Mohon tunggu...
Uly Nihayatul Khusna
Uly Nihayatul Khusna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Mahasiswa Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku ingin Mengenang Sapardi Djoko Damono dalam Sajak Kumpulan Puisi "Hujan Bulan Juni"

1 Januari 2024   15:10 Diperbarui: 1 Januari 2024   16:14 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di sini, tak ada hujan pagi ini, Pak Sapardi. Barangkali karena Juli tak setabah Juni.

Sapardi Djoko Damono telah meninggalkan kita tetapi bait sajaknya masih menggeluti relung hati kita. Sapardi djoko damono lahir di Solo tepatnya 20 Maret 1940. Sebagai seorang penyair legendaris di Indonesia angkatan 1970 an, karyanya sederhana namun penuh makna yang diminati khalayak. Sapardi Djoko Damono kerap dipanggil dengan inisialnya, yaitu SDD. SDD dikenal melalui puisi-puisinya mengenai hal-hal sederhana, tetapi penuh dengan makna kehidupan. 

Kaum milenial bahkan generasi muda sekarang masih akan gemar mengutip karya puisinya, salah satunya “Aku Ingin”-- sejak meluncurkan puisi inilah nama Sapardi Djoko Damono menasional. Kekuatan Sapardi adalah membuat kesederhanaan dalam diksinya yang terletak pada kekuatan kata dalam hubungan dan kedudukannya di barisan kata lain. 

Hujan Bulan Juni

Sapardi djoko damono meluncurkan karyanya Hujan Bulan Juni sebagai salah satu novel trilogi yang banyak diminati dan diburu generasi milenial bahkan generasi muda. Hujan Bulan juni pernah diadaptasi ke layar lebar yang diperankan oleh Adipati Dolken dan Velove Vexia.  Sebelum menjadi sebuah novel, Hujan Bulan juni terlebih dahulu terbit sebagai salah satu kumpulan puisi. Novel Hujan Bulan Juni diterbitkan pada tahun 2015 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama dan telah dicetak ulang beberapa kali.

Sapardi Djoko Damono pertama kali menulis puisi Hujan Bulan Juni pada 1964. Buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni sukses diterjemahkan ke dalam empat bahasa yakni Inggris, Jepang, Arab, Mandarin, dan Rusia. Buku puisi Hujan Bulan Juni yang terbit pada 1994 memuat sebanyak 102 puisi di dalamnya. Hujan Bulan Juni, merupakan nama. Tiga kata tersebut adalah nama tokoh utama yang diceritakan oleh Sapardi.

Ketika menginterpretasi puisi Sapardi Djoko Damono dalam puisi Hujan Bulan Juni terdapat banyak kalimat yang banyak menunjukan kepasrahan, menunjukkan sesuatu yang sudah pada hukumnya seperti “Tenaga takdir” dan “Habitat yang purba”. Kata kunci dalam puisi ini sederhana, makna sederhana menjadi lebih mendasar lagi yaitu berjalan sesuai dengan kodratnya selayaknya kayu yang bila dibakar menjadi abu dan awan yang hilang menjadi sebuah hujan.

  1. Puisi “Aku Ingin” Karya Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu

Dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat

Diucapkan kayu kepada api

Yang menjadikannya abu..


Aku ingin mencintaimu

Dengan sederhana

Dengan isyarat yang tak sempat

Disampaikan awan kepada hujan

Yang menjadikannya tiada

Puisi yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono pada tahun 1989 menyatakan tentang cinta yang sederhana termuat dalam bukunya Hujan Bulan Juni. Ketika membaca puisi ini dan menelusurinya lebih dalam, Sapardi ingin mengungkapkan perasaan cinta yang tulus kepada pujaan hatinya bukan hanya dengan bualan. Dalam puisi “Aku ingin” menunjukkan ungkapan dan imaji yang begitu kuat, bait dalam puisinya memang sederhana tetapi menantang banyak pemaknaan. Sederhana, menunjukkan bahwa tokoh aku tidak memaksakan bahwa pujaan hatinya membalas cintanya. 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

Kata apa yang mungkin diucapkan kayu? Sudahkan ia mengucapkannya? Apakah api terlalu cepat membakar dirinya? Atau mungkin kayu sekadar merasa bahwa kata-kata tak cukup penting untuk diucapkan, kalah penting dengan kobaran yang membakarnya habis – dan ia nikmati, meski atau justru karena ia terbakar?

Dalam bait pertama terdapat 3 unsur yaitu kayu, api dan abu. Kata “kayu kepada api yang menjadikannya abu” memiliki hubungan kausalitas dan korehan yang pas. Api menjadikan kayu dan hujan menjadikan tiada serta isyarat dan kata adalah cara. Menurut saya, ini memiliki makna bahwa mencintai tidak perlu diucapkan hanya perlu dirasakan bahwa itu ada. Bukankah api memberikan kehangatan dan hujan menumbuhkan alam?

Soal konsep dan estetika, melihat ini seperti menggali kedalaman rasa melalui puisi “Aku ingin” yang mengekspresikan rasa cinta dan ekspresi cinta. Sapardi mengungkapkan rasa cintanya tak terkatakan lewat kata-kata. Memaknai puisi ini mungkin maksud dari Sapardi Djoko Damono, kayu hanya terdiam ketika api membakar dirinya hingga membuatnya hangus terbakar. Juga awan, saat hujan turun kemudian sedikit demi sedikit mengikisnya menjadi habis.

Kata cinta apa yang tak sempat diucapkan kayu dan awan?

Menelusuri puisi dari Sapardi Djoko Damono ini, apakah mungkin yang diatas adalah maksud beliau? kesederhanaannya indah sekali dan sederhana sekali keindahan itu. Namun, saya juga menemukan makna lain dalam puisi ini. 

Hal yang disadari adalah saat melihat kayu terbakar api. Ketika kayunya habis, api juga ikut hilang. 

“kayu kepada api yang menjadikannya abu..” karena kayu menjadi abu maka apinya hilang dan juga menjadi abu. Seperti dua yang menyatu. Sangat sederhana, bukan lagi “aku” dan “kamu” tetapi “kita”

Melihat awan dan hujan. Bukankah jika tidak terkikis dan menghilangnya awan, hujan tidak akan datang? Nah, bisa saja maknanya berarti “aku menjadi kamu”. Sederhana seperti the cycle of life.  Kata tiada seperti kenihilan dari eksistensi dua insan yang menyebut dirinya “aku” dan “kamu”  tidak bisa bersatu yang menjadikan ketiadaan kita.

Hal menarik ketika menginterpretasi ini, terdapat dalam kata aku ingin dalam kalimat “aku ingin mencintaimu dengan sederhana” . Keinginan tokoh aku yang ingin mencintai pujaan hatinya dengan sederhana. Apa artinya? Tokoh aku tidak bisa mencintai dengan sederhana. Rasa cintanya terlambat untuk disampaikan atau bahkan sudah tersampaikan tapi tidak terbalaskan? Seperti ikhlas walau tak terbalas?

Melihat ini terdapat banyak istilah unik muncul dalam berbagai fenomena percintaan, teringat guru saya sewaktu masih duduk di bangku SMA, kalimat singkat dan penuh humor yang menggambarkan cinta buta, yaitu “kalau cinta sudah melekat, tai kucing terasa coklat”.

Pemaknaan pada puisi “Aku Ingin” yang ditulis Sapardi Djoko Damono mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan harus penuh kerelaan dan keikhlasan. “Api” yang membakar “Kayu” hingga menjadi “Abu” sebagai wujud keikhlasan dan rela berkorban. Sebagai bagian penting yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika menginterpretasi puisi ini. Kata-kata dalam setiap larik puisi Sapardi mampu menyederhanakan persoalan untuk menikmati karya sastra, karena ia banyak bicara tentang persoalan yang dialami tiap orang yaitu membicarakan cinta. Bukan seperti puisi cinta murahan yang lahir dari benak vulgar, ia lahir dari kedalaman ekspresi tentang cinta yang hadir dengan bahasa sederhana namun memikat, tidak terlalu gelap untuk dipahami juga tidak terlalu transparan untuk kehilangan nilai estetikanya. 

Pembahasan puisi “Aku ingin” karya Sapardi Djoko Damono:

1. Bentuk. Bentuk puisi “Aku Ingin” karya Sapardi menggunakan konvensi Puisi Baru, yaitu terzina, menggunakan 3 larik dalam 1 bait. bentuk terzina yang digunakan dalam menunjukkan puisi “Aku Ingin” menunjukkan puisi yang teratur. Pola-pola  persajakan yang diwakili oleh terzina dan rima akhir yang teratur menjadi sesuatu pola yang penting.  Terzina pada puisi yang digunakan terlihat menunjukkan sesuatu keteraturan rima, suku kata, maupun bentuk larik serta baitnya. Keteraturan inilah menunjukkan makna yang diisyaratkan puisi “Aku ingin” yaitu tentang cinta yang tulus, teratur, sederhana, dan apa adanya.

2. Suara. Bunyi-bunyi yang terdapat pada puisi “Aku ingin” karya Sapardi merupakan bunyi-bunyi biasa. Sajak beraturan ini ditunjukkan dengan penggunaan bentuk terzina (3 akord). Baris 1 bait 1 sama dengan baris 2 bait. 

3. Diksi. Diksi Utama puisi ini merupakan cinta, api, abu, hujan, awan, sederhana dan ketiadaan. Pemilihan kata tersebut kemudian membawa kita pada pemahaman  makna puisi yang berkaitan dengan makna sederhana cinta.  

4. Citraan. Citraan atau imaji  yang dominan dalam puisi “Aku ingin” karya Sapardi adalah gambaran emosional. Citra emosional mengacu pada aspek perasaan  yang tidak masuk ke dalam logika dan penalaran. Gambaran emosional mendominasi yaitu pada baris 1 bait 1 dan 2 yaitu baris /Aku hanya ingin mencintaimu/.  

5. Majas. Paralelisme mendominasi majas dalam puisi ini untuk menciptakan makna. Paralelisme adalah majas pengulangan yang dimaksudkan adanya penegasan

6. Tema puisi "Aku ingin" karya Sapardi adalah cinta dan dicintai. Deskripsi cinta ini mengacu pada kata "mencintai" yang ditemukan dalam baris-baris berulang di bagian utama puisi. Konsep cinta dan dicintai yang tertuang dalam puisi “Aku Ingin” menjadi dasar dalam mempelajari konsep tersebut untuk  kehidupan yang lebih baik. Tema cinta dan dicintai yang diungkapkan dalam puisi “Aku ingin” adalah tema cinta murni, cinta sederhana dan cinta apa adanya.  

7. Pemaknaan puisi. Arti puisi tersebut mengacu pada cinta abadi, yaitu cinta tanpa pamrih, cinta yang tidak mengharapkan imbalan apapun. Cinta ini murni dan tidak ada kecenderungan, cinta juga mewakili seni hidup dalam puisi ini  yaitu  seni hidup.  

Bait 1 menunjukkan bahwa tema dan konsep cinta sederhana adalah konsep cinta  tanpa kata-kata Cinta sejati tidak membutuhkan kata-kata  Pengorbanan diperlukan, seperti “kayu” yang membiarkan dirinya terbakar  menjadi "abu" dengan cara dibakar dalam api. Kayu bakar yang diolah mempunyai tujuan yang mulia,  yaitu untuk menciptakan panas atau kondisi yang tidak gelap.   

Bait 2 menekankan bahwa cinta yang sejati dan sederhana adalah cinta yang tidak perlu atau tidak   awan pasti mendatangkan hujan. Keduanya melebur menjadi satu bagian yang tidak ada  tidak dapat dipisahkan Inilah arti konsep cinta dalam puisi “Aku ingin”.  Sapardi Konsep cinta hendaknya diwujudkan dengan cinta tanpa pamrih dan apa adanya.  Konsep cinta dan dicintai merupakan dasar untuk memahami kehidupan   penuh  cobaan dan pembelajaran.

  1. Puisi “Yang Fana adalah Waktu” Karya Sapardi Djoko Damono

Yang fana adalah waktu. Kita Abadi:

Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa.

“Tapi,

yang fana adalah waktu, bukan?”

tanyamu. Kita abadi.

Waktu menggambarkan dunia, dunia hanya sesaat. Diri menggambarkan keyakinan. Sampai kapanpun keyakinan terus akan abadi.

Melihat puisi “Yang Fana adalah waktu” menggambarkan hubungan kompleks antara waktu dan eksistensi manusia dengan menggunakan bahasa yang sederhana namun kuat, puisi ini merangsang pemikiran juga perenungan tentang konsep waktu dan abadinya manusia. Ketika membaca puisi ini, fokus saya langsung teralihkan pada kata “kita”. Sebenarnya “kita” ini apa? Apakah manusia? Atau mungkin benda? Atau objek apa? Spekulasi tentang “kita” bagi saya adalah sebuah ide yang membuat seseorang terus hidup dan bermakna. Saat pemiliknya sudah tiada, ide yang lahir akan tetap berkelana, sedangkan waktu sifatnya fana. Waktu bisa berakhir entah kapan gilirannya.

Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

Bukankah semacam sesuatu yang dipertegas jika tiap detik yang dimiliki harus bisa dimanfaatkan dengan baik sehingga tercipta sesuatu yang bermanfaat. Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa.

Membaca bait puisi ketiga dan keempat ini membuat berpikir keras makna dari puisi ini sebenarnya. Ide yang sempat dibahas tadi sampai lupa, dahulu ide dibuat pemiliknya untuk apa dan mengapa dilahirkan? Lihat! Ada yang saat memasak sop ayam, bermimpi memiliki ternak ayam di rumahnya. Nah, sama halnya dengan ide, tidak dapat direncanakan kapan ia lahir, bukan?

“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. 

Kita abadi.

Melihat ini seperti dipertegas bahwa waktu itu sifatnya sementara dan tidak akan lama. Kata “Fana” artinya “Hilang”, “Rusak” yang mengingatkan bahwa waktu sifatnya tidak lama. Dia akan mati. Dalam puisi ini menyajikan pertanyaan eksistensial yang dalam, seperti tujuan hidup dalam hidup manusia dan bagaimana manusia memberi makna pada waktu yang terus berlalu. Pernyataan "kita lupa untuk apa" menunjukkan ketidak jelasan mengenai tujuan dan makna hidup di tengah arus waktu yang terus bergerak.

Saya, Anda, Kalian, dan Mereka adalah "kita yang abadi". Bukankah manusia hidup dalam dunia yang fana dan manusia adalah makhluk yang fana? Sapardi Djoko Damono sendiri bukanlah Tuhan ketika ia menyebut "kita abadi". Keabadian yang kita miliki adalah kekekalan manusia sebagai manusia dalam bahasa pikiran manusia.

Berbahagialah, kita berada dalam keabadian manusia. Menerima anda bila aku menyebut "kita dalam keabadian binatang" atau "kita dalam keabadian setan"?

Ketika membaca puisi ini, diluar cara penulisannya dan diksi yang berada di dalam puisi tersebut, dapat menunjukkan bahwa puisi ini mengandung makna dan arti yang sangat dalam. Menginspirasi bagi mereka yang membacanya untuk tidak membuang-membuang waktu dan membuat manusia untuk berpikir sebelum melakukan sesuatu, dan juga menyadarkan manusia bagaimana kecilnya mereka di dunia ini.  Melihat ini Sapardi mampu menyampaikan makna yang sangat bijaksana tetapi dengan menggunakan pilihan kata-kata yang sangat sedikit dan singkat tersebut dapat menyampaikan banyak hal yang sangat berguna bagi siapapun yang membaca dan menghayati puisi ini.

Pembahasan puisi “Yang Fana adalah Waktu” Karya Sapardi Djoko Damono

1. Diksi. Pada saat melihat puisi ini penggunaan kata-katanya seperti jarang digunakan. Namun, menggunakan kata-kata yang sederhana. Merupakan salah satu karya sastra yang menceritakan tentang waktu yang memiliki arti bahwasanya tidak ada yang abadi didalam dunia ini kecuali, waktu.

2. Citraan. Pada bait diatas, menunjukkan gambaran penulis menggunakan panca indera 

penglihatannya guna menggambarkan seseorang yang diibaratkan sebagai waktu. Hal ini,

seperti berimajinasi bahwa waktu mengitari angka dalam kalender yang fana. Larik tersebut 

memiliki unsur citraan penglihatan yang menggambarkan sesuatu yang indah atau kenangan 

romantis seseorang di masa lampau. Kemudian juga menggambarkan bahwa seseorang yang pernah ada dulu di masa lampau akan tetap abadi mengikuti poros bumi. 

3. Tema. Tema puisi ini yaitu waktu, dimana manusia seringkali melupakan kodrat dirinya dan seringkali membuang waktunya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan demi kesenangan yang fana, ketika waktu mulai menunjukkan betapa abadi dan kekalnya mereka terhadap manusia, yaitu ketika manusia telah sampai di ujung hidupnya, mereka baru sadar betapa sombongnya mereka dan bagaimana mereka menghabiskan hidupnya untuk hal-hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.

4. Kata Konkret

a) Fana, menunjukkan sesuatu hal yang bersifat sementara dan tidak kekal atau abadil. Yang dimaksud dalam puisi adalah Waktu.

b) Abadi, melihat puisi ini pilihan kata yang mewakili sesuatu yang sifatnya kekal dan bersifat selamanya.

c) Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga. Nah, dalam puisi ini dapat terlihat ketika membaca puisi ini melalui imaji. Mengenai waktu yang sudah kita lalui, seolah dapat dirangkai menjadi sesuatu skenario kehidupan yang sudah saya, kamu atau kita jalani selama ini.

5. Pemaknaan Puisi. Memaknai puisi ini memiliki makna yang mendalam, Sapardi mencoba mengingatkan sesama bahwa pentingnya waktu yang dimiliki di dunia. Tuhan selalu memberikan kesempatan bagi umatnya untuk terus hidup dan menikmati setiap ciptaan-Nya, hal ini seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik.

3. Puisi “Di Restoran” Karya Sapardi Djoko Damono

Kita berdua saja, duduk. Aku memesan

Ilalang panjang dan bunga rumput –

kau entah memesan apa. Aku memesan

Batu ditengah sungai terjal yang deras –


Kau entah memesan apa. Tapi kita berdua

Saja, duduk. Aku memesan rasa sakit

Yang tak putus dan nyaring lengkingnya,

Memesan rasa lapar yang asing itu.


(1989)

Puisi Di Restoran terdiri dari 2 bait saja tetapi makna setiap lariknya begitu dalam. Sebelumnya, Restoran sebagai tempat makan yang mewah di pusat kota. Biasanya hanya orang di kalangan atas yang terbiasa mengunjungi tempat tersebut. Umumnya Restoran menyajikan makanan dan minuman namun, berbeda dengan puisi di “Restoran” kali ini. Puisi Restoran kali ini menyajikan ilalang panjang dan bunga rumput seperti yang terdapat pada bait pertama larik kedua “kita berdua saja duduk aku memesan” “ilalang panjang dan bunga rumput”. 

Pada larik pertama menjelaskan bahwa sosok “Aku” dalam puisi ini sedang berdua atau dapat dikatakan mereka sedang berkencan. 

Pada larik kedua  “Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput”. Perlu diketahui bahwa memesan ilalang panjang sebagai tanaman parasit sebenarnya sangat merugikan orang lain. Sosok “Aku” memesan bunga rumput yang diketahui jika bunga rumput yang sering ditemui dan tidak menarik seperti bunga lainnya.

Pada larik ketiga “Kau entah memesan apa” menunjukkan bahwa sosok “Aku” tersebut tidak tahu apa yang ingin dipesan atau diinginkan oleh sosok “Kau” atau teman kencannya. Dalam larik ini termasuk larik pengulangan yang menunjukkan bahwa sosok “Aku” tersebut benar-benar tidak mengetahui teman kencannya melakukan tindakan apa.

Pada larik keempat “Aku memesan batu di tengah sungai terjal yang deras”. Sosok “Aku” memesan batu, batu dapat digambarkan sebagai sesuatu yang keras dan sungai terjal yang berarti bahwa dia sedang berada dalam kesulitan hidup.

Pada larik kelima “Kau entah memesan apa”. Larik ini menggambarkan pengulangan dari larik ketiga yang menggambarkan jika sosok “Aku” lagi-lagi tidak tahu sosok “Kau” atau teman kencannya melakukan tindakan apa.

Melihat larik keenam “Tapi kita berdua saja, duduk” sebagai pengulangan dari larik pertama.

Dalam larik ketujuh “Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya”. Menunjukkan sosok “Aku” sedang atau yang merasakan rasa sakit yang luar biasa. Sosok “Aku” sedang merasakan sakit yang begitu mendalam dan sangat luar biasa.

Terakhir pada larik kedelapan “Memesan rasa lapar yang asing itu”, dalam memaknai ini bahwa sosok “Aku” juga memesan dan merasakan rasa yang sangat lapar atau mungkin kenelangsaan hidup? rasa lapar inilah yang memiliki pesan kelangsungan hidup yang sudah tidak asing lagi baginya. Sesuatu yang dipesan oleh peran tersebut dapat diamati pada larik yang terdapat pada puisi Di Restoran bukanlah pesanan atau makanan yang dijumpai pada restoran umumnya.

Pemahaman dalam puisi di “Restoran” ini mengandung pemaknaan beberapa makna setiap lariknya. Restoran dalam puisi ini menunjukkan penawaran berbagai macam pesanan seperti makanan atau minuman. Namun, Restoran disini adalah hubungan percintaan yang tidak memiliki oleh orang banyak yang memilikinya hanya orang-orang tertentu yang dapat merasakannya. Dimaksudkan dalam puisi ini bahwa “kita berdua saja duduk” bermakna bahwa sebuah kelangsungan hidup atau suatu kegiatan yang dilakukan oleh pasangan.

Puisi Restoran yang ditulis Sapardi menawarkan berbagai macam pesanan, pesanan yang dimaksud yaitu pesanan yang ada di dalam sebuah hubungan percintaan. Sosok “Aku” disini memesan ilalang panjang dan bunga rumput menunjukkan bahwa ia merasa dirinya tidak merasa berguna dalam hubungannya dan tidak tahu sosok “Kau “ atau teman kencannya memesan apa atau melakukan tindakan apa. Mengandung arti bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. Memaknai hal ini juga diperkuat oleh pesanan restoran bahwa sosok “Aku” sedang mengalami kesedihan, kegelisahan, rasa sakit juga kenelangsaan. Namun, sosok “Aku” tetap tetap teguh seperti batu yang berada di sungai terjal tetap bertahan walaupun derasnya arus yang menghantam sosok “Aku”. Tetap bertahan walaupun dalam keadaan yang sulit tersebut.

Pembahasan puisi “ Di Restoran” Karya Sapardi Djoko Damono

1. Diksi

Aku memesan batu ditengah sungai terjal yang deras

Aku memesan rasa sakit 

yang tak putus dan nyaring lengkingnya,

Penggunaan terjal, nyaring dan lengking dalam sajak di atas menggantikan kata seperti terjal yang artinya curam atau hampir tegak lurus. Nyaring artinya sama dengan suara keras atau lantang dan lengking berarti bunyi keras ataupun nyaring.

2. Gaya Bahasa

Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput kau entah memesan apa

Aku memesan batu di tengah sungai terjal yang deras

Sajak di atas menunjukkan penggunaan kiasan majas personifikasi. Majas personifikasi adalah kiasan yang menggambarkan benda mati seolah-olah mempunyai ciri-ciri sifat manusia. Melihat puisi di atas, kita dapat menemukan  personifikasi tuturan, karena  gaya bahasa yang digunakan mengandung makna yang dalam.  

3. Citraan. Pada sajak di atas terlihat menggambarkan seseorang yang tetap memilih bertahan pada rasa cintanya meski dia tahu hanya dirinya yang berjuang. Dapat disimpulkan pendapat-pendapat para ahli bahwa citraan atau pengimajian merupakan susunan kata yang dapat mengungkapkan gambaran atau perasaan yang dirasakan oleh penyair melalui imajinasi pembaca.

4. Tema. Ketika melihat puisi ini tema yang tergambarkan menceritakan dua orang yang sedang menjalin sebuah hubungan, namun hanya satu orang yang berjuang mempertahankan hubungannya.

5. Amanat

Tapi kita berdua saja, duduk.

Aku memesan rasa sakit

yang tak putus dan nyaring lengkingnya

Amanat yang terkandung dalam puisi menjalin sebuah hubungan dilandasi dari dua orang, jika hanya satu orang yang mati-matian berjuang dan yang satunya masa bodoh. Ada baiknya berpisah agar tidak saling menyakiti.

Oleh Uly Nihayatul Khusna

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun