Aku masih terdiam. Bersama segelas Ice Cream yang terkulum di mulutku. Kulihat sekeliling taman kota lama ini. Ah, aku rindu.
***
"Sepertinya ada yang merindukanku nih."
Segaris senyum terlukis jelas di bibirku ketika mendengar suara dari ponsel yang menempel di telingaku. Spontan kujelajahi pandangan ke sekitar, sekedar berusaha menangkap sosok yang sudah lama menjadi sahabat dihidupku. Rendy. Ya dia Rendy, dan sekarang dia berada tepat di belakangku.
"Rendy, aku pikir kamu sedang pergi makannya menelepon." Ucapku sambil memukul bahu Rendy. Seperti biasa Rendy selalu menampilkan senyum manisnya agar aku tidak marah kepadanya.
"Hehehe aku hanya ingin menjahili seseorang yang tengah merindukanku." Ucapnya sambil mencubit pipiku. Aku segera melepaskan cubitan Rendy. Dasar nakal! Batinku.
"Rindu? Siapa bilang aku rindu kepadamu."
"Buktinya kamu berada di depan rumahku,"
"Kamu terlalu percaya diri, aku hanya ingin memberikanmu ini." Ucapku sambil memberikan Ice Cream Chocolate kesukaan Rendy yang aku beli di taman Kota Lama. Mata Rendy berbinar, dia langsung mengambil Ice Cream yang ada di tanganku dan memakannya.
"Kamu baik banget Din, tumben." Ucapnya sambil tertawa. Aku hanya memukul bahunya kembali sehingga dia merasa kesakitan.
Kupandangi lagi Rendy. Ah, dia memang Rendy yang aku kenal. Aku sungguh bahagia mempunyai sahabat sepertinya. Masih ingat di benakku ketika Rendy menyembuhkan luka hatiku. Luka yang disebabkan oleh seorang yang aku cintai, Â yang kini telah meninggalkanku dan tak pernah kembali. Rendy yang saat itu menghapus air mataku, dia berusaha menenangkanku hingga aku dapat tertawa lagi, bahkan dia mengajakku mampir ke kedai Ice Cream dan akhirnya duduk-duduk di taman kota lama. Andai saat itu tidak ada Rendy, mungkin aku akan sulit untuk sekedar tersenyum bahkan tertawa.
"Sudah Din jangan menangis lagi," ucapnya sambil mengelus rambutku. "Kamu jelek saat menangis." Lanjut Rendy. Spontan aku membesarkan bola mataku karena tidak terima atas perkataan Rendy. Sontak perlakuanku membuat Rendy tertawa terbahak-bahak. Aku tersenyum melihat tingkah laku Rendy. Ah Rendy, kamu yang selalu membuatku tersenyum.
***
Alarmku berbunyi dengan nyaringnya tepat di pukul 07:00, membuat telingaku merasa disiksa dengan bunyi alarm itu. Sebenarnya aku enggan beranjak meninggalkan ranjang kesayanganku ini. Namun, mengingat hari ini Bos mengajakku ke acara pertemuan klien, mau tidak mau aku harus segera meninggalkan aktivitas menyenangkanku ini. Tidur.
Aku menaiki mobil hitam yang Ayah belikan untukku sebagai hadiah birthday dua tahun lalu. Jiwaku masih dilanda malas untuk pergi ke kantor. Padahal ini hari Minggu, dan seharusnya aku dapat melakuakan kegiatan yang aku sukai. Namun, semua itu hanya mimpi di saat aku tidak sedang terlelap.
"Dinda!" aku mendengar ada yang memanggilku dari kejauhan ketika aku hendak memasuki ruang meeting, aku menoleh ke sekitarnya. Pak Hedi rupanya.
"Sudah kamu persiapkan semua Dinda?" tanya Pak Hedi kepadaku.
"Sudah Pak." Jawabku pasti.
Aku dan Pak Hedi memasuki ruang meeting. Aku duduk di sebuah kursi yang letaknya tidak jauh dari Pak Hedi. Bagai karang yang diterpa ombak, aku terkejut dengan kehadiran seorang klien yang duduk tepat di hadapanku. Dia menatapku dan tersenyum. Entah mengapa aku merasa aneh ketika dia memberi senyum kapadaku. Apalagi ketika tidak ada reaksi terkejut setelah melihatku. Dia terus menatapku sambil menuai senyum. Oh, Tuhan! Mengapa aku harus bertemu dia?
"Kenalkan Pak Bagas ini Sekretaris saya, namanya Dinda," ucap Pak Hedi tersenyum. "Dinda akan mengurusi semua keperluan Anda." Lanjut Pak Hedi. Aku terkejut bukan main ketika aku tahu jika aku yang akan membantu dan mengurusi semua keperluannya. Namun aku tidak bisa menolaknya.
Pak Hedi meninggalkan kami berdua. Aku masih terdiam dan enggan untuk memulai perbincangan dengan seorang pria yang sekarang dihadapanku.
"Senang rasanya dapat melihatmu kembali," ucapnya tersenyum. "Sebelum berangkat ke kota ini, aku tahu kemungkinan akan berjumpa denganmu sangat besar. Hanya saja aku tidak menyangka akan berjumpa denganmu pada hari pertama tugasku di sini." Lanjutnya yang masih menatapku sambil tersenyum. Aku memalingkan wajah seakan tak sudi memandang wajahnya.
"Selamat datang." Ucapku acuh.
"Sudah dua tahun ternyata kita tidak bertemu," ucapnya. "aku merindukanmu Din." Lanjut Bagas yang membuat aku semakin jengkel.
"Din..." Panggilnya ketika aku hanya terdiam.
"Dua tahun lamanya kamu meinggalkanku dan sekarang kamu bilang kamu merindukanku?" ucapku yang tidak dapat menahan amarah lagi.
"Aku tidak pernah meninggalkanmu Din, tidak pernah. Aku selalu memikirkanmu di setiap detik pekerjaanku, bahkan tak ada kesempatan untukku melupakanmu dalam ingatanku."
Oh, Tuhan! Manusia ini membuat aku semakin muak.
"Kamu tak pernah meninggalkanku? Lalu mengapa kamu tidak datang diacara pertunangan kita? Aku menunggumu berjam-jam disana! Mengapa kamu tidak memberi kabar apapun?" jawabku yang hampir meneteskan air mata. Bagas terdiam sekarang, dan itu membuatku tak dapat menahan air mata. Aku segera pergi meninggalkan tempat itu, namun dia memegang tanganku dan langsung memelukku.
"Aku datang Din, aku datang. Namun sayang, aku hanya melihat orang yang aku cintai menangis di bahu orang lain sebab luka yang kulukis." Ucapnya sambil memelukku. Aku terdiam dengan air mata yang telah membasuhi pipiku. Tuhan, ternyata dia benar-benar datang!
***
Gaun putih ini terlihat cantik ketika aku kenakan. Sudah hampir sejam aku memandangi cermin yang tak lain ada aku disana. Aku bahagia kali ini. Orang yang aku cintai akan mengikatku dengan cicin yang melingkar di tanganku nanti. Semua teman dan keluarga yang hadir akan melukis sebuah senyum bahagia ketika melihatku.
"Apa kamu kembali menjalin hubungan dengan Bagas? Lelaki yang pernah melukaimu Din?" ucap Rendy yang terkejut. Aku hanya mengangguk.
"Apa kamu tidak berpikir ulang?"
"Entah Ren, hanya saja mendengar dia datang kepertunangan dan melihat aku menangis di bahumu, membuatku merasa hal seperti dua tahun yang lalu. Seakan dia menghadirkan cinta kembali yang pernah hilang, mungkin ini terlihat konyol. Namun, kenyataannya aku masih mencintainya ren." Jawabku menatap lekat Rendy. Aku melihat ada kekecewaan di wajahnya. Namun aku tidak dapat membohongi hatiku yang ternyata masih mencintai Bagas.
"Din... jangan." Ucapnya memohon kepadaku.
Aku terdiam melihat sikap Rendy kali ini. untuk pertama kalinya aku melihat ia memohon kepadaku dengan kekecewaan dari wajah tampannya.
"Tidakkah kamu sadar sekali saja Din," ucapnya menatapku.
"Sadar untuk apa Ren? Jelas-jelas aku mencintainya." Jawabku acuh.
"Sadar akan perasaanku yang mencintaimu!" ucap Rendi menatapku dalam. Sontak membuatku ternganga atas ucapan yang dilontarkan Rendy. Aku bingung. Aku tak tahu mengapa Rendy mengucapkan itu. Aku hanya mengira itu sebagai gurau. Namun, menatap mata Rendy membuatku yakin bahwa kali ini dia berkata serius.
"Ren...kita sehabat sejak kecil, aku tidak bisa mengubah hubungan kita lebih dari ini. Aku tidak ingin kehilangan sosok sahabat sepertimu." Jawabku dengan nada rendah. Ada sebercik luka yang aku tuaikan di hati Rendy. Dia tampak kecewa. Dan berlalu meninggalkanku bersama Ice Cream Chocolatenya.
***
Hari-hariku bahagia bersama Bagas. Dia selalu membuat aku merasakan cinta yang sudah lama pergi dari hidupku. Namun, tetap saja ada kekurangan yang aku rasa. Rendy. Entah, aku merasa lebih nyaman bersama Rendy ketimbang Bagas. Sudah hampir sebulan Rendy tidak menghubungiku lagi. Yang aku dengar dia pergi keluar kota karena tugas.
"Aku senang bisa melihatmu tersenyum Din," Ucap Bagas. "Din, minggu ini aku akan pergi ke UK. Setelah pulang aku akan menikahimu." Lanjutnya sambil tersenyum. Entah mengapa aku merasa pedih mendengar berita ini. Aku hanya terdiam dan tak menjawab apapun.
"Din..." Panggil Bagas.
"Jangan pergi, aku tak ingin menunggu lama lagi."
"Aku janji akan segera pulang." Ucapnya tersenyum
"Jika kamu pergi berarti kamu memilih untuk mengakhiri hubungan kita." Ucapku yang terluka.
"Tapi Din, ini tugas besar dan aku tidak mungkin meninggalkannya, tunggu aku din." Ucapnya memohon.
"Aku tahu pilihanmu sekarang Bagas, maaf telah membuatmu merasa bimbang." Aku menghela nafas. Lalu pergi meninggalkan Bagas yang berusaha memohon untuk aku tidak pergi.
***
Sudah hampir dua bulan Rendy baru menghubungiku. Dia memintaku untuk bertemu di Kedai Ice Cream seperti biasanya. Senang rasanya. Yang aku tahu hari ini dia akan memberiku pengumuman penting. Entah apa itu. Bersama segelas Ice Cream Chocolate yang terkulum di mulutku. Kulihat sekeliling ruangan cantik ini lalu menerawang keluar jendela. Aku melihat Rendy melambaikan tangan dan tersenyum. Ah, aku rindu senyumu Rendy. Namun ada yang janggal, ada wanita yang mengikuti Rendy dibelakangnya.
"Hai Din..." Sapa Rendy.
"Loh kok kamu sama Dila adiku?" tanyaku. Dila tersenyum.
"Ini yang aku ingin perkenalkan padamu Din, Dila kekasihku sekaligus adikmu hehe." Ucap Rendy.
Sontak perkataan itu membuatku terkejut. Entah bagiman, tiba-tiba saja aku merasa lemah dan terluka begitu mendengar ucapan Rendy. Oh, Tuhan? Mengapa ini harus terjadi? Disaat aku ingin mengatakan bahwa aku mencintai Rendy? Aku terdiam menahan tangis. Kini segelas Ice Cream Chocolate dihadapanku kian meleleh, Seperti hatiku yang saat ini tengah rapuh dan hancur melihat Rendy bahagia bersama Dila. Adik kandungku sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H