuhan selalu bersama ku, jika aku menjaga imanku.
Terbukti di setiap masalah dan musibah, Tuhan senantiasa memberi petunjuk dan menuntun setiap langkahku dengan cara yang terkadang tak terduga.Â
Menjelang lebaran adalah masa yang penuh dilemma bagiku, ketika alu berada di kota, di pulau yang jauh, biaya perjalanan sudah pasti akan menggerus saldo rekening ku, padahal ada satu tempat yang ku incar untuk tujuanku di tahun berikutnya.
 Ah, ditunda dulu mudik, pikirku. Paling juga dua atau tiga hari saja hebohnya lebaran, setelah itu sudah biasa lagi.
Apakah tidak rindu ibu dan kampung halaman?
Tentu saja aku rindu, tetapi aku sudah merasakannya sejak bayi kan? Sudah hampir 20 tahun. Aku akan pulang kalau sudah ingin pulang.Â
Masa mudaku ingin ku puaskan dengan belajar hal baru, di tempat yang baru, dengan perspektif ku sendiri, dengan tetap menjaga adab, etika dan norma agama. Itu prinsip yang tetap ku pegang.
Bertahun-tahun kemudian, ibuku mulai tua, tertulis di SK pensiun yang dikirimkan ke alamat kota tempat terakhir aku berada. Aku pun bukan gadis muda lagi, aku berniat jeda sejenak.
Aku pulang, setelah terakhir pulang empat tahun yang lalu. Tapi belum memutuskan untuk tinggal, apalagi menetap, tunggu dulu. Aku sedang belajar sesuatu yang kelak ku jadikan modal pensiun.
Dan ketika aku sampai di rumah, ibuku masih segar dan sehat, hanya rambut putihnya yang menandakan beliau sudah tua.Â
Satu minggu di rumah ibu, waktu yang cukup kukira, hal yang Ibu ingin ketahui sudah ku ceritakan semua, pesan ibu juga ku laksanakan, tidak meninggalkan salat dan membaca kitab.
Hanya satu pertanyaan ibu yang tidak bisa kujawab,"apakah kamu tidak ingin menikah dan membangun sebuah keluarga yang bahagia bersama orang yang kamu cintai dan mencintai mu,?"
Aku tidak punya jawaban, tepatnya aku tidak ingin memberi jawaban.
Sebabnya, jika aku menjawab, maka yang akan keluar dari mulutku adalah," aku tidak ingin menikah, aku takut akan bercerai seperti ibu, cukuplah aku saja yang merasakan sendiri derita batin, seorang anak yang tidak mendapatkan kasih sayang seorang ayah, jangan lagi ada anak yang lain, di keluarga besar kami terutama!"
Kemudian Tuhan berkehendak lain, lain dari rencanaku semula, yang sudah kususun dengan cermat setiap tahap demi tahap. Saat itu belum genap satu tahun aku mengadu nasib di ibukota.
"Ini permintaan terakhir ibu, atau kamu boleh mengartikan, ini perintah terakhir ibu kepada mu, pulang lah!"pesannya yang tertulis di WA.
Aduh! bagaimana ini? Apa pula maksud ibu?
Hari itu tanggal 29 desember, beberapa hari lagi perayaan  tahun baru. Dengan sedikit rasa bingung aku berburu tiket KA. Sudah habis, bahkan untuk seminggu ke depan. Tiket pesawat, pun sama, yang klas ekonomi, tapi aku tidak berhenti berusaha, hingga akhirnya berhasil mendapat tiket pulang.
Aku video call dengan ibu, ku perlihatkan tanggal di tiket itu, ibuku senang sekali, mengucap 'alhamdulillah' diantara tetesan airmata yang diusap dengan lengan bajunya. Mellow amat sih ibu, batin ku.
Malam tahun baru, bersama teman -temanku, kami hanya berenam alias tiga pasangan saja, cuma jalan-jalan dan makan-makan, lalu pulang ke kosan menanti detik-detik pergantian tahun, menonton televisi.
Pagi hari, aku bangun tidur dan beberes rumah kontrakan seperti biasa, ada novel baru yang belum tuntas kubaca.
Ditengah keasyikan membaca, hp ku bergetar, ku lihat layar hp, dari nomor tak dikenal.Ku abaikan saja. Bergetar lagi, masih nomor yang sama, ku abaikan lagi.Â
Tak lama kemudian, nomor telepon ibu yang masuk. Tumben, ibu biasanya kirim chatt dulu sebelum telpon, apakah aku bisa terima telponnya atau kalau aku sudah sempat, ibu menyuruh aku yang telpon. Begitu selalu cara ibu.
Mungkin ada yang mendesak, pikirku.
Lalu kuangkat, halloo..suara dari seberang sana --bukan suara ibuku, itu adik laki-laki ibu atau Pak Lik ku yang bicara.
"Pulanglah! ibumu---ibumu---kata-kata Pak Lek, hilang timbul, suaranya parau seakan menahan rasa kalutnya--ibumu sudah meninggal--" klik, dimatikan telponnya.
Innalilahi wa Inna ilaihi rojiuuun.
Aku seakan tidak percaya, waktu video call beberapa hari yang lalu, ibu sehat dan tampak bugar seperti biasanya.
Tetapi sebagai orang yang beriman, aku menyadari dan meyakini akan sebuah takdir, hidup dan mati manusia sudah terjadwal, tak ada kata tunda.
Bersyukur kemudian, ternyata Tuhan memberi jalan kemudahan ibuku saat sakaratul maut menjemput. Ibu tampak seperti orang yang sedang tidur dan bermimpi indah, ada sungging senyum lembut di wajahnya. Aku masih sempat menciumnya sebelum ditutup kain kafan.
Kini, berbilang tahun berlalu, bulan desember, menjelang tahun baru datang, selalu mengingatkan aku akan arti semua hal yang aku dan ibu lalui sepanjang waktu kebersamaan kami.
Sungguh, ibuku, perempuan yang tegar, tegas, sabar dan tabah menjalani setiap ujian hidup. Beliau mendidik ku untuk hidup mandiri dengan caranya.
Hanya kepada Tuhan beliau bersandar sebagaimana yang diajarkan kepada ku, putri satu-satunya.
Pada akhirnya aku dapat memahami kenapa ibu berpisah dengan ayah, dan aku menghormati keputusan beliau.
Aku tahu, ibuku mungkin kecewa dalam hatinya, bahwa aku mengikuti jejaknya, memilih hidup sendiri, meskipun tak terkatakan.Â
Tetapi bukankah kami sudah sepakat? Aku boleh memilih jalan hidupku sendiri.Dan aku baik-baik saja. Bukankah setiap orang memiliki standar hidup yang berbeda dengan orang kebanyakan.Â
Pemahamanku, hidup di dunia hanya sementara, bekal hidup abadi selanjutnya yang juga penting untuk dipersiapkan semaksimal kemampuan.
Karena ajal bisa datang kapan saja, kita siap maupun tidak, seperti ibuku yang sedang tidur namun tidak bangun lagi.
Semua amalan akan terputus kecuali seorang anak mengirim doa untuk almarhum orangtuanya.
Dan itulah yang selalu kulakukan untuk ibuku. Sebagai anak yang berbakti.
Semoga dosa-dosa beliau diampuni oleh Allah SWT. Amiin.
Akhir kata.
Cerpen ini saya tulis dalam rangka kita merayakan Hari Ibu.Â
Siapapun ibu kita, beliau telah bertarung nyawa ketika melahirkan putra-putrinya. Wanita mulia dan dimuliakan oleh Tuhan, dengan menempatkan surga ada di telapak kakinya, bagi seorang anak.
Sobat kompasianer, berbahagia lah anda yang masih memiliki ibu, dan bahagiakan lah ibu anda, selagi masih di depan mata.
Wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H