Yang fana adalah waktu. Kita Abadi:
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi.
Waktu menggambarkan dunia, dunia hanya sesaat. Diri menggambarkan keyakinan. Sampai kapanpun keyakinan terus akan abadi.
Melihat puisi “Yang Fana adalah waktu” menggambarkan hubungan kompleks antara waktu dan eksistensi manusia dengan menggunakan bahasa yang sederhana namun kuat, puisi ini merangsang pemikiran juga perenungan tentang konsep waktu dan abadinya manusia. Ketika membaca puisi ini, fokus saya langsung teralihkan pada kata “kita”. Sebenarnya “kita” ini apa? Apakah manusia? Atau mungkin benda? Atau objek apa? Spekulasi tentang “kita” bagi saya adalah sebuah ide yang membuat seseorang terus hidup dan bermakna. Saat pemiliknya sudah tiada, ide yang lahir akan tetap berkelana, sedangkan waktu sifatnya fana. Waktu bisa berakhir entah kapan gilirannya.
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Bukankah semacam sesuatu yang dipertegas jika tiap detik yang dimiliki harus bisa dimanfaatkan dengan baik sehingga tercipta sesuatu yang bermanfaat. Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa.