"Tidaaakkk!!!" Tangisku saat melihat kepala Ando berdarah. Pria besar itu pergi berlalu karena HP-nya berdering. Aku dan anak-anak yang lain mengerumuni Ando yang tergeletak tak berdaya.
"Kakak..." Tangisku.
"Aku tak apa-apa..." Katanya sambil menghapus darah yang di belakang kepalanya.
"Pasti sakit sekali..." Kataku lalu memeluk Ando. Sementara anak-anak yang lain menangis juga melihat keadaan Ando.
"Sudahlah! Aku sudah bosan!!! Ayo kita lari dari neraka ini!!"
Sesaat suasana hening membuat aku dan yang lainnya berpikir ulang apa mampu keluar dari rumah yang dijaga ketat ini.
"Kita lapor polisi kalau kita lolos dari sini!!! Kalau boleh orangtua, kita laporkan saja!!!" Kata Ando walau masih kelihatan lemah.
"Kita ga baka mampu, Kakak..." Kataku sambil menunduk.
"Merdeka atau mati???!!!" Tanyanya lantang pada semua anak yang ada di situ. Kami menunduk tak menjawab. Tiba-tiba dia menngangkat daguku lalu berkata "Merdeka atau mati???!!!" Tanyanya seperti mengancam.
"Mm...Mm....Merdeka!!!" Kataku lantang walau ragu. Ando menggenggam tanganku dengan erat dan kami semuanya saling berpelukan.
Malam itu juga kami beraksi. Pintu kamar yang sedari tadi terbuka, kami kunci rapat. Entah kemana si pria besar itu. Ah, kami tak peduli. Kami bergotong royong membobol jendela yang sudah rapuh namun dipaku sana sini dengan kayu lainnya. Kami menghabiskan waktu 3 jam lamanya dan pada akhirnya terbuka, namun betapa terperanjatnya kami begitu melihat pria besar menatap kami keji.