Kupandangi lagi Rendy. Ah, dia memang Rendy yang aku kenal. Aku sungguh bahagia mempunyai sahabat sepertinya. Masih ingat di benakku ketika Rendy menyembuhkan luka hatiku. Luka yang disebabkan oleh seorang yang aku cintai, Â yang kini telah meninggalkanku dan tak pernah kembali. Rendy yang saat itu menghapus air mataku, dia berusaha menenangkanku hingga aku dapat tertawa lagi, bahkan dia mengajakku mampir ke kedai Ice Cream dan akhirnya duduk-duduk di taman kota lama. Andai saat itu tidak ada Rendy, mungkin aku akan sulit untuk sekedar tersenyum bahkan tertawa.
"Sudah Din jangan menangis lagi," ucapnya sambil mengelus rambutku. "Kamu jelek saat menangis." Lanjut Rendy. Spontan aku membesarkan bola mataku karena tidak terima atas perkataan Rendy. Sontak perlakuanku membuat Rendy tertawa terbahak-bahak. Aku tersenyum melihat tingkah laku Rendy. Ah Rendy, kamu yang selalu membuatku tersenyum.
***
Alarmku berbunyi dengan nyaringnya tepat di pukul 07:00, membuat telingaku merasa disiksa dengan bunyi alarm itu. Sebenarnya aku enggan beranjak meninggalkan ranjang kesayanganku ini. Namun, mengingat hari ini Bos mengajakku ke acara pertemuan klien, mau tidak mau aku harus segera meninggalkan aktivitas menyenangkanku ini. Tidur.
Aku menaiki mobil hitam yang Ayah belikan untukku sebagai hadiah birthday dua tahun lalu. Jiwaku masih dilanda malas untuk pergi ke kantor. Padahal ini hari Minggu, dan seharusnya aku dapat melakuakan kegiatan yang aku sukai. Namun, semua itu hanya mimpi di saat aku tidak sedang terlelap.
"Dinda!" aku mendengar ada yang memanggilku dari kejauhan ketika aku hendak memasuki ruang meeting, aku menoleh ke sekitarnya. Pak Hedi rupanya.
"Sudah kamu persiapkan semua Dinda?" tanya Pak Hedi kepadaku.
"Sudah Pak." Jawabku pasti.
Aku dan Pak Hedi memasuki ruang meeting. Aku duduk di sebuah kursi yang letaknya tidak jauh dari Pak Hedi. Bagai karang yang diterpa ombak, aku terkejut dengan kehadiran seorang klien yang duduk tepat di hadapanku. Dia menatapku dan tersenyum. Entah mengapa aku merasa aneh ketika dia memberi senyum kapadaku. Apalagi ketika tidak ada reaksi terkejut setelah melihatku. Dia terus menatapku sambil menuai senyum. Oh, Tuhan! Mengapa aku harus bertemu dia?
"Kenalkan Pak Bagas ini Sekretaris saya, namanya Dinda," ucap Pak Hedi tersenyum. "Dinda akan mengurusi semua keperluan Anda." Lanjut Pak Hedi. Aku terkejut bukan main ketika aku tahu jika aku yang akan membantu dan mengurusi semua keperluannya. Namun aku tidak bisa menolaknya.
Pak Hedi meninggalkan kami berdua. Aku masih terdiam dan enggan untuk memulai perbincangan dengan seorang pria yang sekarang dihadapanku.