"Aku sayang... kaliaaan..." Bisiknya. Kami tak mampu menahan airmata. Di antara kelompok kami hanya dialah yang paling tua. Hanya dialah dulu yang mampu dengan jiwa satria menggantikan kami untuk disiksa oleh si lelaki besar itu. Dia kakak kami yang baik.
"Merdeka..." Katanya pelan.
"MERDEKAAA!!!" Jerit kami dengan suara yang lantang.
"Merdeka..." Katanya lagi.
"MERDEKAAAA KAKAKKKKK!!!!
"Kakakkkkk!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!" Jeritku kuat sekali memenuhi ruangan itu. Anak-anak yang lain turut menangis, sebagian menutup mata seperti tak mampu menahan perasaan kehilangan itu. Sebagian yang lain saling berpelukan untuk saling menguatkan.
Dan seketika... Kakakku Ando tercinta pergi selamanya. Dan tak akan pernah kembali. Aku mengangkat bendera kami, bendera anak-anak yang merindukan kebebasan. "Merdeka atau matiii!!!" Jeritku pada yang lain.
"Merdeka!!!" Kami semua saling berpelukan untuk menguatkan. Walau jasadnya sudah tertutupi tanah merah dan kami hanya mampu menepuk-nepuk tanah itu. Kamera-kamera itu sepertinya tak bosan menyoroti kami.
Tiba-tiba aku tertegun dan berkata dalam hati... "Kakakku sudah pergi, tetapi aku harus lebih kuat lagi... maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok."
Aku dan anak-anak yang lain berlari-lari sambil mengibarkan bendera kami. Berharap hari esok akan kami temui dunia anak-anak yang sebenarnya. Tanpa tanggung jawab yang besar. Dan ternyata Tuhan tak pernah tidur... Dia mengirimi kami seorang malaikat yang mau menjadi orangtua asuh kami.
Ah, sebaik apapun sekarang hidupku. AKu harus tetap mengingat Kakak yang aku kenal di tempat perbudakan itu. Walau pada kenyataannya kami tak mampu membuang perih yang ada.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!