Dan sekarang ia membubuhkan satu sosok lagi dalam sketsa itu. Yang tak kusangka-sangka adalah sosokku.
“Ibu akan marah, kalau kamu nggak ada di sketsa indah ini,” katamu sambil terus menggoreskan pensilmu ke atas kertas itu.
Air mataku kembali menggantung di pelupuknya.
Sosok tegap itu tersenyum. Matanya terpancang jauh ke dalam sketsa. Tapi aku tahu, siapa yang benar-benar dilihatnya. Dan siapa pula yang benar-benar dirinduinya.
Aku seharusnya bersyukur bisa memiliki Ibu. Karena dengan Ibu, aku dapat mengenal sosok tegap itu. Karena dengan Ibu, lelaki itu merelakan waktunya untuk merawatku. Dan karena Ibu pula, aku bisa bersama dalam waktu yang lama dengan sosok lelaki yang kucinta seumur hidup.
Aku tahu, cinta dari seorang anak buangan tak sepantasnya dibalas. Karena selamanya, hanya Ibu, dan selalu Ibu, yang terpatri abadi dalam hatinya.
Catatan kecil di malam pergantian umur—menuju 19 tahun.
24-25 Desember 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H