Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Tak Seharusnya Cinta

25 Desember 2016   21:42 Diperbarui: 28 Desember 2016   10:18 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ayah—itulah sebutan kesayanganku padanya. Namun sayang, sosok lelaki tegap yang sangat kukagumi itu tak lagi menyinggahi rumah ini. Mungkin baginya rumah itu sudah terlalu tua. Atau mungkin rumah ini sudah tak senyaman sedia kala. Entahlah, yang kutahu, semenjak kematian Ibu, aku tak pernah lagi menemukan sosok murah senyum itu di sini.

Mungkin lelaki tegap itu tak pernah tahu, bahwa ia adalah sosok yang kukagumi sejak dulu. Ya, aku sama seperti Ibu. Selalu mengagumimu.Tapi saat Ibu memilih berbahagia di alam lain, kau juga berbahagia di rumah lain.

Aku tak mengerti perih apa yang kau maksud saat bergegas meninggalkan rumah ini. Katamu, kau terlalu terluka. Katamu, kau terlalu teringat pada sosok Ibu. Dan apa salahnya kalau kita dipaksa untuk mengingat Ibu? Bukankah ingatan satu-satunya cara menyimpan kenangan indah bersamanya?

Tak maukah kau begitu?

Sekarang gadis remajamu sudah beranjak dewasa. Usiaku hampir menginjak dua puluh tiga. Tak terasa sudah lima tahun kau pergi meninggalkan rumah. Dan tak sekalipun kau bertandang lagi untuk sekedar bersapa. Kekagumanku padamu mulai berganti menjadi kebencian. Kau seharusnya bilang, bahwa sejak dahulu pun kau tak pernah mencintaiku. Dengan begitu, aku tak perlu memuji sosok tegapmu. Dengan begitu, aku tak akan perlu menunggu hadirmu di balik pintu.

Dengan begitu, aku tak perlu memanggilmu ayah.

Namun nasi telah menjadi bubur. Aku sudah terlalu mencintai sosok tegapmu dan kehangatan belaianmu. Aku sudah terlalu merindu ketukanmu di balik pintu serta senyum cerahmu dan sorot hangatmu. Sampai aku lupa, bahwa suatu saat cinta bisa berubah menjadi benci yang tak terkira.

Minggu pagi aku tak menyangka Tuhan akan mengobati rasa rinduku. Sosok tegapmu yang berbalut kemeja biru tampak di ujung persimpangan jalan Serbabu. Mungkin kau lupa, bahwa persimpangan itu adalah jalan tercepat menuju rumah yang demi apa pun ingin masih ingin kusebut dengan rumah kita.

Penampilanmu sungguh berbeda. Atau aku yang mulai lupa karena terlalu lamanya tak berjumpa. Ingin sekali aku menyapamu waktu itu. Ingin sekali kuhentikan langkahmu dan kutarik paksa tanganmu menuju rumah. Tapi apa dayalah aku. Karena bergerak pun tak lagi mampu. Tuhan…. hadiah ini terlalu membahagiakan.

Kupikir tak ada salahnya mengikuti jejakmu saat itu. Aku hanya ingin tahu di mana rumahmu. Senyaman apa tempat berteduhmu. Dan siapa sosok yang bersedia menggantikan Ibu.

Namun ternyata…

Aku menemukan salinan rumah masa kecilku dulu--bercat biru. Ya, cat rumah kita yang dulu adalah biru—itu warna kesukaanmu dan Ibu. Dan semenjak aku merengek untuk mempunyai rumah seperti istana boneka, Ibu memohon padamu untuk mengganti cat rumah kita menjadi merah muda. Aku ingat rumah kita dulu memiliki balkon sederhana yang menjadi tempat kau dan Ibu menikmati sore bersama. Dan semenjak aku mulai gila cinderella, kuubah balkon sederhana itu menjadi istana tuan putri dan raja.

Aku terus tertegun, menemukan satu per satu kesamaan rumahmu kini dengan rumah kita yang dulu. Sampai aku tak sadar kalau kakiku hampir mengetuk pintu kayumu. Tapi sebelum tanganku sampai untuk mengetuk, kau sudah mendahului untuk membukakannya... bersama wanita peniru Ibu.

“Almira?”

Aku terdiam. Mataku terpaku pada sosok wanita salinan ibuku. Ia benar-benar mempunyai tinggi yang sama. Bobot badan yang sama. Bahkan model rambut yang sama. Aku ingat betul bagaimana rupa Ibu saat masih muda. Dan orang di hadapanku ini benar-benar peniru yang handal.

Bagaimana ia bisa menemukan daster itu? Itu daster favorit Ibu. Bagaimana ia bisa menemukan jepit rambut dengan model yang sama seperti Ibu? Bagaimana ia bisa tercium seperti wanginya Ibu? Bagaimana ia bisa tersenyum seperti senyumnya Ibu? Bagaimana?

Hatiku terus berteriak. Otakku terus meracau gila. Sedangkan sosok lelaki di hadapanku mulai terlihat bimbang.

“Bagaimana?” ia bertanya.

Tapi aku tak menghiraukan. Pikiranku masih berkecamuk di dalam. Kegalauanku selama lima tahun kini terjawab sudah. Aku tak menyangka. Inikah alasan ia pergi dari rumah? Supaya bisa membangun rumah lain—rumah pertamanya dengan Ibu? Inikah alasan ia meninggalkanku? Supaya bisa menikah dengan orang lain dan mendandaninya seperti Ibu?  

Dan aku…

Hanyalah boneka bodoh yang tak pernah menjadi bagian hidup dari lelaki tegap itu.

Namun, tiba-tiba aku teringat. Kurogoh tas tangan ungu yang masih kuamit di lengan kanan. Kukeluarkan satu-satunya benda yang mengendap selama lima tahun di dalamnya. Sebuah sketsa yang kujadikan kado ulang tahunnya.

Ia menerima dengan wajah tanya.

Kuusahakan tersenyum lumrah.

“Selamat... ulang... tahun...,” ucapku gemetar. Ia memandangku dengan sorot mata itu. Sorot mata yang demi Tuhan, sangat kurindu.

“Tapi sekarang bukan ulang tahunku, Al.”

Aku mengiyakan. Sulit sekali rasanya untuk menelan ludah. “Itu kado lima tahun yang lalu.”

Ia mendekat, hendak meraih tanganku. Hatiku berteriak—jangan! Jangan kau sentuh lagi tangan orang yang tak pernah kau harapkan kehadirannya. Tapi kehangatan itu terus menjalar, dan butuh waktu beberapa saat bahwa ia mengecup keningku dan membisikkan terima kasih di telingaku.

Pelupuk mataku panas. Tuhan, aku tak mau menangis. Tetapi air mataku sudah menggantung di ujung mata. Lelaki tegap itu bahkan mengusapnya untukku.

“Jangan cengeng!” katanya. “Ibumu nggak akan menangis di hadapan orang.”

Ya, lagi-lagi Ibu. Aku memang tak pernah mengalahkan Ibu. Selamanya, hanya Ibu yang ada di hidupnya. Selamanya, hanya Ibu yang selalu diingatnya.

Aku hendak pergi. Tapi lelaki itu malah menahanku.

Ia membuka gulungan sketsaku. Dari dulu aku hobi menggambar. Ibu menurunkan bakat istimewanya padaku. Dan di sketsa itu, aku sengaja hanya menggambar sosok tegapnya bersama Ibu. Kuharap tadinya dengan menerima kado itu, ia akan kembali lagi ke rumah. Namun aku terlambat, lelaki tegap itu sudah terlanjur pergi sebelum kado ini sampai padanya.

Dan sekarang ia membubuhkan satu sosok lagi dalam sketsa itu. Yang tak kusangka-sangka adalah sosokku.

“Ibu akan marah, kalau kamu nggak ada di sketsa indah ini,” katamu sambil terus menggoreskan pensilmu ke atas kertas itu.

Air mataku kembali menggantung di pelupuknya.

Sosok tegap itu tersenyum. Matanya terpancang jauh ke dalam sketsa. Tapi aku tahu, siapa yang benar-benar dilihatnya. Dan siapa pula yang benar-benar dirinduinya.

Aku seharusnya bersyukur bisa memiliki Ibu. Karena dengan Ibu, aku dapat mengenal sosok tegap itu. Karena dengan Ibu, lelaki itu merelakan waktunya untuk merawatku. Dan karena Ibu pula, aku bisa bersama dalam waktu yang lama dengan sosok lelaki yang kucinta seumur hidup.

Aku tahu, cinta dari seorang anak buangan tak sepantasnya dibalas. Karena selamanya, hanya Ibu, dan selalu Ibu, yang terpatri abadi dalam hatinya.

Catatan kecil di malam pergantian umur—menuju 19 tahun.

24-25 Desember 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun