Mohon tunggu...
Ula Hana Alya
Ula Hana Alya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hukum Keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Legislasi Hukum Perdata Islam di Indonesia

18 Maret 2024   23:32 Diperbarui: 18 Maret 2024   23:32 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Buku berjudul “Legislasi Hukum Perdata Islam di Indonesia” ini hendak menjelaskan mengenai sejarah pelembagaan Hukum Islam sebagai suatu bagian yang integral dengan sistem Hukum Nasional. Di dalam pembahasannya, disertakan peran serta Busthanul Arifin sebagai sosok yang memiliki peranan dan kontribusi di dalam pelembagaan hukum Islam tersebut di Indonesia. Busthanul Arifin telah memberikan kontribusi pemikiran terhadap perkembangan dan pelembagaan hukum Islam dalam sistem hukum nasional di Indonesia. Menurut Busthanul, pelembagaan (formation) Hukum Islam di Indonesia menghadapi kendala utama akibat pemberlakuan tiga sistem hukum, yaitu Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Sipil Barat. Pendikotomian hukum tersebut menurut Busthanul harus dihapuskan. Busthanul Arifin menegaskan bahwa hukum dapat dijadikan hukum negara, seharusnya bersumber dari norma-norma yang hidup di masyarakat. Hukum Islam dalam hukum nasional tujuannya bermuara kepada maqasid al-shari’ah, sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri untuk kepentingan nasional, yaitu mensejahterakan manusia dan untuk kemaslahatan manusia. Penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh proses pembentukan hukum yang aspiratif, proaktif dan kredibel. Penegakan hukum dipengaruhi oleh substansi hukum, struktural dan kultural, oleh karena itu, Busthanul merupakan salah satu mata rantai yang menjadikan hukum Islam membumi secara teori dan praktek.

BAB 1

Sejarah Legislasi Hukum Perdata Islam di Indonesia

Eksistensi hukum Islam dalam sistem hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perancangan Undang-Undangan, seperti Undang-Undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan perbankan syari’ah. Demikian juga, dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang tidak tertulis itu ada karena dalam praktiknya masih tetap dilaksanakan melalui secara ritual kenegaraan dan keagamaan, seperti doa dalam kenegaraan, Isra Mi‛raj, Nuzul al-Qur’an, Maulid Nabi Muhammad saw, dan acara adat lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam dapat dipahami sebagai fikih Indonesia oleh Busthanul Arifin didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan: Pertama, pertimbangan untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat; Kedua, pertimbangan persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah akan dan sudah menimbulkan antara lain ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’ah Islam itu (tanfiziyah), dan akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainnya; Ketiga, pertimbangan sejarah, di dalam sejarah Islam pernah dua kali di tiga negara, hukum Islam diberlakukan sebagai perancangan Undang-Undangan negara.

Menurut Busthanul, kalau berbicara tentang konflik hukum sipil dengan hukum Islam, maka di Indonesia hukum sipil itu berarti gabungan antara hukum Barat dengan hukum adat. Sementara konflik antara tiga sistem hukum ini masih berlanjut, maka mungkin untuk mudahnya para sarjana hukum Indonesia sekarang selalu mengatakan bahwa hukum nasional Indonesia berunsurkan tiga, yaitu hukum Islam, Adat dan Barat. Adanya ketiga sistem hukum itu di tanah air justru telah menjadi konflik-konflik hukum dalam masyarakat dan sejarah hukum di Indonesia. Konflik-konflik tersebut telah menjadi kendala utama bagi pelembagaan (formation) hukum Islam di Indonesia.

Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional. Pertama, Undang-Undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama, Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-Undang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Wakaf dan Undang-Undang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa Undang-Undang lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari’ah dengan prinsip syari’ahnya, Atau UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang semakin memperluas kewenangannya, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.14 Kedua, Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya. Ketiga, kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris. Keempat, politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia. 15 Realitas politik dalam hal peRancangan UndangUndangan di Indonesia nampak eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan.

BAB II

Biografi Busthanul Arifin

Busthanul Arifin merupakan pakar hukum Islam yang pernah menjadi Hakim Agung selama 26 tahun dengan jabatan terakhir di Mahkamah Agung sebagai Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama. Setelah pensiun dari Mahkamah Agung, pada tahun1995 Busthanul Arifin berkiprah sebagai Penasihat Menteri Agama di Bidang Hukum. Busthanul Arifin dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat, pada tanggal 2 Juni 1929, sebagai anak terakhir dari enam bersaudara putra dari pasangan Andaran Gelar Maharajo Sutan dan Kana. Pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Dasar Belanda, bukan sekolah agama. Namun seperti anak laki-laki lain di Minangkabau, Busthanul kecil melewatkan masa kanak-kanaknya di surau. Di Minangkabau, surau tidak hanya berfungsi sebagai tempat shalat dan transformasi ilmu-ilmu agama belaka. Lebih dari itu, surau memiliki fungsi sebagai wadah transformasi nilai-nilai kebaikan dan keberanian kepada anak-anak. Di surau itulah Busthanul mempersiapkan pelajaran sekolahnya, dan di situ pula ia belajar membaca al-Qur’an. Busthanul Arifin belajar mengaji pada pamannya, Ibnu Abbas. Sebagaimana pengakuannya, kelas dua SD, ia sudah khatam Al-Qur’an. Kehidupan di surau telah memperluas cakrawala pandang Busthanul Arifin. Setelah tamat SD, ia tidak diperbolehkan melanjutkan ke SMP karena satu-satunya SMP terletak di Padang, sementara jarak antara Payukumbuh-Padang waktu itu terasa sangat jauh. Akibatnya, Busthanul Arifin semakin akrab dengan surau. Sesuai dengan naluri anak kecil, ia justru merasa senang. Dua setengah tahun lamanya ia tidak bersekolah. Selama masa itu, pekerjaannya sehari-hari ialah pergi ke sawah, mengaji, belajar silat, dan membaca buku. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, Busthanul Arifin sempat masuk Seinenda yang pola pelatihannya sangat keras. Mungkin karena itu, meskipun baru berusia belasan tahun, Busthanul Arifin diperlakukan sebagai orang dewasa. Ia mulai sering bertabligh. Oleh karena itulah, mau tidak mau, Busthanul terus menambah ilmu-ilmu ke-Islaman, baik melalui bacaan maupun pergaulan.

Penghargaan terhadap pemikiran dan kiprah Busthanul Arifin dalam pelembagaan hukum Islam dan peningkatan wewenang dan kekuasaan Pengadilan Agama dalam sistem hukum nasional, tidak hanya diberikan teman sejawatnya, tetapi juga oleh Lembaga IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Sekarang dikenal dengan UIN Syarif Hidayatullah). Pada tahun 1980, Busthanul dikukuhkan sebagai Guru Besar Luar Biasa pada Fakultas Syari’ah IAIN tersebut. Dan pada 22 Desember 1993, atas usulan PP IKAHA (Pengurus Pusat Ikatan Hakim Agama), IAIN Jakarta menganugerahkan gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) kepada Busthanul Arifin.

Menurut Busthanul, pelembagaan (formation) hukum Islam di Indonesia menghadapi kendala utama akibat pemberlakuan tiga sistem hukum yaitu hukum Adat, hukum Islam dan hukum Barat yang masih mengadopsi politik hukum pemerintah kolonial Belanda. Ia menyarankan, seyogianya konflik-konflik hukum akibat pemberlakuan tiga sistem hukum itu dapat dikelola dengan baik yang dimulai dengan langkah menyamakan ‘bahasa hukum‛, kemudian membuat modifikasi atau kompilasi hukum dalam bahasa hukum nasional.

Busthanul Arifin wafat pada tanggal 22 April 2015 di Jakarta dalam usia 85 tahun. Busthanul telah memberikan sumbangan yang tidak kecil dalam pelembagaan hukum Islam, terutama dalam peningkatan wewenang kekuasaan Pengadilan Agama dan upaya legislasi hukum perdata Islam ke dalam sistem hukum nasional.

BAB III

Busthanul Arifin dan Peta Perjalanan Legislasi Hukum Islam Di Indonesia

Sebagai praktisi hukum, Busthanul mengalami sendiri beberapa peristiwa yang miris dan mencitrakan Pengadilan Agama yang tidak sesuai dengan fungsinya sebagai sebuah pengadilan. Ketika ia menjadi hakim di Semarang, ia memimpin sebuah sidang ‘sumpah mimbar’ di Masjid Besar di Semarang. Sumpah mimbar ini merupakan cara pengucapan sumpah dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri atas permintaan salah satu pihak yang berperkara, yang dilaksanakan di mimbar masjid. Pihak yang akan mengangkat sumpah tersebut terlebih dahulu dikafani seperti mayat, lalu mengucapkan sumpah. Sumpah ini dilakukan di depan hakim yang mengetuai sidang perkara tersebut dan dilaksanakan dengan juru sumpahnya ketua Pengadilan Agama setempat.

Yang menjadi keprihatinan Busthanul adalah bahwa ketika ia bersama rombongan Pengadilan Negeri datang ia disambut secara berlebihan oleh ketua PA. Ketika ia akan membuka sepatu, ketua PA itu buru-buru membungkukkan badan untuk melepaskan sepatu Busthanul dan meletakkannya di tempat penyimpanan sepatu. Meskipun Busthanul melarangnya, karena mereka sama-sama hakim yang sederajat, ketua PA tersebut sudah terlebih dahulu mengambil sepatu Busthanul dan meletakkannya pada tempatnya. Menurut Busthanul, sikap ini mirip seperti yang terjadi pada masa-masa penjajahan Belanda, karena ada anggapan bahwa Busthanul adalah hakim Landraad (Pengadilan zaman Belanda). Ini sekaligus memperlihatkan kepadanya dengan nyata bahwa pengaruh cara berpikir Belanda sangat kuat membentuk pemikiran hakim Pengadilan Agama, sehingga mereka mengalami rasa minder berhadapan dengan hakim Pengadilan Negeri. Pengalaman lain adalah ketika ia diangkat menjadi Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama (Tuada Uldilag) Mahkamah Agung. Ada seorang kawannya, Panitera di Mahkamah Agung, mengabarkan pengangkatannya sebagai Tuada Uldilag. Namun, setelah itu kawannya tersebut melanjutkan bahwa Busthanul ‛cuma mengurus Peradilan Agama. Kata-kata ini mengisyaratkan bahwa di kalangan masyarakat intelektual terdidik juga terdapat sikap meremehkan terhadap Peradilan Agama.

Ada tiga usaha yang hendak dilakukan Busthanul, yakni ;

1. Memasarkan Pengadilan Agama, yaitu memperkenalkan Pengadilan Agama yang walaupun telah berusia lebih dari seratus tahun, akan tetapi keberadaannya masih ditaburi dengan kesalahmengertian dari semua pihak, baik pihak nonIslam maupun pihak Islam sendiri;
2. Konsep untuk pemantapan hukum yang berlaku yaitu tentang tiga tonggak yang menopang tegaknya hukum yang diambil dari doktrin hukum nasional yang diperkenalkan oleh Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN) yang ketuanya waktu itu adalah DR Teuku Radie SH;
3. Kompilasi Hukum Islam, yang ternyata sudah diperdengarkannya hampir 20 tahun sebelumnya, ketika Busthanul menjadi Ketua Pengadilan Tinggi di Banjarmasin (1967) dalam satu ceramah di sana.
Busthanul memakai istilah pemasaran, untuk konsep pertama, karena kalau diandaikan Pengadilan Agama ini sebagai komoditi, maka komoditi itu haruslah dipoles dan dibungkus dengan rapi supaya menarik pembeli dan pemakai. Memang Pengadilan Agama, seperti halnya dengan Hukum Islam, perlu dirapikan dan dipresentasikan dengan baik, karena kekuatan-kekuasaan sejarah yang melanda umat Islam telah begitu merusak citra dan pengertian tentang Hukum Islam itu sendiri Lebih-lebih lagi sejak negeri-negeri Islam jatuh dalam penjajahan bangsa Barat, mereka yang membawa dan ingin memaksakan budaya dan agamanya kepada bangsa-bangsa yang beragama Islam. Begitu yang terjadi di Dunia Islam umumnya dan di Indonesia kita ini.

Pembicaraan Rancangan Undang-Undang ini menjadi Undang-Undang menjadi sangat alot dan tajam. Banyak tantangan dan protes yang datang, tidak hanya dari golongan non-Muslim, tetapi juga dari golongan umat Islam sendiri yang sudah terkontaminasi oleh cara berpikir Belanda. Golongan non-Muslim menyatakan bahwa keberadaan Undang-Undang Peradilan Agama akan berbahaya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan disahkannya UndangUndang Peradilan Agama akan muluslah usaha umat Islam untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam. Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa Undang-Undang ini merupakan realisasi Piagam Jakarta dan berbahaya bagi persatuan dan kesatuan RI.

Yang menarik dari pengalaman Busthanul ketika ikut memperjuangkan Rancangan Undang-Undang PA adalah keberhasilannya meyakinkan Presiden Soeharto. Ini adalah modal penting, sebab Soeharto ketika itu adalah penguasa yang sangat ditakuti. Masa itu dapat dikatakan sebagai puncak kekuasaan Soeharto. Kepada Soeharto Busthanul meyakinkan bahwa Rancangan Undang-Undang PA adalah bagian dari pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kehidupan berbangsa. Orangorang yang menentang Rancangan Undang-Undang PA justru yang harus diragukan sikap mereka terhada Pancasila. Busthanul benar, karena Pancasila dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengakomodasi pelaksanaan ajaran agama bagi pemeluknya.

Penyusunan Kompilasi Hukum Islam

Busthanul adalah pencetus gagasan dasar Kompilasi Hukum Islam. Menurutnya, gagasan ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat. Selain itu, persepsi yang tidak seragam tentang syari`ah akan dan sudah menyebabkan ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu, yang berentet pada ketidakjelasan.

Adapun hukum nasional yaitu hukum atau peraturan perancangan Undang-Undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional Negara, yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 atau hukum yang dibangun di atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri, yang bersumber dari nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang. Menurut Busthanul, setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, kita belum berhasil memiliki sistem hukum nasional sendiri. Dalam rangka inilah, Busthanul tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam. Ia berusaha keras mencurahkan segala kemampuannya untuk memposisikan hukum Islam pada proporsinya, sehingga untuk mewujudkan cita-citanya perlu adanya pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia secara Yuridis formal diakui sebagai hukum positif bagi warga muslim. Usaha itu mendapat sambutan dan ketidakmampuan umat Islam menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perancangan Undang-Undang lainnya.

Menurut Busthanul, setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, kita belum berhasil memiliki sistem hukum nasional sendiri. Dalam rangka inilah, Busthanul tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam. Ia berusaha keras mencurahkan segala kemampuannya untuk memposisikan hukum Islam pada proporsinya, sehingga untuk mewujudkan cita-citanya perlu adanya pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia secara Yuridis formal diakui sebagai hukum positif bagi warga muslim. Usaha itu mendapat sambutan yang baik dari banyak kalangan sampai terwujudnya pengkodifikasian Hukum Islam (KHI) melalui Inpres No.1 tahun 1991, serta penguatan peranan posisi Peradilan Agama yang sejajar dengan peradilan lainnya. Ikhtiar melahirkan Undang-Undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, tidak terlepas dari peranan Busthanul sebagai penggagas.

Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum nasional. Hal itu dikarenakan munculnya berbagai problem dan masalah-masalah aktual di masyarakat. Beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:pertama, Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan masyarakat merupakan cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris; kedua, Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia; ketiga, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.

Eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan peRancangan Undang-Undangan, seperti Undang-Undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan perbankan syari’ah.Dalam rangka membangun hukum nasional itu pemerintah menetapkan kebijakan untuk memanfaatkan tiga sistem hukum yang eksis (living law) di Indonesia, yaitu sistem hukum adat, Islam dan Barat (Belanda) sebagai bahan bakunya.

Suatu hal yang perlu dicermati dalam pembentukan hukum nasional adalah bahwa diterimanya hukum Islam masuk ke dalam hukum nasional bukan hanya karena hukum Islam yang diikuti mayoritas bangsa Indonesia, tetapi karena memang mampu memenuhi tuntutan keadilan hukum dan kemaslahatan bagi masyarakat. Hukum Islam yang masuk ke dalam hukum nasional, bisa jadi tidak lagi menggunakan label Islam dan juga tidak lagi menjadi milik umat Islam saja tetapi menjadi milik bangsa Indonesia.Pakar hukum Islam harus mampu menggali nilai universal dari hukum Islam untuk disumbangkan menjadi hukum nasional, supaya tidak akan menghadapi kendala penolakan dari kelompok tertentu yang berseberangan ideologi keimanannya. Oleh karenanya membumikan asas-asas hukum Islam dan istinbath ahkam menempati posisi yang strategis, dibandingkan tuntutan hukum Islam yang formalistik.

Integrasi ajaran Islam dengan kondisi sosio-kultural lokal dalam sebuah produk fikih memang tidak bisa dielakkan.Integrasi hukum merupakan suatu keniscayaan dalam fikih untuk memberikan ruang, bahwa KHI seluruhnya bersumber kepada hukum Islam dengan memperhatikan hukum yang hidup di kalangan umat Islam Indonesia dan memelihara ruh syari’at.

Posisi Busthanul Arifin dalam Peta Perjalanan Legislasi Hukum Islam di Indonesia

Setelah Indonesia merdeka telah ada upaya-upaya untuk menghapus pertentangan semu antara hukum Islam dan hukum adat serta hukum positif. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, sejak tahun 1940 sudah mengumandangkan gagasan hukum Islam yang berwawasan keIndonesiaan. Menurutnya, umat Islam Indonesia boleh saja mengambil ketetapan fiqh hasil ijtihad yang lebih sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia, agar fiqh tidak menjadi barang asing dalam masyarakat Indonesia dan tidak diperlakukan sebagai barang antik. Ia menyatakan bahwa meskipun mayoritas bermazhab Syafi`i, umat Islam Indonesia dapat menerima pendapat Ahmad ibn Hanbal, kalau mereka melihat pendapat tersebut lebih cocok buat kondisi dan lingkungan sosial masyarakat Indonesia.

Busthanul adalah salah satu mata rantai yang mencoba menjadikan hukum Islam benar-benar membumi dalam masyarakat Islam Indonesia dan menjadi bagian dari unsur terpenting pembentukan hukum Nasional. Busthanul, secara teori dan praktik, ingin menghapus dikotomi antara hukum Islam dan hukum Negara. Karena itu, upaya yang mutlak diperlukan adalah meyakinkan kepada publik bahwa hukum Islam yang diterapkan di Indonesia adalah yang sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia, bukan hukum Islam yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh abad pertengahan yang masih bercorak Arab oriented.

Busthanul pernah menyampaikan kecamannya terhadap seorang ulama terkenal yang melakukan pernikahan di luar yang diatur oleh Negara. Menurut ulama tersebut, ia menikah berdasarkan pendapat ulama yang ia pahami dan ikuti. Jadi, pernikahannya sah menurut ulama tersebut. Pemikiran ini menurut Busthanul menyesatkan karena bangsa Indonesia telah memiliki kodifikasi hukum perkawinan. Kalau pemikiran ulama tersebut diikuti, maka tidak ada kepastian hukum, dan semua orang bisa mengaku mengikuti pendapat mazhab atau ulama tertentu, sesuai dengan seleranya. Ini tentu pandangan yang berbahaya dan merugikan bagi perempuan Indonesia.

Melihat pemikiran dan karier Busthanul, ada beberapa hal yang layak dicatat: Pertama, Busthanul merupakan sosok yang unik. Ia sama sekali secara formal tidak dididik dalam ilmu-ilmu keagamaan. Barangkali ilmu agama yang menjadi bekal baginya adalah ketika ia belajar di surau di kampungnya Minangkabau. Di sinilah intensitas internalisasi nilai-nilai agama begitu dalam pada diri Busthanul muda. Dalam pendidikan di surau ini Busthanul memperoleh pendidikan keberanian, kejujuran, sikap pantang menyerah dan dasar-dasar agama. Hal ini kelak menjadi bekal baginya ketika menghadapi realitas sesungguhnya dalam masyarakat. Meskipun dididik sebagai sarjana hukum umum, ia memiliki komitmen keIslaman yang kukuh dan konsisten. Kedua, untuk mengasah wawasan keIslamannya, Busthanul tidak segan-segan belajar kepada ulama. Karena itu, di mana pun ia ditugaskan, ia senantiasa menjalin silaturrahim dengan para ulama. Ia memandang ulama sebagai sosok yang tawadhu’ memiliki keluasan dan kedalaman ilmu, namun tidak memiliki power untuk membawa masuk tuntunan-tuntunan ajaran agama ke dalam sistem hukum nasional. Karena itu, dengan melakukan silaturrahim dan dialog dengan ulama, ia dapat menyerap aspirasi-aspirasi dari mereka dan mencoba merealisasikannya ke dalam legislasi. Ketiga, ia juga memiliki kelebihan lain dari para tokoh Islam sebelumnya, baik kalangan akademisi maupun politisi.

Busthanul adalah seorang hakim karir yang mengetahui seluk-beluk hukum dengan baik. Ia tidak hanya bicara wacana, tetapi juga tidak terjebak pada simbolisasi Islam ke dalam politik kekuasaan. Ia merasakan sendiri benturan-benturan yang dilakukan Belanda terhadap sistem hukum Indonesia. Karena itu, dengan kepakarannya, Busthanul berusaha menghilangkan benturan-benturan tersebut, meskipun ketika ia berkiprah Orde Baru masih belum sepenuhnya bersahabat dengan umat Islam.

BAB IV

Hukum Islam Mazhab Indonesia

Ketika berbicara tentang hukum Islam, maka yang dimaksud adalah fikih yang bersifat relatif tersebut. Namun demikian, Busthanul menyatakan bahwa hukum Islam yang diwarisi sekarang ini terlalu panjang sejarahnya, bahkan telah melalui‚ Siffin dan Padang Karbala, telah melalui Dinasti Bani Umaiyah, Bani Abbasiyah, Turki Usmani dan lain-lain. Lagi pula, pewarisan hukum Islam adalah berupa paket-paket kental yang dikenal dengan mazhab-mazhab dan aliran-aliran.

Kemudian perkembangan dan penyampaian hukum Islam itu berjalan melalui kitab-kitab hukum yang ditulis imam-imam mazhab dan ulama-ulama mujtahid, dan seterusnya dilanjutkan ulama-ulama angkatan sesudahnya. Hukum Islam yang kita warisi di Indonesia adalah hukum Islam dari periode taklid yang berlangsung lebih dari delapan abad-114 Sampai sekarang umat Islam di Indonesia, bahkanseluruh dunia Islam, belum sepenuhnya keluar dari warisan periode ini dan masuk ke periode taknin.

Adapun hukum nasional yaitu hukum atau peraturan perancangan Undang-Undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional Negara, yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 atau hukum yang dibangun di atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri, yang bersumber dari nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang. Menurut Busthanul, setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, kita belum berhasil memiliki sistem hukum nasional sendiri.Dalam rangka inilah, Busthanul tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam. Di samping itu, ia selalu berada di garda depan, penarik gerbong aspirasi umat Islam dalam sistem hukum nasional di Indonesia, sehingga salah satu perjuangannya dengan di dukung oleh semua pihak, Rancangan Undang-Undang-PA disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Kenyataan hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia ini menggambarkan bahwa setelah Indonesia merdeka, kemudian didorong oleh kesadaran hukum akibat ketertindasan selama masa penjajahan dan selama masa revolusi, maka diperjuangkan perwujudan hukum Islam itu agar eksis dalam tata hukum nasional. Eksistensi hukum Islam dalam tata hukum nasional ini nampak melalui berbagai peraturan dan peRancangan Undang-Undangan yang berlaku saat ini

BAB V

Keberlakuan Hukum Perdata Islam di Indonesia

Hukum Islam, secara materi harus dipahami sebagai nilai-nilai ajaran universal, dinamis dan dapat diterapkan ke dalam situasi apa pun dan dalam keadaan apa pun. Hukum Islam hendaknya tidak dipahami sebagai ajaran yang tidak tertutup, dan dapat menyesuaikan untuk perubahan. Umat Islam diakui secara kuantitas, merupakan masyarakat yang mendominasi dalam kelembagaan kepemerintahan. Umat Islam harus mempunyai kesepakatan untuk melakukan dan mengendalikan political act dan mengarah ke political will, sehingga hukum nasional bisa terbentuk didasarkan kepada hukum agama

Pembentukan hukum Islam menjadi hukum nasional pada suatu negara, merupakan langkah untuk menemukan kesesuaian antara hukum Islam dengan hukum nasional. Kesesuaian ditujukan agar terhindar dari konflik, yaitu sebagai orang yang mempunyai tanah air dan cinta dengan tanah airnya, sekaligus orang tersebut adalah orang yang beragama Islam, yang mempunyai keyakinan harus taat terhadap ketentuan agamanya. Hukum yang dilandaskan kepada ajaran Islam di Indonesia, menjadi keharusan, mengingat penduduk Indonesia merupakan kelompok mayoritas. Pembentukan hukum nasional, meskipun dilandaskan kepada ajaran Islam, harus meperhatikan aspek heteroginitas bangsa yang terdiri dari berbagai macam agama. Pembentukan hukum nasional yang dilandaskan kepada ajaran Islam, tidak dapat dilaksankan secara keseluruhan. Ketentuan hukum Islam yang perlu dijadikan hukum nasional adalah hukum pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara dan berkorelasi dengan ketertiban umum.

Islam sendiri menjadi agama mayoritas masyarakat Indonesia. Posisi tersebut justru menjadikan Islam sebagai salah satu agama yang paling berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat. Norma-norma hukum yang telah dituangkan dalam aturan-aturan hukum, dan menjadi bagian dari tata hukum suatu negara menuntut agar masyarakat menyesuaikan tindak laku mereka dalam masyarakat dengan norma-norma hukum yang telah menjadi aturan tersebut.

Posisi hukum Islam dalam hukum nasional adalah sebagai sumber materi pokok dan sekaligus sebagai penyaring bahan-bahan dalam pembangunan hukum nasional. Cara memposisikan hukum Islam dalam hukum nasional adalah melalui dua cara yang saling berkaitan. Pertama, secara materiil, yaitu bahwa hukum Islam harus dipahami sebagai nilai-nilai ajaran universal, dinamis dan dapat diterapkan di dalam segala jaman dan keadaan, serta tidak dipahami sebagai ajaran yang kolot, statis, dan tertutup. Kedua, secara formal, yaitu bahwa umat Islam yang secara kuantitas telah dapat mendominasi dalam kelembagaan dan kepemerintahan harus dapat bersepakat dalam mengendalikan political act dan mengarah ke political will.

Adapun tujuan dari pembentukan hukum Islam menjadi hukum nasional adalah salah satu langkah untuk menemukan kesesuaian antara hukum Islam dengan hukum nasional. Kesesuaian akan menghindari konflik dalam diri segenap muslim yang ingin taat dengan agamanya dan cinta terhadap tanah airnya. Selain itu, perbedaan dalam fikih akan dapat dihindari dengan pembentukan hukum Islam menjadi hukum nasional. Pembentukan hukum Islam di Indonesia mutlak diperlukan mengingat penduduk Indonesia dalam catatan statistik merupakan kelompok mayoritas. Meskipun demikian, pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasional mesti memerhatikan aspek heteroginitas bangsa yang terdiri dari berbagai macam agama.Pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasional tidak seluruhnya perlu dilakukan.Ketentuan hukum Islam yang perlu dijadikan hukum nasional adalah hukum pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara dan berkorelasi dengan ketertiban umum.

BAB VI

Hukum Perdata Islam dalam Realitas Hukum Perdata Nasional

Eksistensi hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum nasional. Hal itu dikarenakan munculnya berbagai problem dan masalah-masalah aktual di masyarakat. Beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu: pertama, Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan masyarakat merupakan cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari’ah atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris; kedua, Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia; ketiga, jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dan cukup berpengaruh untuk mengakomodasi kepentingannya.

Ketegangan antara kaum tradisional dan modernis sebagai dua kutub ektrem ini hampir terjadi disemua negara Islam dalam merespon adanya kontak dengan barat modern.maka dalam sistem hukum golongan trdisional tetap ingn mempertahankan hukum Islam yang biasanya berasal fiqih sebagai produk pemikiran ahli hukum awal, sedangkan kaum modernis terutama yang mengarah pada sekuleris menghadapi sistem hukum barat, maka beberapa negara terdapat ambivalensi terhadap penggunaan hukum barat dan Islam.sehingga terdapat negara yang menganut code penal (hukum pidana barat) dan menetapkan hukum perdata Islam yang hanya terbatas juridiksi hukum keluarga, kewarisan, dan perwakilan seperti di Mesir dan Indonesia

Eksistensi Peradilan Agama sangat berarti bagi umat Islam Indonesia, terutama dalam menegakkan pelaksanaan hukum Islam yang bersifat formal yuridis. Namun, keberadaan Peradilan Agama ini belum bisa menjamin berlakunya hukum Islam tersebut dengan baik jika tidak ditunjang oleh kesadaran yang tinggi dari umat Islam sendiri. Perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama, harus diakui sangat terbatas, yakni hanyalah masalah-masalah keperdataan. Hingga sekarang ini belum ada upaya yang jelas yang mengarah kepada perluasan kewenangan Peradilan Agama. Bidang kewenangan yang sebenarnya sangat pokok dan segera untuk ditangani sampai sekarang belum pernah disinggung-singgung dalam wacana perdebatan nasional, yakni masalah pidana (hukum pidana). Semakin banyaknya tindak kriminalitas di negara kita saat ini barangkali juga akibat tidak adanya penanganan yang jelas dalam masalah ini, terutama dalam menerapkan sanksi terhadap tindakan kriminalitas tersebut

Hukum dapat dilihat dari sisi keberlakuannya secara sosiologis. Keberlakuan hukum dapat berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau dibentuk dengan cara yang telah ditetapkan sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Hukum berlaku secara sosiologis apabila kaidah hukum efektif, yaitu diterima dan diakui oleh masyarakat, serta hukum berlaku secara filosofis jika sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Secara sosiologis KHI merupakan penyerapan dari nilai-nilai yang berada dalam masyarakat Indonesia, yang mayoritas adalah umat Islam. Nilai-nilai yang ada dalam KHI secara otomatis dapat diterima oleh masyarakat. Disisi lain hegemonis negara yang sangat kuat di Indonesia dapat memberlakukan secara paksa adanya KHI sebagai rujukan penyelesaian masalah hukum bagi Peradilan Agama.

BAB VII

Penegakan Hukum Perdata Islam dalam Realitas Hukum Perdata Nasional

Norma hukum tetap diakui selama norma tersebut merupakan bagian dari tatanan hukum yang valid yang dibentuk berdasarkan konstitusi yang valid. Jika konstitusi yang pertama valid, maka semua norma yang telah dibentuk menurut cara yang konstitusional adalah valid juga. Untuk menilai apakah peraturan perancangan Undang-Undangan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap individu, digunakan indikator validitas kewajiban hukum dan sanksi. Konsep kewajiban merupakan suatu konsep khusus dari lapangan moral yang menunjuk kepada norma moral dalam hubungannya dengan individu terhadap siapa tindakan tertentu diharuskan atau dilarang oleh norma tersebut. Kewajiban hukum semata-mata merupakan norma hukum dalam hubungannya dengan individu yang terhadap perbuatannya itu diletakkan sanksi. Sanksi diberikan oleh tata hukum dengan maksud untuk menimbulkan perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh pembuat Undang-Undang.Sanksi hukum memiliki karakter sebagai tindakan yang memaksa.

Diperlukan pikiran, ide, gagasan bahkan gerakan untuk memformulasikan hukum Islam khas Indonesia telah dirintis bersamaan dengan pembaharuan pemikiran Islam secara keseluruhan di tengah kecenderungan pemikiran pembaharuan hukum yang didominasi oleh pendekatan konvensional-parsial. Ragam produk pembaharuan pemikiran hukum Islam di Indonesia. Fikih merupakan bentuk pemikiran hukum yang berkembang di Indonesia, yaitu bangunan pengetahuan yang meliputi ibadah dan muamalah secara menyeluruh. Bentuk pemikiran hukum yang lain yaitu fatwa. Fatwa merupakan produk pemikiran hukum perorangan atau kelembagaan atas dasar permintaan anggota masyarakat terhadap persoalan tertentu. Produk pemikiran hukum yang bersumber dari pengadilan, produk hukum ini bersifat mengikat pihak-pihak yang berperkara. Ijtihad hakim memiliki nilai yurisprudensi, yakni sebagai acuan hakim atau praktisi hukum dalam menyelesaikan persoalan hukum yang sama. Produk pemikiran hukum yang terakhir adalah peraturan perancangan Undang-Undangan termasuk Kompilasi Hukum Islam. Sebagai pengejawantahan dari konsep taqnin, ia memiliki keterbatasan, terutama cakupan materinya (perkawinan, kewarisan, perwakafan).

Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati oleh mayoritas penduduk dan masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, dan merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang eksis dalam kehidupan hukum nasional, serta merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya. Hukum Islam juga memasuki produk hukum nasional di luar hukum keluar, seperti adanya tanah milik agama dalam Undang-Undang pokok agraria yang kemudian dijelaskan dengan peraturan pemerintah tentang wakaf tanah milik termasuk dalam bentuk ini. Adanya sistem bank bagi hasil sebagai wujud baru dari fikih mudlarabah dalam Undang-Undang perbankan, adanya makanan halal dalam Undang-Undang pangan menunjukkan telah masuknya fikih dalam produk hukum nasional. Adanya larangan peredaran minuman keras adalah jawaban nyata dari produk hukum nasional atas tuntutan hukum Islam. Bila hukum Islam memasuki wilayah hukum di luar hukum keluarga, memberi isyarat akan masuknya hukum Islam dalam bidang pidana yang pada saat ini masih proses legislasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun