Mohon tunggu...
Ula Hana Alya
Ula Hana Alya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hukum Keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Legislasi Hukum Perdata Islam di Indonesia

18 Maret 2024   23:32 Diperbarui: 18 Maret 2024   23:32 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyusunan Kompilasi Hukum Islam

Busthanul adalah pencetus gagasan dasar Kompilasi Hukum Islam. Menurutnya, gagasan ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat. Selain itu, persepsi yang tidak seragam tentang syari`ah akan dan sudah menyebabkan ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu, yang berentet pada ketidakjelasan.

Adapun hukum nasional yaitu hukum atau peraturan perancangan Undang-Undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional Negara, yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 atau hukum yang dibangun di atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri, yang bersumber dari nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang. Menurut Busthanul, setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, kita belum berhasil memiliki sistem hukum nasional sendiri. Dalam rangka inilah, Busthanul tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam. Ia berusaha keras mencurahkan segala kemampuannya untuk memposisikan hukum Islam pada proporsinya, sehingga untuk mewujudkan cita-citanya perlu adanya pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia secara Yuridis formal diakui sebagai hukum positif bagi warga muslim. Usaha itu mendapat sambutan dan ketidakmampuan umat Islam menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perancangan Undang-Undang lainnya.

Menurut Busthanul, setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, kita belum berhasil memiliki sistem hukum nasional sendiri. Dalam rangka inilah, Busthanul tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam. Ia berusaha keras mencurahkan segala kemampuannya untuk memposisikan hukum Islam pada proporsinya, sehingga untuk mewujudkan cita-citanya perlu adanya pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia secara Yuridis formal diakui sebagai hukum positif bagi warga muslim. Usaha itu mendapat sambutan yang baik dari banyak kalangan sampai terwujudnya pengkodifikasian Hukum Islam (KHI) melalui Inpres No.1 tahun 1991, serta penguatan peranan posisi Peradilan Agama yang sejajar dengan peradilan lainnya. Ikhtiar melahirkan Undang-Undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, tidak terlepas dari peranan Busthanul sebagai penggagas.

Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum nasional. Hal itu dikarenakan munculnya berbagai problem dan masalah-masalah aktual di masyarakat. Beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:pertama, Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan masyarakat merupakan cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris; kedua, Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia; ketiga, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.

Eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan peRancangan Undang-Undangan, seperti Undang-Undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan perbankan syari’ah.Dalam rangka membangun hukum nasional itu pemerintah menetapkan kebijakan untuk memanfaatkan tiga sistem hukum yang eksis (living law) di Indonesia, yaitu sistem hukum adat, Islam dan Barat (Belanda) sebagai bahan bakunya.

Suatu hal yang perlu dicermati dalam pembentukan hukum nasional adalah bahwa diterimanya hukum Islam masuk ke dalam hukum nasional bukan hanya karena hukum Islam yang diikuti mayoritas bangsa Indonesia, tetapi karena memang mampu memenuhi tuntutan keadilan hukum dan kemaslahatan bagi masyarakat. Hukum Islam yang masuk ke dalam hukum nasional, bisa jadi tidak lagi menggunakan label Islam dan juga tidak lagi menjadi milik umat Islam saja tetapi menjadi milik bangsa Indonesia.Pakar hukum Islam harus mampu menggali nilai universal dari hukum Islam untuk disumbangkan menjadi hukum nasional, supaya tidak akan menghadapi kendala penolakan dari kelompok tertentu yang berseberangan ideologi keimanannya. Oleh karenanya membumikan asas-asas hukum Islam dan istinbath ahkam menempati posisi yang strategis, dibandingkan tuntutan hukum Islam yang formalistik.

Integrasi ajaran Islam dengan kondisi sosio-kultural lokal dalam sebuah produk fikih memang tidak bisa dielakkan.Integrasi hukum merupakan suatu keniscayaan dalam fikih untuk memberikan ruang, bahwa KHI seluruhnya bersumber kepada hukum Islam dengan memperhatikan hukum yang hidup di kalangan umat Islam Indonesia dan memelihara ruh syari’at.

Posisi Busthanul Arifin dalam Peta Perjalanan Legislasi Hukum Islam di Indonesia

Setelah Indonesia merdeka telah ada upaya-upaya untuk menghapus pertentangan semu antara hukum Islam dan hukum adat serta hukum positif. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, sejak tahun 1940 sudah mengumandangkan gagasan hukum Islam yang berwawasan keIndonesiaan. Menurutnya, umat Islam Indonesia boleh saja mengambil ketetapan fiqh hasil ijtihad yang lebih sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia, agar fiqh tidak menjadi barang asing dalam masyarakat Indonesia dan tidak diperlakukan sebagai barang antik. Ia menyatakan bahwa meskipun mayoritas bermazhab Syafi`i, umat Islam Indonesia dapat menerima pendapat Ahmad ibn Hanbal, kalau mereka melihat pendapat tersebut lebih cocok buat kondisi dan lingkungan sosial masyarakat Indonesia.

Busthanul adalah salah satu mata rantai yang mencoba menjadikan hukum Islam benar-benar membumi dalam masyarakat Islam Indonesia dan menjadi bagian dari unsur terpenting pembentukan hukum Nasional. Busthanul, secara teori dan praktik, ingin menghapus dikotomi antara hukum Islam dan hukum Negara. Karena itu, upaya yang mutlak diperlukan adalah meyakinkan kepada publik bahwa hukum Islam yang diterapkan di Indonesia adalah yang sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia, bukan hukum Islam yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh abad pertengahan yang masih bercorak Arab oriented.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun