Mohon tunggu...
Akfa Zawja
Akfa Zawja Mohon Tunggu... -

Simple girl. Like reading and writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sambhileng

23 Januari 2016   22:34 Diperbarui: 23 Januari 2016   22:47 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karnadi sangat heran sekaligus tidak sabar menghadapi apa yang terjadi pada isterinya, Nur Haliza. Sudah lima  kali Nur hamil tapi tidak pernah melahirkan. Padahal, pasutri tersebut sangat menginginkan momongan. Usia pernikahan mereka sudah memasuki tahun ke-delapan. Tidak heran jika selalu ada percekcokan antara Karnadi dan Nur karena keinginan mereka tak kunjung tercapai. Segala usaha dilakukan: mendatangi orang pintar, pergi ke dokter, terapi kehamilan hingga menunda kehamilan agar rahim benar-benar kuat mengandung. Semuanya nihil. Perut Nur membesar menghadirkan harapan tapi kemudian mengempaskannya bersamaan kempesnya perut Nur.

Karnadi sangat heran. Isterinya tidak mengalami keguguran. Isterinya hamil seperti biasa, tidak ada tanda-tanda kalau kehamilan tersebut akan hilang tanpa bekas, tanpa darah, dan juga  tanpa sakit. Perut isterinya yang buncit, tiba-tiba saja menyusut. Tiba-tiba tidak hamil. Para tetanggapun berdesas-desus. Kalau bayi mereka disantap sambileng. Mahluk halus pengincar bayi dalam kandungan.

Karnadi dan isterinya lelah menghadapi tahun-tahun kebersamaan mereka. Apalagi, banyak tekanan-tekanan datang ketika mereka bertemu dengan sanak famili atau teman-teman sejawat.

“Sudah isi isterinya, Bang?”

“Anakmu sudah berumur berapa, Di?”

“Berapa anakmu, Di?”

Dan berbagai macam pertanyaan lainnya. Karnadi benar-benar jenuh. Pertengkaran antara dia dan isterinya tak dapat dibendung.

“Aku sudah bilang, jangan  terlalu banyak bekerja! Lihat kan sekarang, kandunganmu benar-benar hilang lagi!”

“Jangan selalu salahkan aku, mas. Kamu bekerja seharian, aku sendirian mengurus rumah. Siapa suruh hanya bekerja sebagai buruh? Jadinya aku harus mencari penghasilan tambahan.”

Karnadi benar-benar marah mendengar perkataan isterinya. Adu mulut terjadi, ditutup dengan tangisan sang isteri. Jika sudah begitu, Karnadi benar-benar tidak tega meneruskan kekesalannya lewat kata-kata.

***

Keesokan harinya, Karnadi memeluk isterinya dan membisikkan kata maaf. Karnadi berjanji akan selalu ada di samping isterinya. Bulir-bulir air mata bertetesan dari pelupuk mata.

Mungkin kurang usaha. Karnadi mencari solusi dari berbagai teman. Karnadi diminta menemui orang pintar di desa seberang. Menurut beberapa orang terpercaya, orang pintar di desa seberang sakti mandra guna. Banyak kasus keanehan yang dia tangani dan berhasil. Katanya, orang pintar di desa seberang bisa membaca isi hati orang dan cerita-cerita lainnya tentang kesaktian dukun desa seberang sampai di telinga karnadi.

 Berangkatlah Karnadi bersama sang isteri. Membawa beberapa bekal dan banyak uang. Semilir angin membelai lewat kaca jendela mobil pick up yang mereka tumpangi. Pohon-pohon di pinggir jalan berjalan seakan meninggalkan mereka berganti pohon yang lain. Mereka sangat berharap, orang ini benar-benar bisa membantu mereka untuk mendapatkan momongan.

***

“Apakah keturunan sangat penting bagi kalian?”

Karnadi dan sang isteri tersentak. Orang di depannya tidak seperti orang pintar pada umumnya. Tidak ada tanda-tanda kalau dia adalah dukun: bau minyan, ada sesajen di depannya, asap mengepul dari bakul, banyak bunga, berkalung tasbih besar, rambut keriting, dan berjenggot. Karnadi tidak mendapati itu semua. Hanya orang biasa menyambut Karnadi dan sang isteri. Pertanyaan sambutan menyentak hati Karnadi. Karnadi belum berkata sepatah katapun. Pertanyaan bapak tua itu, menembak maksud Karnadi tanpa salah. Karnadi sangat penasaran pada kemampuan orang di depannya.

 “Jangan menilai seseorang dari penampilannya.” Karnadi tersentak untuk kedua kalinya.

“Maaf, Ki. Bukan maksud saya....”

“Sudahlah, sekarang apa mau kalian?”

Karnadi takut-takut. Suaranya sedikit bergetar. Orang di depannya benar-benar mempunyai kharisma yang tidak bisa ditentang.

“Kami ingin mempunyai anak, Ki. Sudah enam tahun kami menikah tapi tidak juga dikaruniai momongan. Isteri hamil berkali-kali tapi tidak pernah melahirkan.” Si isteri mengangguk membenarkan perkataan suaminya. Dukun di depan mereka mengangguk-angguk pula.

“Nenek moyang kalian pernah menggunakan sihir. Saat ini, para makhluk halus meminta bayaran atas apa yang nenek moyang kalian lakukan.”

Karnadi dan sang isteri saling pandang. Entah, nenek moyang dari siapa; dari sang isteri atau Suami. Tatapan mata mereka seperti sama-sama mau menyalahkan tapi tidak mau terlihat salah. Sama-sama ingin terhindar dari salah.

“Kami harus bagaimana, Ki?”

“Tanam benda ini di depan pintu rumah kalian pada malam Jumat Kliwon” si dukun menyodorkan benda kecil dalam bungkus plastik putih. Entah apa.

“Kalian tidak boleh membukanya. Cukup menanamnya saja.”

“Baik, Ki.”

Kedua pasutri tersebut pulang dengan perasaan penuh harap. Pada malam Jumat Kliwon, angin berhembus rendah. Tidak seperti biasanya, melalui rumah-ruamah dan menggelitik pepohonan. Bergoyang pelan. Burung gagak bernyanyi di kejauhan menambah keangkeran malam jum’at kliwon. Karnadi dan Isteri menanam benda yang diberikan oleh dukun desa seberang, lalu memasuki rumah.

Beberapa bulan kemudian, isteri Karnadi hamil. Karnadi tambah perhatian. Mulai dari makanan, hingga aktivitas sang isteri. Tidak boleh lelah. Sang isteri bagai ratu sejagat. Dimanja dan dipuja-puja. Karnadi bertambah romantis saja. Tatapan lembut Karnadi tidak pernah ditemui sang Isteri pada tahun-tahun awal pernikahannya. Senyum rekahnya penuh harapan. Sang isteri bertambah takut saja. Bagaimana jika kehamilannya kali ini juga pada akhirnya mengecewakan? Bagaimana sikap Karnadi padanya? Dan berbagai fikiran berkecamuk memenuhi fikirannya. Isteri Karnadi lelah menghadapi fikirannya sendiri.

“Lahir sehat ya, anakku!” Karnadi mengusap-ngusap perut sang isteri.

“Ibunya juga harus sehat, sayang.” Karnadi menjangkau wajah sang isteri. Mengusapnya lembut.

Sang isteri tidak mengatakan kegundahan hatinya, tidak ingin menghapus seketika harapan yang sudah tertanam kuat di hati suaminya. Takut pula terjadi percekcokan seperti dua ekor kucing yang saling meneriaki satu sama lain. Karnadi mencintainya dan ingin buah cinta mereka juga ikut merayakannya.

Atas saran seorang teman pula, Karnadi pergi ke dokter spesialis kandungan di kota.

“Jangan cuma mengandalkan dukun, Di. Kalau kamu pergi ke dokter, kandungan isterimu akan terlihat. Apakah ada bayinya atau tidak. Dengan alat yang bernama  USG.”

“USG?”

“Iya. Alat tersebut bisa melihat isi perut isterimu.”

Karnadi tertarik. Apakah benar ada alat yang begitu canggih di kota?

“Ketika isteriku hamil juga di USG, jadi aku bisa tahu, anakku laki-laki atau perempuan.”

Karsa, teman Karnadi, setelah menyelesaikan pendidikan Strata satunya, menikah dengan teman sekelasnya. Lalu tinggal di kota. Saat ini dia pulang kampung dan bersilaturrahim ke rumah Karnadi. 

Karnadi begitu antusias. Disamping ingin membuktikan kecanggihan alat tersebut, Karnadi juga percaya alat tersebut bisa menyelamatkan kandungan Isterinya. Membawa mobil Pick Upnya, Karnadi pergi ke kota ditemani Karsa. Jalanan mulus, bangunan megah, rumah-rumah memesona, pemandangan baru bagi Karnadi. Apalagi penampilan masyarakat kota; rok diatas lutut, baju membentuk tubuh, rambut dibiarkan tergerai. Kulit putih mulus. Tidak ada noda hinggap. Karnadi ternganga. Apalagi sang isteri. Perjalanan pertama mereka. Mengesankan dan menakjubkan hati Karnadi dan Sang Isteri.

Di tempat dokter kandungan pun, karnadi terheran-heran dengan alat yang dinamakan USG tersebut. Hanya diletakkan di atas perut sang isteri, lantas muncul video bergerak-gerak. Bayi melekuk.

“Bayi anda laki-laki. Sehat, tidak kurang sesuatu apa-pun.”

“Benarkah, dok?”

“Iya. Ini hasil USGnya.” Dokter muda itu menunjukkan hasil USG sambil tersenyum hangat dan ramah.

“Bayi anda akan lahir bulan depan.” Karnadi benar-benar terlonjak karena gembira. Dia menyalami sang dokter dengan erat, menciumi tangannya, seakan dia adalah dewa penyelamat.

Alat canggih bernama USG tersebut sangat berkesan di hati Karnadi. Sekarang, tidak ada yang perlu dia khawatirkan. Dia akan segera menjadi seorang ayah. Ayah yang baik, akan selalu memanjakan dan bermain bersama anak tercintanya. Beda dengan sang isteri, dia bertambah takut dan khawatir, dikerenakan tahun-tahun sebelumnya kehamilannya tidak pernah berhasil. Resah dan gelisah menemani harinya, tidak bisa tidur nyenyak, hingga sang isteri jatuh sakit.

Karnadi menemani sang isteri. Resah melihat kondisi sang isteri.

“Aku takut, Bang.” Sang isteri mulai menangis.

Karnadi menenangkannya. Berusaha  menghibur, lebih baik tidak punya anak dari pada kehilangan sang Isteri. Hal itulah yang terlintas di benak Karnadi melihat Nur ketakutan. Karnadi menemani sepanjang hari. Dan kemudian jatuh tertidur di samping sang isteri.

***

 Karnadi melihat asap mengepul di depannya. Ada sosok di dalam asap. Karnadi mengernyitkan dahi, melihat lebih teliti. Menelisik, menerka sosok di balik asap tersebut. Seseorang yang pernah ditemuinya. Karnadi tersentak, setelah menyadari malam telah begitu larut dan suasana ini begitu di kenalnya: malam Jum’at kliwon. Dan sosok hitam itu merupakan dukun yang pernah ditemuinya. Karnadi tiba-tiba tidak bisa bergerak dalam diamnya. Tubuhnya terkunci, karnadi tidak bisa berbicara sepatah katapun. Dia ingin berteriak menyadari tubuhnya kram. Karnadi sangat heran.  Yang lebih mengejutkan lagi, dukun itu menghampiri sang isteri dan menguap-usap perut istrinya yang buncit. Karnadi ingin mencegahnya. Tapi dia benar-benar lumpuh total.

Sosok itu menyeringai pada Karnadi, wajahnya buram. Menyeramkan. Sangat berbeda ketika Karnadi menemuinya dulu bersama sang isteri. Karnadi tidak bisa menahan teriakannya lagi, ketika sang Dukun memasukkan tangannya pada perut isterinya. Darah tercecer di mana-mana. Karnadi tetap berteriak sekuat tenaga, tanpa memperdulikan para tetangga yang mulai berdatangan. Karnadi melihat bayinya dibawa sang Dukun sambil mengatakan:

“Diam kau! Ternyata kau percaya pada selainku.”

Karnadi melolong seperti serigala, memenuhi seluruh desa. Teriakannnya menakutkan masyarakat desa. Orang-orang berbondong-bondong melihat Karnadi yang ternyata masih ada dalam kamarnya. Isteri Karnadi mencoba menenangkan. Mengambilkannya air minum.

“Bagaimana perutmu? Bagaimana kandunganmu?” Karnadi gusar.

“Ia baik-baik saja, Bang. Lihat sendiri, perut adik masih besar begini.”

Orang-orang mulai menggerutu kecewa. Karnadi hanya bermimpi. Isteri mengusap peluh di dahi Karnadi. Mimpi itu benar-benar nyata. Nafas Karnadi belum teratur sepenuhnya.

Kini sudah lebih satu bulan dari yang dijanjikan dokter mengenai lahirnya sang anak. Semua perlengkapan bayi sudah Karnadi persiapkan. Tapi tanda-tanda lahir tidak muncul, hanya perut sang isteri semakin hari semakin menyusut.

Para tetangga berdesas-desus lagi, tentang bayi Karnadi yang dimakan sambhileng untuk kesekian kalinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun