Mohon tunggu...
Unnu Hartomo
Unnu Hartomo Mohon Tunggu... Wiraswasta bidang engineering -

Design engineer with mechanical engineering background.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perlukah Peran Pemerintah dalam Pembentukan Mental Penduduknya?

17 Mei 2017   07:21 Diperbarui: 17 Mei 2017   17:12 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

      Orang Jerman umumnya sangat anti padasegala hal yang non-prosedural, bahkan sampai hal yang sekecil apapun juga.Semua harus jelas dan sesuai aturan baku yang berlaku. Mereka secara umum,sangat anti terhadap manipulasi dan penyimpangan dari prosedur resmi. 

     Berbeda dengan di Indonesia, segalasesuatu sangat rawan manipulasi, banyak jalur prosedural resmi dipotong,dilewati, ditiadakan atau dibolak balik seenaknya. Bila hal ini terjadi dibanyak sektor dan bidang, tentu akan menjadi suatu awal kekacauan sistem.Contoh-contoh sederhana:

·        Ketika di Jerman dulu,saya pernah memfotocopy kumpulan berkas yang akan saya jilid pada salah satutempat fotocopy. Pada daftar harga tertulis 3 jilid seharga sekitar 5 euro-an.Saat itu saya hanya butuh 1 jilid copian saja dan sangat terburu-buru karenadeadline, sehingga saya meminta 1 jilid saja. Secara teori sebenarnya sangatmudah, yaitu tinggal membagi 3 saja untuk 1 jilid copian. Namun pekerja di tokofotocopy itu tetap bersikeras harus 3 jilid sekaligus, karena bos tempatnyabekerja sudah menuliskan demikian. Kalau di Indonesia mungkin akan mudah sajalangsung dibagi 3;

·        Di Jerman jumlah wargamuslimnya termasuk besar, karena banyak komunitas Turki dan Maroko yang adasejak selesai perang dunia kedua. Mesjid pun sangat mudah ditemui. Bahkan dikampus saya juga ada. Dulu pernah ada seseorang, saya tidak tahu dari manaasalnya akan menyampaikan kotbah di mimbar masjid. Namun dicegat olehsekelompok jamaah dan ditanyakan apakah dia punya sertifikat kelulusan sebagaiseorang pengotbah di masjid? Ternyata tidak ada dan akhirnya tidakdiperkenankan berkutbah. Saya juga menanyakan mengapa dia tidak boleh kutbah.Informasi yang saya dapat adalah di Jerman semua profesi ataupun keahlian harusada standarnya, harus ada sertifikat yang membuktikan orang tersebut telahmengikuti proses pendidikan resmi dan lulus di Jerman untuk menjadi seorangahli kutbah. Malah saya diberitahu, sebelum bisa jadi pengutbah seutuhnya harusmagang dulu 2 tahunan dari masjid ke masjid di bawah pengawasan ahli kutbah.Berbeda dengan di Indonesia tanpa bukti keilmuan dan standar apapun jugaseseorang bisa berkutbah, yang penting kelihatan sangat ahli di bidang agama;

·        Di Jerman, ketika akanmembuka suatu restaurant atau rumah makan, maka orang tersebut harus mengikutipendidikan khusus tentang proses penanganan bahan pangan yang benar danhigienis dan biasanya harus di-training dan magang dulu selama 2 tahunan. Berbedadengan di Indonesia, kapanpun kita mau bisa langsung buka rumah makan denganijin-ijin yang relative mudah dan tanpa standar pengolahan pangan yang jelas.

III.            Kebebasan Media Massa yang Terbatas

        Dulu sebelum saya ke Jerman, sayaselalu beranggapan bahwa kehidupan orang barat, entah itu di Eropa ataupun diAmerika adalah super bebas. Saya waktu itu malah merasa senang bisa pergi kesalah satu negara maju tersebut yang tentunya lebih bebas, maksudnya bukandalam hal free sex-nya, tapi lebihluas lagi, bebas berekspresi dalam segala hal. Namun ternyata kenyataannya ketikadi Jerman sangat bertolak belakang dari yang saya bayangkan. 

        Di Jerman kita memang bisa bebasberekpresi dalam segala hal, namun harus tetap bertanggung jawab dengan apayang sudah diperbuat dan harus sesuai aturan hukum, malah terasa sangat ketat.Orang Jerman selalu tahu kapan dan di mana untuk berbuat sesuatu apapun juga.Kita bebas berekspresi tapi tidak boleh melanggar aturan hukum dan kepentinganorang lain alias harus selalu peduli dengan orang lain. Media massa pun padasaat itu sangat dikontrol oleh pemerintah. Beberapa contoh yang saya alamiselama 2003-2013:

·        Pernah ada kejadian disalah satu kota di Jerman serangan terhadap kelompok tentara niliter, seranganini termasuk brutal dan dilakukan oleh kelompok minoritas dari kawasan pendudukdengan agama tertentu. Paginya beberapa saat setelah kejadian beritanya begitugencar di semua media massa. Namun menjelang siang dan seterusnya, beritanyatidak semakin diperbesar malah hilang sama sekali. Bisa dibayangkan jika terusdiberitakan oleh media massa, maka bisa saja terjadi kerusuhan antar kelompok.Padahal serangan ini dilakukan oleh kelompok minoritas di Jerman. Jikapemerintah Jerman membiarkan sebenarnya tidak masalah juga karena ini darikelompok minoritas bukan penduduk Jerman asli yang merupakan mayoritas;

·        Kejadian berikutnyaadalah pembunuhan terhadap wanita dari kelompok minoritas dengan agama tertentuyang diserang oleh sesorang dari kelompok mayoritas Jerman. Sama sepertisebelumnya awalnya beritanya begitu gencar dan dengan cepat hilang sama sekalibak ditelan bumi.

      Dan masih banyak lagi kejadian lainnyayang tidak dituliskan di sini. Hal ini tidak lepas dari peran pemerintah yangsangat mengontrol pemberitaan media massa yang mungkin bisa menjadi suatuprovokasi untuk menggerakan massa yang lebih besar ke suatu arah kerusuhanSARA. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun