Kata apa yang mungkin diucapkan kayu? Sudahkan ia mengucapkannya? Apakah api terlalu cepat membakar dirinya? Atau mungkin kayu sekadar merasa bahwa kata-kata tak cukup penting untuk diucapkan, kalah penting dengan kobaran yang membakarnya habis – dan ia nikmati, meski atau justru karena ia terbakar?
Dalam bait pertama terdapat 3 unsur yaitu kayu, api dan abu. Kata “kayu kepada api yang menjadikannya abu” memiliki hubungan kausalitas dan korehan yang pas. Api menjadikan kayu dan hujan menjadikan tiada serta isyarat dan kata adalah cara. Menurut saya, ini memiliki makna bahwa mencintai tidak perlu diucapkan hanya perlu dirasakan bahwa itu ada. Bukankah api memberikan kehangatan dan hujan menumbuhkan alam?
Soal konsep dan estetika, melihat ini seperti menggali kedalaman rasa melalui puisi “Aku ingin” yang mengekspresikan rasa cinta dan ekspresi cinta. Sapardi mengungkapkan rasa cintanya tak terkatakan lewat kata-kata. Memaknai puisi ini mungkin maksud dari Sapardi Djoko Damono, kayu hanya terdiam ketika api membakar dirinya hingga membuatnya hangus terbakar. Juga awan, saat hujan turun kemudian sedikit demi sedikit mengikisnya menjadi habis.
Kata cinta apa yang tak sempat diucapkan kayu dan awan?
Menelusuri puisi dari Sapardi Djoko Damono ini, apakah mungkin yang diatas adalah maksud beliau? kesederhanaannya indah sekali dan sederhana sekali keindahan itu. Namun, saya juga menemukan makna lain dalam puisi ini.
Hal yang disadari adalah saat melihat kayu terbakar api. Ketika kayunya habis, api juga ikut hilang.
“kayu kepada api yang menjadikannya abu..” karena kayu menjadi abu maka apinya hilang dan juga menjadi abu. Seperti dua yang menyatu. Sangat sederhana, bukan lagi “aku” dan “kamu” tetapi “kita”
Melihat awan dan hujan. Bukankah jika tidak terkikis dan menghilangnya awan, hujan tidak akan datang? Nah, bisa saja maknanya berarti “aku menjadi kamu”. Sederhana seperti the cycle of life. Kata tiada seperti kenihilan dari eksistensi dua insan yang menyebut dirinya “aku” dan “kamu” tidak bisa bersatu yang menjadikan ketiadaan kita.
Hal menarik ketika menginterpretasi ini, terdapat dalam kata aku ingin dalam kalimat “aku ingin mencintaimu dengan sederhana” . Keinginan tokoh aku yang ingin mencintai pujaan hatinya dengan sederhana. Apa artinya? Tokoh aku tidak bisa mencintai dengan sederhana. Rasa cintanya terlambat untuk disampaikan atau bahkan sudah tersampaikan tapi tidak terbalaskan? Seperti ikhlas walau tak terbalas?
Melihat ini terdapat banyak istilah unik muncul dalam berbagai fenomena percintaan, teringat guru saya sewaktu masih duduk di bangku SMA, kalimat singkat dan penuh humor yang menggambarkan cinta buta, yaitu “kalau cinta sudah melekat, tai kucing terasa coklat”.
Pemaknaan pada puisi “Aku Ingin” yang ditulis Sapardi Djoko Damono mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan harus penuh kerelaan dan keikhlasan. “Api” yang membakar “Kayu” hingga menjadi “Abu” sebagai wujud keikhlasan dan rela berkorban. Sebagai bagian penting yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika menginterpretasi puisi ini. Kata-kata dalam setiap larik puisi Sapardi mampu menyederhanakan persoalan untuk menikmati karya sastra, karena ia banyak bicara tentang persoalan yang dialami tiap orang yaitu membicarakan cinta. Bukan seperti puisi cinta murahan yang lahir dari benak vulgar, ia lahir dari kedalaman ekspresi tentang cinta yang hadir dengan bahasa sederhana namun memikat, tidak terlalu gelap untuk dipahami juga tidak terlalu transparan untuk kehilangan nilai estetikanya.