Mohon tunggu...
Uli Elysabet Pardede
Uli Elysabet Pardede Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Inspirasiku dalam menulis adalah lagu indah, orang yang keren perjuangannya, ketakutanku dan hal-hal remeh-temeh yang mungkin saja bisa dibesarkan atau dipentingkan… Tuing! blog : truepardede.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Ramen] Darah Kakak di Hari Anak

10 Januari 2012   04:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:06 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13261677411987900810

[caption id="attachment_162698" align="aligncenter" width="592" caption="Image - mardaarauf.blogspot.com"][/caption]

Uli Elysabet Pardede No. 30

Aku Evan anak orang miskin. Sejak dari dalam kandungan pun aku sudah miskin. Mungkin saat aku masih jabang bayi, aku kelaparan di dalam rahim karena si pemilik rahim tak mempunyai uang untuk makan sehari. Sewaktu umurku 6 tahun, teman-temanku sudah siap-siap masuk sekolah. Tetapi aku? Boro-boro sekolah, makan saja sudah syukur. Ternyata Tuhan tidak cukup memberi ujian pada aku yang masih kecil. Beberapa hari kemudian Ayahku dipenjara karena mencuri pisang setandan milik tetangga. Setelah Ayah keluar dari penjara, Ayah bukannya datang dan melepas rindu pada kami. Malah ayah kabur untuk selamanya tak kelihatan lagi.

Aku tahu Ibuku stress saat itu karena masalah kehidupan yang sangat miris ini. Ibuku sangat sayang padaku, namun hari itu aku tak tahu kenapa Ibu bisa tega melakukan itu. Ibu menjual aku pada seseorang yang tak aku kenal, katanya aku akan diberi pekerjaan. Aku berlari ke kamar dan meninju dinding kamar yang terbuat dari kayu yang sudah dimakan rayap. Aku menangis sejadi-jadinya dan marah pada kenyataan ini.

Kenapa?

Kenapa?

Kenapa!!!

Anak yang seumuran dengan aku sedang asik-asiknya bersekolah. Sementara aku? Aku dijual??? Aku tak pernah meminta lebih pada Ibuku, bahkan untuk tidak sekolah aku sudah sangat pasrah. Tetapi apa??? Malah aku dijual kepada orang lain untuk dijadikan budak??? Aaaarrrrggghhh!!! Tetapi Ibu ternyata telah lama berdiri di ambang pintu menatap aku yang menangis sejadi-jadinya. Ibu turut menangis, tetapi aku tak peduli. Pedih rasanya diperlakukan begini oleh Ibuku.

Pada akhirnya tangan seorang wanita tua menarik tanganku dan menaikan aku ke atas mobil pick up yang di atasnya sudah ada beberapa teman yang dijual orangtuanya juga. Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya selama perjalanan.

"Sudahlah... Berhentilah menangis..." Ando menenangkan aku, dia lebih tua dariku. Aku tak mengerti kenapa ada seorang sebaik dia. Bahkan saat hujan menerpa kami semua di atas mobil pick up, dia justru melindungi kepalaku.

Akhirnya kami sampai di sebuah rumah yang besar tetapi jelek sekali. Kami hanya mampu beranggapan bahwa itu adalah rumah hantu. Kami tinggal di situ dan disiksa di situ. Jika hari sudah pagi, kami akan dipaksa untuk bangun dan pergi ke sebuah proyek pembangunan mall. Di situ kami bekerja mengangkati bebatuan. Terkadang kami dibawa ke tempat lain untuk mengangkat batu dari kali langsung. Ah, tanganku sakit sekali. Dua tahun aku hidup begitu selalu ditemani airmata yang tiada hentinya.Badan kami pun kurus kering dan jarang sekali perut kami tersentuh makanan.

Ando selalu menenangkan aku bila aku menangis kesakitan dan dia selalu menjadi penggantiku untuk dipukul bila aku melakukan kesalahan.Ah, tak ada sahabat sebaik Ando bagiku. Sekalipun itu Ibuku sendiri. Di suatu malam dia berbisik padaku tentang sebuah rencana.

"Kita harus kabur dari neraka ini." Bisiknya.

"Aku takut Kakak..." Kataku menggigil membayangkan betapa menyakitkan hukuman jika kami ketauan kabur.

"Sudahlah... Apa kau mau disiksa sampai mati begini?" Tanya Ando sambil membsarkan matanya.

"Engga mau, Kakak..." Kataku sedikit lebih keras.

"Nah!!! Makanya ayo kita lakukan!!!" Kata Ando lantang.

"Woooiiii!!!" Ternyata pembicaraan kami itu berisik sekali sehingga membangunkan algojo penjaga kami. Kami berdua gugup di atas kasur jelek itu.

"Sini kamu!!! Harus dikasih pelajaran kayaknya sama kamu yang cengeng ini!!!" Tunjuknya lalu menarik kerah bajuku.

"Jangan dia!!! Aku saja!!!" Kata Ando lantang, seperti tak mau aku terlukai.

"Oh, nantangin nich bocah!!!" Lelaki besar itu menampar Ando dengan kerasnya dan mendorong dia hingga terhempas jauh ke belakang. Semua anak-anak yang ada di situ bangun dan berlari ke sudut kamar karena ketakutan.

"Jangan!!!" Tangisku menahan tangan pria besar itu. Namun dia tak mau tahu karena tidurnya sudah terganggu. Dia malah mengangkat Ando dan mencampakkan Ando ke dinding.

"Tidaaakkk!!!" Tangisku saat melihat kepala Ando berdarah. Pria besar itu pergi berlalu karena HP-nya berdering. Aku dan anak-anak yang lain mengerumuni Ando yang tergeletak tak berdaya.

"Kakak..." Tangisku.

"Aku tak apa-apa..." Katanya sambil menghapus darah yang di belakang kepalanya.

"Pasti sakit sekali..." Kataku lalu memeluk Ando. Sementara anak-anak yang lain menangis juga melihat keadaan Ando.

"Sudahlah! Aku sudah bosan!!! Ayo kita lari dari neraka ini!!"

Sesaat suasana hening membuat aku dan yang lainnya berpikir ulang apa mampu keluar dari rumah yang dijaga ketat ini.

"Kita lapor polisi kalau kita lolos dari sini!!! Kalau boleh orangtua, kita laporkan saja!!!" Kata Ando walau masih kelihatan lemah.

"Kita ga baka mampu, Kakak..." Kataku sambil menunduk.

"Merdeka atau mati???!!!" Tanyanya lantang pada semua anak yang ada di situ. Kami menunduk tak menjawab. Tiba-tiba dia menngangkat daguku lalu berkata "Merdeka atau mati???!!!" Tanyanya seperti mengancam.

"Mm...Mm....Merdeka!!!" Kataku lantang walau ragu. Ando menggenggam tanganku dengan erat dan kami semuanya saling berpelukan.

Malam itu juga kami beraksi. Pintu kamar yang sedari tadi terbuka, kami kunci rapat. Entah kemana si pria besar itu. Ah, kami tak peduli. Kami bergotong royong membobol jendela yang sudah rapuh namun dipaku sana sini dengan kayu lainnya. Kami menghabiskan waktu 3 jam lamanya dan pada akhirnya terbuka, namun betapa terperanjatnya kami begitu melihat pria besar menatap kami keji.

"Lawannn!!!" Pekik Ando sambil mengambili batu-batu besar yang ada di halaman. Kami yang sudah menerima semangat besar dari Ando pun turut melempari pria besar itu dengan batu sampai dia terluka di keningnya barulah dia menyerah dan kabur.

"Ayo!!!" Ando menjentikkan jemarinya dan membuat kami semua berlari kabur dari rumah jelek itu.

Kami pun memang lolos dari rumah jelek itu. Dan kami tinggal di sebuah gudang padi yang tak terpakai lagi. Itulah yang menjadi markas kami. Kami makan dari hasil kerja keras kami. Kami berjualan koran dan lain sebagainya.

Kami melakukan aksi demo di rumah Pak Presiden menuntut pembebasan bagi pekerja di bawah umur. Walau pada kenyataanya kami hanya sebagai bahan tertawaan saja karena kami semua masih kecil-kecil. Aku dan semua sahabatku mengibarkan bendera yang bertuliskan "Bebaskan Pekerja di Bawah Umur". Berulang kali kami berunjuk rasa tetap saja dicuekin. Kami lapor polisi, tetap saja tak ada tindakan nyata. Kami tak patah arang, sampai pada suatu saat ada seorang wartawan meliput markas kami, dia mewawancarai kami.

"Bebaskan semua anak yang dijadikan pekerja oleh orang-orang yang tidak punya otak!!! Kalian harus tidak itu!!!" Suara Ando lantang sambil menunjuk-nunjuk kearah kamera. Berita itu tersiar sampai ke seluruh negeri, akhirnya kelompok kami pun dilirik oleh pemerintah. Yah, ternyata pemerintah mengurus kami ketika kami menjadi bahan pembicaraan saja. Entah kemana dulu saat kami mengadu???

Kami diundang di acara Hari Anak Sedunia. Kami memberikan kesaksian tentang hidup kami selama dua tahun dijadikan budak. Kami protes akan orangtua yang tak peduli anaknya. Kami protes akan pemerintah yang tak pernah mempedulikan kaum pinggiran ini. Kami protes pada mereka yang tak mengizinkan kami menikmati masa kecil kami. Ya, suara Ando yang lantang itu selalu aku dengar bila sudah berorasi.

Airmataku berjatuhan. Aku yang berdiri di belakang Ando yang berdiri di podium. Anak-anak yang lain turut menangis sambil berpelukan mengharapkan kebebasan yang seutuhnya. Ando menatap kami lalu berteriak lantang.

"Merdeka atau matiiii!!!!!!" Pekiknya. Kami turut menjerit... "MERDEKAAAA!!! MERDEKAAAA!!!" Pekik kami berulang-ulang tetapi tiba-tiba.

Dooorrr!!!!

"Kakak!!!" Pekikku saat melihat Ando tertembak punggungnya. Semua orang berserakan menjerit ketakutan akan suara tembakan itu. Penembak itu malah kabur begitu saja. Aku dan teman-temanku berlari mendekati tubuh Ando yang tergeletak.

"Kakak!!!" Pekikku menangis sejadi-jadinya.

"Aku sayang... kaliaaan..." Bisiknya. Kami tak mampu menahan airmata. Di antara kelompok kami hanya dialah yang paling tua. Hanya dialah dulu yang mampu dengan jiwa satria menggantikan kami untuk disiksa oleh si lelaki besar itu. Dia kakak kami yang baik.

"Merdeka..." Katanya pelan.

"MERDEKAAA!!!" Jerit kami dengan suara yang lantang.

"Merdeka..." Katanya lagi.

"MERDEKAAAA KAKAKKKKK!!!!

"Kakakkkkk!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!" Jeritku kuat sekali memenuhi ruangan itu. Anak-anak yang lain turut menangis, sebagian menutup mata seperti tak mampu menahan perasaan kehilangan itu. Sebagian yang lain saling berpelukan untuk saling menguatkan.

Dan seketika... Kakakku Ando tercinta pergi selamanya. Dan tak akan pernah kembali. Aku mengangkat bendera kami, bendera anak-anak yang merindukan kebebasan. "Merdeka atau matiii!!!" Jeritku pada yang lain.

"Merdeka!!!" Kami semua saling berpelukan untuk menguatkan. Walau jasadnya sudah tertutupi tanah merah dan kami hanya mampu menepuk-nepuk tanah itu. Kamera-kamera itu sepertinya tak bosan menyoroti kami.

Tiba-tiba aku tertegun dan berkata dalam hati... "Kakakku sudah pergi, tetapi aku harus lebih kuat lagi... maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok."

Aku dan anak-anak yang lain berlari-lari sambil mengibarkan bendera kami. Berharap hari esok akan kami temui dunia anak-anak yang sebenarnya. Tanpa tanggung jawab yang besar. Dan ternyata Tuhan tak pernah tidur... Dia mengirimi kami seorang malaikat yang mau menjadi orangtua asuh kami.

Ah, sebaik apapun sekarang hidupku. AKu harus tetap mengingat Kakak yang aku kenal di tempat perbudakan itu. Walau pada kenyataannya kami tak mampu membuang perih yang ada.

Akulah Evan. Anak orang miskin dan tak mempunyai kekuatan. Aku kini mendapat kekuatan abadi, dari seseorang Kakak yang dikirimkan Tuhan padaku. Aku sekarang telah sendiri dan aku kuat akan bayangan wajahnya  itu... :) maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok.

Ah, darah kakak itu... Perjuanganya... Ah, Kakakku... :)

Terimakasih sudah baca...!!!

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju ke sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun